Mohon tunggu...
Dwi Elyono
Dwi Elyono Mohon Tunggu... Dosen - Pencari

Penerjemah bhs Inggris bhs Indonesia/bhs Jawa; peneliti independen dlm kajian penerjemahan, kajian Jawa, dan semantik budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sistem Zonasi Belum Bisa Diterapkan Sekarang: Belajar dari Australia

13 Juli 2017   01:08 Diperbarui: 13 Juli 2017   10:21 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penerimaan murid berbasis zona adalah sistem yang bagus karena akan menciptakan, dua di antaranya, (1) pemerataan kualitas pendidikan dan (2) keanekaragaman yang kaya dalam hal latar belakang dan bakat murid, sekaligus kekohesifan antara murid yang beranekaragam tersebut. Namun, tujuan atau dampak positif nomor (1) di atas juga menjadi syarat utama yang wajib dipenuhi sebelum penerimaan sistem zonasi bisa benar-benar diterapkan.

Sekolah-sekolah negeri di Canberra, Australia, telah lama menerapkan sistem zonasi dalam menerima murid. Murid yang duduk di kelas 6 SD, misalnya, orang tuanya tidak perlu repot-repot mencari SMP untuk anaknya, karena secara otomatis murid SD akan ditempatkan oleh dinas pendidikan di SMP yang berada dalam satu zona dengan SD nya. Dan diterimanya tanpa tes masuk. Otomatis. Langsung.

Dan berikut ini patut diteladani oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan Indonesia: di Canberra, orang tua murid tidak perlu lagi mengisi form pendaftaran, mengisi form biodata murid, menyerahkan tumpukan foto copy dokumen dan semacamnya saat mendaftarkan anak ke sekolah yang lebih tinggi karena semua data dan dokumen sudah tersimpan di basis data di diknas sejak anak sekolah di TK. Coba bandingkan dengan yang terjadi Indonesia: setiap naik kelas dan setiap masuk ke sekolah baru, orang tua mengulang lagi hal yang sama, yaitu mengisi form dan menyerahkan foto copy dokumen. Betapa pemborosan yang sangat besar!

Sekolah-sekolah di Canberra memiliki kualitas yang kurang lebih sama. Oleh karena itu, orang tua murid tidak merasa khawatir, dan murid merasa mantab, di manapun mereka sekolah mereka akan ketemu guru top dan sarana pendidikan berkualitas.

Sistem zonasi ini menciptakan keanekaragaman yang kaya dalam hal latar belakang dan bakat murid. Jadi di setiap sekolah Canberra berkumpullah anak konglomerat dengan anak cleaner, anak anggota DPR dengan anak karyawan toko. Bahkan di sebuah SMP Canberra pernah berkumpul anak pemenang hadiah nobel fisika dengan anak tukang cuci piring. Dan berkumpullah murid berbakat sain dengan murid juara atletik, murid berbakat sastra dengan murid jago memasak. Murid dengan latar belakang dan bakat yang beraneka ragam ini dididik sedemikian rupa sehingga potensi mereka masing-masing terkembangkan secara optimal, bukannya dididik untuk mencapai hasil yang sama dalam bidang tertentu yang sama.

Tapi tentu saja keanekaragaman murid yang sangat pelangi ini dan kekohesifan di antara mereka bisa dicapai dengan tanpa menimbulkan keresahan dan kegaduhan karena satu syarat utama telah dipenuhi, yaitu PEMERATAAN KUALITAS DI SETIAP SEKOLAH.

Jika pemerataan kualitas belum dicapai tapi sistem zonasi dipaksakan, yang akan terjadi (sebagaimana diakibatkan oleh UN 'jaman dahulu' yang bisa menidakluluskan) adalah keresahan dan kerepotan nasional.

Seyogyanya pemerintah tidak ujug-ujug menerapkan sistem zonasi. Seyogyanya kementerian pendidikan dan kebudayaan, sebelum memulai penerimaan murid berbasis zonasi, terlebih dahulu meneliti dan menemukan cara untuk memeratakan kualitas di seluruh sekolah dan menerapkan cara tersebut hingga pemerataan kualitas benar-benar tercapai.

Setelah pemerataan kualitas tercapai pun, seyogyanya sistem zonasi diterapkan secara bertahap, digabung dengan sistem nilai UN; misal di tahun pertama pelaksanaan, prosentasi murid yang diterima tanpa tes dari zona yang sama adalah 10 persen, sedang 90 persennya berasal dari penerimaan berbasis nilai UN; lantas di tahun berikutnya, prosentasi murid yang diterima berbasis zona naik menjadi 20 persen, sedang yang berbasis UN berkurang menjadi 80 persen; dan seterusnya untuk tahun-tahun berikutnya hingga menjadi 80 persen untuk zona dan 20 persen untuk UN.

(Sebaiknya penerimaan murid tidak sepenuhnya berbasis zona, perlu digabung dengan penerimaan berbasis UN dan kemampuan yang tidak direpresentasikan dalam UN, misal seni dan olahraga. Oleh karena itu saya tuliskan rasio 80 persen zonasi dan 20 persen UN di atas.)

Perlu kajian matang sebelum sebuah kebijakan pendidikan dirumuskan dan apalagi diterapkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun