Mohon tunggu...
DUDUNG NURULLAH KOSWARA
DUDUNG NURULLAH KOSWARA Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

History Teacher in SMANSA Sukabumi Leader PGRI Sukabumi City

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru Harus Bersih Hati

3 Juni 2017   22:59 Diperbarui: 3 Juni 2017   23:06 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semoga tulisan ini tidak membuat marah sahabat-sahabat guru melainkan semakin menguatkan ghiroh dan kebanggaan menjadi seorang guru. Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Dr. Unifah Rosyidi mengatakan “Menjadi seorang guru adalah menjadi seorang yang membawa mission sacree dan membawa pesan prophetic”. Ungkapan ini menjelaskan bahwa mengambil pilihan profesi sebagai guru sejatinya adalah pilihan yang datang dari hati yang paling dalam.

Memilih profesi guru harus dari hati, kecintaan, kebanggaan, keterpanggilan spiritual dan mimpi sejak dini saat masih remaja, bukan ujug-ujug. Menjadi guru adalah menjadi imitator para nabi, membawa misi suci. Bila menjadi guru hanya karena terdesak keadaan, orientasi cari nafkah dan cari kerja serta  hanya karena  sudah ada TPG maka risikonya berat. Akan lahir guru-guru tak punya hati dan tak punya kekuatan untuk bertahan dari “gempuran” dinamika perubahan tuntutan idel seorang guru.

Guru yang ujug-ujug, bukan dari panggilan hati dapat memperlihatkan  beberapa indikasi  tak wajar,  diantaranya adalah: 1) tak punya prestasi selama menjadi guru, 2) tak pernah datang di sekolah  lebih pagi sebelum siswanya namun terbiasa pulang lebih cepat, 3) tak pernah mengenali organisasi profesinya, 4) tak mengenali dengan baik peserta didiknya, 5) tak peduli pada nasib para guru, 6) tak mau belajar mengembangakan diri, 7)  tak percaya diri menjadi guru,  terbiasa  duduk dibelakang dan buat ribut, 8) tidak biasa tepat waktu, ngaret dan banyak alasan, dan 9) tak pernah hidup sejahtera.

Beberapa indikasi di atas hanyalah sekian realitas dari banyak hal tak baik  yang bisa menempel pada ratusan  ribu guru atau jutaan yang terlahir karena ujug-ujug.  Guru-guru “pelarian” ini kalau jadi guru honorer maunya segera di PNS kan bahkan menyuap, teriakannya kencang tak sekencang intelektualitasnya.  Kalau sudah jadi PNS kinerjanya buruk dan asing dari pribadi yang berprestasi. Bahkan tak punya kebanggaan menjadi anggota organisasi profesi guru. Bila kebetulan menjadi pengurus organisasi profesi biasanya hanya cari nama dan cari nafkah di organisasi.

Banyak hal buruk bisa terjadi karena guru lahir tidak dari hati yang bersih melainkan ujug-ujug. Guru harus bersih hati. Ia menjadi guru karena Ia punya potensi mulia dari hatinya yang paling dalam. Sekalipun tidak pintar dan penuh dengan keterbatasan tetapi karena Ia punya hati guru, berhati guru, darah guru, berdarah pendidik dan siang malam merasa bangga menjadi guru maka keterbatasannya  pelan tapi pasti terkikis.  Bisa jadi awalnya hanya guru SD lulusan SPG  dari pinggiran namun kemudian terus tumbuh menjadi dosen dengan gelar Prof. Dr., bahkan P.hD. Bukankah Prof Surya dan Dr. Sulistiyo adalah contohnya?

Berat dunia pendidikan kita dan dunia organisasi profesi kita bila dari jutaan guru hanya ada dua atau sepuluh orang yang hebat sekaliber Mohamad Surya dan Sulistiyo. Mana yang lainnya. Siapa yang dibanggakan saat ini menjadi guru terbaik dan idola semua pihak. Kalau secara personal tak ada lagi atau sulit mencari sosok berhati bersih sekaliber Mohamad Surya dan Sulistiyo maka minimal “rumahnya” yakni organisasi profesinya berdaulat, hebat dan diperhitungkan. Soliditas dan solidaritas adalah benteng terakhir dan modal terakhir dari kekuatan kita (PGRI) yang sebenarnya.

Bila ada penghuni rumah kurang cantik, tidak cakep dan biasa-biasa saja tetapi  terlihat solid, rumahnya mewah dengan pekarangan yang indah dan adem maka orang akan respek dan kagum. Sebaliknya bila rumah (PGRI) terlihat kumuh, sempit, tak punya halaman, sumurnya kering, penggap dan penghuninya saling “menendang” tidak saling menguatkan. Maka rumah tetangga akan terlihat lebih indah dan nampak baik sekalipun rumahnya kecildan masih kontrakan.  

Hanya guru-guru dari hati yang bersih dan bangga dengan keguruannya maka rumah bersama pendidikan Indonesia dan rumah bersama organisasi profesi guru akan bisa bertahan dari gempuran dinamika tantangan yang tidak hanya dinamis melainkan “bengis” dan  tragis. Bersatulah guru. Sadarlah guru. Kehormatan dari Tuhan sudah tanggung disandingkan kepada para guru maka ayo kita sadar dan waras untuk menjadi guru yang hebat dengan membangun rumah yang hebat (PGRI).

Sangat disayangkan bila TPG hasil perjuangan PGRI dinikamati semua guru tetapi tidak semua guru “menikmati” PGRI.  Lebih parah lagi bila PGRI terlihat seperti  “rumah hantu”  di tengah kota, ibarat rumah Belanda  tua yang besar tapi seram tak terurus karena pemiliknya berebut warisan. Sementara sekarang adalah era rumah minimalis diisi oleh keluarga-keluarga muda yang aktif dan gesit. Quo Vadis PGRI dan para guru saat ini?

Hanya guru yang masih punya hati untuk pendidikan, untuk PGRI dan untuk  NKRI harapan kekuatan pendidikan Indonesia dan PGRI masih bisa ditunggu kelahiran kejayaannya.  Kita semua punya kepala, punya otak, punya akal namun tidak semua punya hati bersih sebersih para nabi yang diidentikasi dengan profesi guru saat ini.  Misi suci yang prophetic hanya bisa diemban oleh para guru yang sudah “tak punya kepentingan” selain karena Allah melalui  khidmat  pada manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun