Mohon tunggu...
DUDUNG NURULLAH KOSWARA
DUDUNG NURULLAH KOSWARA Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

History Teacher in SMANSA Sukabumi Leader PGRI Sukabumi City

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anomali "Regulasi" Pendidikan

26 Juli 2017   12:29 Diperbarui: 26 Juli 2017   14:26 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sungguh ambigu dan membingungkan publik ketika para pemimpin di negeri ini bersikap mendua. Kemana publik harus mengikuti? Hal ini terjadi dalam dimensi sekolahan di pendidikan kita. Sampai kapan dunia pendidikan kita akan ajeg, on the track dan adil? Mulai dari PPDB, proses KBM, ujian nasional (UN) sampai masuk ke perguruan tinggi (PT) banyak mengisahkan beragam tindak anomali yang tak sesuai dengan ruh pendidikan.

Hari ini saya membaca dua koran dengan dua perspektif yang ambigu. Pertama dari Kementerian Pendidikan Prof. Muhadjir Effendy yang "melarang" keras adanya penambahan kuota dan mengupayakan "hilangnya" sekolah unggulan atau sekolah favorit. Semua sekolah harus unggul dan favorit (Radar Sukabumi hal 11, 26/07/17). Sementara di tempat lain Walikota Cirebon intruksikan sekolah agar menerima siswa titipan (Pikiran Rakyat hal 1, 26/27/17).

Dua wajah pejabat publik miniatur dinamika  dimensi pendidikan yang membingungkan, satu kekiri, satu kekanan. Satu mendukung  hadirnya sekolah favorit dengan menambah kuota dan rombel pada sekolah tertentu terlihat dengan melegalkan siswa titipan. Satu lagi menolak sekolah favorit dengan mengutamakan zonasi dan membatasi kuota dan rombel. Permendikbud No 22 Tahun 2016, Permendikbud No 17 Tahun 2017 termentahkan dengan ulah "regulasi"  lokal. Bukankah tidak hanya Walikota Cirebon yang "tak kuasa" menahan siswa titipan?

Mari kita lihat. Sesungguhnya Kemendikbud sudah cukup ideal mengeluarkan aturan yang membatasi sekolah favorit agar tidak  menerima siswa lintas kuota. Sebab akan berdampak negatif. Bagaimana nasib sekolah swasta? Bagaiaman fasilitas sekolah? Bagaiaman kesiapan tenaga pendidiknya? Bagaiman proses KBMnya dengan siswa yang gemuk? Bagaimana  dengan lestarinya kebiasaan mental masyarakat yang menghalalkan segala cara?

Beberapa hal negatif akan muncul karena dampak pelanggaran normasi PPDB. Pelanggaran normasi PPDB ini lebih banyak terjadi karena orangtua yang lebay, politisi/legislator yang "budiman", pejabat yang "kebapa'an" dan oknum-oknum tertentu yang "kreatif" mengisi dompet.   Sungguh indah bila ungkapan "budiman", "kebapa'an" dan "kreatif" itu tanpa tanda petik.  Sayang realitasnya hampir semua dari diri kita ini terkena virus modus. Modus dalam seribu wajah.

Kembali pada larangan tambah kuota dan rombel dari Mendikbud sebaiknya dipatuhi semua pihak. Bila "hukum adat" dari kementrian diabaikan  dan bahkan  yang diikuti adalah "hukum adat" dari seorang walikota  yang mudah tergoda karena "lebaynya" orangtua sungguh kasihan. Para pemimpin yang kepemimpinannya digerakan karena tekanan arus bawah yang liar sangatlah berbahaya.

Seorang pemimpin sebaiknya cerdik memanfaatkan potensi masyarakatnya bukan kalap dan terdesak oleh  prustasi kolektif masyarakatnya dalam bentuk siswa titipan. Pendidikan kolektif publik itu efektif dilakukan para pemimpin dengan memanfaatkan momen tertentu, sejenis PPDB. Bila PPDB dijadikan media pembelajaran kolektif dalam mengikuti aturan maka secara tidaklangsung masyarakat sedang diedukasi bagaiman menghormati regulasi.

Sungguh "mengerikan" bila hajatan publik  PPDB malah menjadi pembangkangan kolektif publik terhadap  kehormatan sebuah aturan. Hidup tanpa aturan adalah barbarian. Hidup barbarian identik  dengan dehumanisme. Hidup dehumanisme adalah lawan dari kemanusiaan yang beradab. Kemanusiaan yang beadab tidak akan  bisa diaraih dengan tuna adab.  Lebih barbar lagi bila ketunaadaban itu disponsori oleh para pemimpin dan golongan elite.

Semoga revolusi mental versi Jokowi tidak hanya mimpi di siang terang. Kita berharap revolusi mental berjalan baik dan tidak melahirkan revolusi fisik di suatu saat seperti di beberapa negara lain yang mendahuluinya karena ketunaadaban merajalela. Setidaknya dunia sekolah, dunia pendidikan sebagai pilar terakhir pertahanan kebudayaan bangsa masih bisa imun dari ketunaadaban. Semoga saja. Hanya semoga!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun