Mohon tunggu...
Doddy Hidayat
Doddy Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Ada yang panggil saya pemimpi, orang planet, ngawur dan sok pintar..dan itu betul semua :D http://www.konsultankreatif.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kenapa Masyarakat Mudah Beringas?

4 November 2012   08:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:59 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto: ANTARA/Kristian Ali) Peristiwa yang terjadi jelas menunjukan gejala penyakit masyarakat yang sudah kronis dan parah Membaca berita beberapa hari ini membuat hati miris. Kejadian di Lampung, Palu dan beberapa daerah di tanah air, membuat kita bertanya,  kenapa begitu mudah terjadi pertumpahan darah karena dipicu oleh masalah sepele. Belum lupa ingatan kita tentang tragedi ambon dan Sampit, peristiwa yang bernuansa SARA kerap merebak dan selalunya keadaan fatal terjadi tanpa bisa diprediksi dari awal dan terlambat penanganannya sampai harus jatuh korban hilangnya nyawa manusia dalam jumlah yang tidak sedikit. Tidak adil rasanya kita selalu menyalahkan pemerintah karena tidak mungkin pemerintah bisa menangani persoalan kemasyarakatan yang ada mengingat luasnya wilayah, jumlah penduduk, keragaman dan dinamika sosial yang luas dan kompleks. Tidak adil juga jika pihak berwenang kemudian asal tuduh dan selalu menuding kejadian yang terjadi karena ulah “teroris”. Peristiwa yang terjadi jelas menunjukan gejala penyakit masyarakat yang sudah kronis dan parah. Dari pada berdalih dan menuduh, lebih baik kita akui saja sebagai kesalahan bersama, kesalahan semua pihak baik langsung maupun tidak langsung. Karena hidup bermasyarakat tidak akan terlepas dari sistem sosialnya itu sendiri. Seperti jungkat jungkit, ditekan disini, melambung disana. Konflik, gesekan, persinggungan, berlawanan hingga bertabrakan memang sebuah fenomana alam yang sudah digariskan terjadi dalam kehidupan dimuka bumi ini. Tetapi kenapa Tuhan jadikan, tentu bukan untuk manusia berdiam diri, menyerah dan menjadi sebodoh keledai. Manusia itu makhluk paling sempurna karena diberikan akal untuk berpikir. Diberikan hati untuk merasa. Diberikan fitrah sebagai blueprint atau cetak biru bahwa pada dasarnya manusia itu adalah hamba Tuhan yang berpihak kepada kebenaran, menyukai segala hal yang baik, butuh saling menyayangi dan tidak mau disebut sebagai hamba setan, biang keonaran, orang jahat dan tidak bisa berkasih sayang. Jika kita mengingat hal itu, rasanya tidak ada seorangpun yang mau merugikan orang lain karena tentunya tidak ada yang mau dirugikan juga. Tidak ada rasanya yang ujug – ujug mau membuat masalah karena tidak ada juga yang mau terlibat masalah. Tetapi apa yang terjadi sepanjang sejarah “kelakuan” manusia. Bumi ini haru biru, banjir darah dan airmata karena berbagai ulah yang sebenarnya bukan sifat semula jadi (fitrah) dan tujuan kita dilahirkan ke dunia ini. Saya juga berterimakasih dengan pihak – pihak yang coba mengurai masalah yang ada dengan berbagai saran, usulan, kajian hingga tindakan. Apapun actionnya, baik hanya sebatas wacana, propaganda, pendidikan, sosialisasi, pencegahan hingga penuntasan masalah harus dihargai dan diapresiasi. Kemudian sah – sah saja kalau inisiatif yang dibuat mempunyai sudut pandang “khas” yang berbeda. Teknokrat mungkin akan berpendapat lain dengan ekonom. Pemuka agama juga mungkin mempunyai pendapat dan pendekatan yang tidak sama dengan golongan pragmatis. Pemerintah juga mungkin punya kesimpulan yang tidak disepakati oleh publik. Artinya dalam hal apapun pasti ada persamaan dan ada perbedaan. Kalau semua orang sudah sama hati, pikiran dan tindakannya sih tidak akan ada masalah. Justru yang harus digaris bawahi adalah pada perbedaan yang muncul tersebut. Jadi harus ada juga persamaannya, tidak harus melulu berbeda. Kan sama – sama manusia, kalu diurut ke ujung pangkalnya, semuanya punya standar tujuan hidup yang sama. Mau dia hitam, kuning, putih atau merah. Mau dia bulan bintang, salib, swastika atau star david. Mau dia pintar, bodoh, profesor, kuli bangunan, orang kaya, orang miskin, lelaki, perempuan, tua, dewasa atau anak – anak tetap memiliki banyak aspek fundamental yang sama walau memang tidak bisa dihindari banyak perbedaan sebagai konsekwensi keragaman hidup. Kalau hal ini sudah dimengerti dan kita sepakati bersama, maka tidak ada salahnya kita mencoba mencari titik temu yang sama dan arif memisahkan perbedaan, mana yang prinsip atau wajib berbeda, mana yang boleh – boleh saja berbeda, tidak baik berbeda atau haram atau dilarang keras untuk berbeda. Kan selama ini biasanya kita terbalik. Dilarang keras atau haram untuk sama, tidak baik kalau sama, boleh – boleh saja sama (tapi ada embel – embel pesan sponsor: sama yang mana dulu – ada syarat yang dipatok) dan yang terakhir baru wajib untuk sama. Ok, jadi apa saja yang wajib untuk kita sepakati bersama dalam melihat, mengkaji, mencari solusi dan mengambil tindakan dalam persoalan konflik di tanah air ini? 1. Wajib sama dalam melihat akar permasalahan. Kebanyakan kita, kalau makan buah masam dan busuk, pasti yang dimaki duluan adalah buahnya. Yang dilempar ketempat sampah adalah buahnya. Yang dibicarakan adalah buahnya dan lagi – lagi kita terjebak dalam solusi semu yaitu fokus pada urusan buah. Begitulah kita dalam melihat masalah yang terjadi. Barulah jika masalah yang sama terjadi berulang – ulang, kita akan melirik faktor – faktor lain. Itu juga belum tentu benar. Tiba – tiba kita salahkan daun yang terlalu rimbun, ranting yang terlalu bercabang dan batang yang terlalu besar. Sedangkan akar yang memang tersembunyi dibawah tanah tidak tersentuh atau jarang disentuh. Ada juga yang langsung menyalahkan faktor luaran tanpa meneliti akarnya. Lalu disalahkannya hujan, angin, terik matahari, hama, semut, sampai anak tetangga yang kencing sembarangan. Kadang – kadang lucunya ini terjadi dengan orang – orang yang sudah teregister sebagai orang pandai. Makanya suka heran kita, begitu banyak “orang pintar” dinegeri ini, tetapi berbagai persoalan tidak kunjung terselesaikan, alih – alih kasih formula, yang ada timbul persoalan baru. Berarti kita juga harus sama dalam menilai dan melegitimasi siapa orang pandai sebenarnya. Kalau saya, minimal ada 10 jenis manusia yang tidak akan saya akreditasi sebagai orang pandai: mulai dari dukun dan sejenisnya, orang politik yang ingkar janji, ahli teori yang tidak pernah praktek, kritikus yang tidak mau dikritik, pemuka agama, ulama, motivator yang komersil, pejabat yang korupsi, dokter yang kaya dari penyakit pasien, produsen dan pemasar produk yang tidak pernah memakai produknya, Orang tua yang melarang anaknya tapi tidak menerapkan pada diri sendiri, sadis ya..dan terakhir..konsultan kere yang bikin clientnya kaya heuheu ( gue banget :D). Lalu akar permasalahan apa yang wajib kita sepakati bersama? 2. Meninjau kembali pendidikan sebagai akar tunjang nomer wahid. Visi misi pendidikan? Yup! Tujuan pendidikan? Yess! Garis besar dasar, haluan, pola dan sistematikanya?  Ofcourse! Materi pendidikan? Dalem! Target pendidikan? Sumuhun pisan gan! Jadi, rombak total? Reformasi? Seharusnya begitu. Pendidikan yang salah efeknya lebih dahsyat dari salah minum obat. Lebih menyesal dari salah menentukan pasangan dan lebih sesat dari salah alamat. Efeknya tidak langsung dirasakan, tetapi dampaknya akan dirasakan sampai tujuh turunan. Bukan 10 – 20 tahun, tapi bisa ratusan tahun. Makanya wajar kalau kita salah dalam menilai siapa orang pandai dan salah dalam mempersiapkan diri kita sendiri, anak – anak kita dan generasi muda. Akar dari segala kepandaian Cuma satu: Takut Tuhan! Setuju pak Kyai, romo, fater, biksu, pandita? Kata beliau – beliau ini jika kita takut Tuhan, maka kita akan takut hukumanNya. Kita akan persiapkan diri kita untuk selamat. Kita akan pandai memilah mana yang penting, yang baik, yang wajib, yang utama, yang boleh, yang kurang baik dan yang tidak baik. Kita akan pandai mendahulukan mana yang paling utama diantara yang utama. Jadi boro – boro mau bikin keributan dan masalah kan. Kita akan pandai memilih mana yang paling baik diantara yang terbaik. Sekolahnya dimana tu bisa pandai begitu? University of Life! Guru besarnya adalah officialy langsung Tuhan. Pengajarnya bisa siapa saja tergantung maunya Tuhan. Bisa manusia, bisa binatang, bisa alam dan tentunya ada buku besar yang wajib dipelajari sebagai petunjuk, apa itu teman – teman? Yaa betul, Kitab suci yang berisi panduan dan ajaranNya. Jadi kaitannya dengan me reinventing atau meninjau dunia pendidikan sekarang tentu jelas, sejauh mana apa yang kita buat, epistemologinya adalah wahyu, ajaran dan segala keterangan yang completely terkandung dalam kitab suci. Nah sampai disini ada kesepakatan tidak? Ini baru nomer dua lho. Kalau ternyata tidak sepakat untuk sama dalam hal ini ya tidak apa – apa sih. Cuma saya kasih tahu saja, jika anda tidak melihat akar permasalahan adalah dasar pendidikan yang mengesampingkan “Tuhan” yaitu takut Tuhan ini, silahkan saja cari bumi lain untuk tempat anda berpijak dan berkehidupan. Gampangkan?! Kalau setuju, mari kita menjadi bagian dari universitas kehidupan ini yang mengajarkan, belajar, meneladani, meniru hal – hal yang baik dan melarang, meninggalkan, menasehati dan mencegah segala hal yang buruk sesuai dengan standar code ajaranNya. Jika kita komitmen dengan hal ini, niscaya buah yang akan dihasilkan terasa manis, bervitamin dan bermanfaat untuk semua. Lalu buah apa yang paling diperlukan dalam persoalan menangani krisis sosial masyarakat ini? 3. Kasih Sayang sebagai buah yang diperlukan, yaitu sebagai kunci dari perpaduan hati sejagat. Mungkin anda heran, ada apa dengan kasih sayang? Kenapa kasih sayang? Melow banget ya? Kenapa bukan pengentasan kemisikinan? Peningkatan kesejahteraan? Lapangan pekerjaan?  Pemberantasan korupsi? Penegakkan hukum? Penegakkan disiplin? mematuhi peraturan dan undang – undang? Kebebasan berpendapat? Pelaksanaan demokrasi? Nasionalisme? Patriotisme? Bukan, bukan dan bukan..itu semua bukan buah, hasil atau result yang menjadi keperluan bersama. Jadi itu semua tidak perlu? Jawabannya adalah memahami dulu akar masalah diatas. Yang pengentasan kemiskinan hingga patriotisme adalah struktur yang terangkai dari bidang pokok, cabang dan ranting. Posisinya bukan pada matlamat, hasil atau buah. Benda – benda yang disebutkan itu alat, perangkat, wadah atau media. Ada yang sebagai pokok, ada yang cabang ada yang ranting. Jadi perlu atau tidak? Ya perlu. Yang anda bandingkan itulah wujudnya berupa Negara, badan hukum, peraturan, program, kebijakan, strategi, taktik dan oprasi. Tapi hasil yang dapat dinikmati, yang mempunyai khasiat, mengandung manfaat dan disukai oleh semua adalah buahnya. Untuk apa pohon yang besar, pokoknya menjulang, cabangnya kokoh, rantingnya banyak dan daunnya rimbun tapi tidak menghasilkan buah? Untuk apa negara kalau warga negaranya tidak saling berkasih sayang? Untuk apa peraturan dan penegakkan hukum kalau tidak dilandasi kerelaan hati? Untuk apa pemberantasan korupsi, program pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan kalau menimbulkan pengelompokan, mempertajam gab, memperdalam kesenjangan, menimbulkan rasa caling curiga dan sebagainya? Adilkah orang yang mengambil uang, dibalas dengan diambil nyawanya? Buktinya China berhasil tuh! Saya tidak akan jawab, saya aka tanya balik, apa China lebih baik sistem negaranya dibanding kita? Apakah komunis lebih baik dari pancasila? Kasih sayang adalah keperluan semua orang. Jika yang kita tanam adalah rasa takut kepada Tuhan, maka hasilnya adalah kita akan menjadi mahkluk Tuhan yang paling Penyayang. Itu sudah menjadi rumusnya. Kasih dan sayang adalah puncak dari budi pekerti. Orang Islam menyebutnya akhlak mulia. Bukan etika, senyuman dan ramah tamah seperti customer services selama jam kerja atau pramugari diatas pesawat terbang. Hanya kasih sayang yang bisa mengetepikan perbedaan, mengutamakan kemanusiaan, merelakan hak dan memenuhi kewajiban. Karena implementasi “takut Tuhan” yang benar seperti itu, bukan malah menjadikan orang fanatik tidak karuan, menghadapi perbedaan seperti menghadapi ancaman dan menghalalkan kekerasan atas nama kepatuhan pada ajaran agama. Takut Tuhan adalah kunci dari ketulusan ibadah. Ibadah yang tulus berbuah akhlak mulia. Akhlak tertinggi yang dinilai Tuhan dan diperlukan manusia adalah kasih sayang. Kasih sayang lah kuci dari perpaduan hati antara umat manusia tanpa mengenal perbedaan apapun. Lalu jika kesadaran tersebut sudah dapat di pahami dan disepakati, ada satu hal lagi yang wajib sama – sama kita sepakati yaitu kita sepakat untuk mempunyai musuh bersama. Pada dasarnya jika ikut fitrahnya, manusia ingin damai dan berkasih sayang. Berarti ada memang pihak yang tidak mau kesadaran tersebut muncul dan di amalkan. Saat ini musuh kita sedang gencar – gencarnya melakukan berbagai operasi makar yang bukan saja mau meruntuhkan kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi lebih jau dari itu, ingin memusnahkan rasa takut Tuhan dan fitrah berkasih sayang yang artinya memusnahkan eksistensi manusia sebagai hamba Tuhan dan khalifah dimuka bumi ini. 4. Sepakat menunjuk musuh bersama dan biang dari segala provokator masalah. Siapa musuh kita sebenarnya? Orang yang berbeda agama? Berbeda suku? Bebeda warna kulit? Berbeda bentuk mata? Berbeda warna baju? Berbeda partai, organisasi dan idealisme?  Waduh baru ketahuan piciknya kita kan! Lalu siapa dong? Teroris?  Komunis? Oportunis? Antagonis? Pianis? Kartunis? Kasihan dong kalau asal tuduh begitu. Mentang – mentang ada teroris yang berkopiah, berjanggut, celana ngatung dan lancar mengaji lalu serta merta kita generalisasi semua yang punya style begitu sebagai teroris atau cikal bakal teroris? Kemudian mentang – mentang lawan politik kita oposan yang vokal, lalu kita tuduh merekalah biang keonaran dan seakan akan hidupnya cuma mau buat instabilitas? Atau karena ada suku atau etnis yang mukanya rata – rata garang, tempramental dan suka berteriak, maka kita tuduh sebagai penyebab kerusuhan? Bahkan kita dengan mudahnya bisa menuduh pihak lain yang meriah tempat ibadahnya karena sering bagi bagi sembako sebagai penyebab kerusuhan? Siapa yang rusuh kalau begitu, kan memang selain hak kebebasan beragama, semua orang yang komitmen dengan agamanya pasti ingin agamanya berkembang dan banyak pengikut. Dalam keyakinan masing – masing kan kalau banyak pengikut berarti banyak yang masuk surga, apakah itu buruk dan harus dibasmi? Tolong sampaikan artikel ini kepada intelejen dan semua pihak yang berkepentingan bahwa saya menyatakan secara resmi, pasti dan dapat dipertanggungjawabkan, bahwa provokator dari segala provokator kerusuhan di tanah air ini adalah oknum berinisial “S”. “S” ini sudah ada dari dulu, sudah bercokol jauuuuh sebelum Indonesia merdeka. Siapa sih “S” ini? Baiklah karena saya sedang super sibuk kejar deadline pekerjaan, maka saya akhiri tulisan saya sampai disini dulu. Baca kelanjutannya di artikel berikut: Oknum Kerusuhan Itu Berinisial “S”. Demikian dari saya, semoga bermanfaat. Dimuat di Vlog Terpopuler VIVANews Artikel Terkait: 1. Tawuran Pelajar: Tunjuk Jari, Tepuk Dada Sendiri 2, Seandainya Kita Mau Bertanya Pada Bumi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun