Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mati Husnul Khotimah, Salah Kaprah?

20 Januari 2014   21:17 Diperbarui: 4 April 2017   18:15 45707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mati husnul khotimah atau akhir hidup dengan baik merupakan puncak tertinggi dari pendakian cita-cita seorang insan pribadi muslim. Bahkan secara lebih spesifik cara mati demikian ditunjukkan atau ditandai dengan mengucapkaan kalimat tauhid, yaitu pengakuan tidak ada tuhan melainkan Allah swt pada hembusan nafas terakhirnya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah sabda Nabi Muhammad saw. Namun demikian, sekalipun bila seseorang yang pada saat menghadapi sakaratul maut atau meregang nyawa tidak mengucapkan kalimat tauhid tidak dapat serta merta matinya dikatakan sebagai tidak khusnul khotimah. Mati dalam keadaan husnul khotimah tersebut juga ditegaskan dan senantiasa diingatkan Allah swt seperti disebutkan melalui firmanNya dalam Alquran bahwa jangan sekali-kali seseorang (mukmin) mati kecuali dalam keadaan muslim (mengakui bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah swt). Meskipun kemudian urusan mati husnul khotimah itu bukan saja kepentingan bagi orang yang meninggal dunia semata, tetapi juga bagi keluarga yang ditinggalkan – tentu saja -- mengharapkan hal yang sama, adalah dua hal yang berbeda. Kalau bagi orang yang meninggal perkaranya tinggal tertuju kepada Allah swt satu-satunya, tidak demikian dengan keluarga yang ditinggalkan. Mereka juga ingin menunjukkan kepada lingkungan masyarakatnya bahwa anggota keluarganya meninggal dalam keadaan husnul khotimah. Bagaimana caranya? Sebagaimana terjadi pada soal-soal lain terkait dengan agama, dalam soal mati husnul khotimah ini rupanya juga telah berlangsung apa yang biasa disebut sebagai proses akulturasi. Kalau pengerahan massa -- sudah barang tentu, bayaran — untuk mendukung kegiatan demo dan unjuk rasa, ataupun supporter untuk sebuah pertunjukan sudah marupakan hal yang biasa. Tetapi pengerahan massa –berbayar-- untuk keperluan melayat dan mengantarkan jenazah ke pemakaman sungguh merupakan fenomena baru yang luar biasa. Cara demikian secara langsung atau tak langsung tidak ada lain maksudnya adalah untuk memberikan kesan kepada khlayak ramai sekaligus berharap bahwa anggota keluarganya yang meninggal dalam keadaan husnul khotimah. Yang pasti, itu adalah merupakan versi baru hasil dari pemikiran dan penafsiran manusia dalam memahami arti dan makna mati husnul khotimah.

Jauh sebelum itu, tidak terbatas hanya pada kalangan masyarakat awam, bahkan di kalangan kaum terdidik, pemahaman mengenai mati husnul khotimah itu telah terjadi “salah kaprah”, yang menganggap bahwa cara mati seseorang bisa menjadi tanda “predikat kematian” orang tersebut, apakah mati dalam keadaan husnul khotimah atau sebaliknya suu’ul khtimah. Orang mati karena disambar petir atau karena kecelakaan lalu lintas, seperti misalnya tertabrak kereta, dianggap mati yag tidak baik (suu’ul khotimah, kebalikan dari husnul khotimah). Beberapa tahun yang lalu seorang kiai dan ulama besar di Jawa Timur meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas sepertinya bisa saja dianggap mati suu’ul khotimah oleh aliran pemahaman ini. Demikian pula dengan cara kematian tragis dari salah seorang cucu Nabi Muhammad saw yang dipenggal kepalanya kemudian diseret dari atas punggung kuda perang. Apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai tanda mati yang tidak khusnul khotimah? Tak hanya itu, Nabi Muhammad saw sendiri jelang meninggal mengalami sakit parah. Terakhir cara kematian yang menimpa seorang cendekiawan muslim terkemuka Nurcholish Madjid yang akrab disapa Cak Nur yang lama hidup semasa era Orde Baru. Ia meninggal menurut dokter yang menangani karena menderita penyakit liver yang mengakibatkan hampir seluruh permukaan kulitnya berubah warna menjadi hitam. Semasa hidupnya dia mengemukakan berbagai pemikiran pembaharuan dan modern di dunia Islam. Satu dua di antaranya sempat menjadi kontroversi dan menuai reaksi bahkan kecaman keras, terutama dari kalangan pemeluk Islam tradisional atau konservatif, seperti misalnya tentang sekularisme, Islam yang hanif, dan kalimat syahadat yang lebih  logis. Reaksi paling keras dengan sangat berapi-api, bahkan cenderung emosional dan geram sesuai dengan watak dan pembawaannya, muncul dari seorang budayawan asal Betawi melalui berbagai tulisan yang dipublikasikan. Puncaknya adalah ketika sang cendekiawan meninggal dunia dalam kondisi demikian oleh sang budayawan kemudian dikatakan sebagai tanda matinya seseorang yang sesat alias suu’ul khotimah. Secara kebetulan, mungkin guna menghindari fitnah atau hal lain yang tidak diinginkan pihak keluarga memang sengaja atau tidak mengizinkan kondisi jenazahnya untuk disaksikan secara terbuka. Dalam perjalanannya cerita itu segera berlalu dan dilupakan orang, ketika beberapa tahun kemudian seorang pengusaha sukses di bidang media cetak terkemuka, Dahlan Iskan (sekarang Menteri BUMN) diundang sebagai bintang tamu di sebuah televisi swasta nasional untuk mengisahkan pengalamannya selama berobat penyakit liver yang dideritanya di sebuah rumah sakit ternama di Singapore. Secara garis besarnya ia ingin menjelaskan kepada masyarakat bahwa warna kulit berubah menghitam juga dialaminya, sebuah gejala yang menurut ilmu kedokteran merupakan fenomena ilmiah. Meskipun dapat dimengerti bahwa program acara di televisi tersebut tidak dimaksudkan secara khusus sebagai ajang klarifikasi atas kondisi kematian seorang Nurcholish Madjid, tetapi secara tidak langsung hendak menjelaskan secara objektif ilmiah mengenai kondisi fisik yang terjadi pada seseorang yang menderita sakit liver dalam sebuah kasus yang dialami sendiri. Namun apapun duduk soal dan sebabnya belakangan beredar kabar bahwa sang budayawan kemuian telah meminta maaf atas tudingan yang tak berdasar itu.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun