Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Zaman Dulu di Kerajaan Majapahit, Membakar Padi di Ladang Dikenakan Denda dan Pidana

2 Juni 2017   05:13 Diperbarui: 4 Juni 2017   05:06 1702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: prasasti yang tidak lengkap koleksi Museum Nasional (Dokpri)

Sejak lama berbagai bencana alam dan bencana lingkungan banyak menimpa negara kita. Beberapa tahun terakhir ini saja tsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi, tanah longsor, dan banjir bandang silih-berganti melanda berbagai daerah. Belum lagi bencana lumpur Sidoarjo dan bencana asap Kalimantan-Sumatera, sehingga menambah panjang deretan kesengsaraan masyarakat.  

Selain karena alam sedang murka, manusia sering dituding menjadi salah satu penyebab bencana itu. Ini tersimpul dari kualitas bencana yang semakin tahun semakin besar. Pembalakan hutan, penebangan liar, penjarahan hutan, penggalian pasir, dan pencurian kayu dianggap merupakan faktor yang memperburuk kualitas tanah sehingga menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor sekaligus.

Di sejumlah daerah pembukaan lahan dengan cara dibakar dalam beberapa tahun terakhir ini, tak pelak ikut memperburuk kualitas lingkungan kita. Tanpa disadari ini berdampak pada jadwal penerbangan yang terganggu akibat kabut asap, tabrakan kapal motor akibat pandangan tidak jelas, dan sesak napas akibat menghirup udara kotor. Ironisnya, meskipun sudah terjadi selama bertahun-tahun, pembakaran lahan tidak dapat  diatasi secara tuntas karena tanpa dibarengi penegakan hukum yang tegas. Bahkan kabut asap ini “diekspor” ke Malaysia dan Singapura, sehingga merugikan kedua negara itu.

Mengapa masyarakat masa kini tidak memiliki kearifan lingkungan lagi, tentulah karena masalah ekonomi. Kebutuhan perut membuat mereka lupa diri, tanpa mau memedulikan bahaya bagi orang lain. Padahal, kearifan lingkungan adalah kunci ketenteraman hidup sejak ribuan tahun lalu.

Selaras dan seimbang

Di masa lampau kearifan lingkungan sudah benar-benar ditanamkan oleh nenek moyang kita. Keberhasilan itu disebabkan persepsi mereka terhadap alam sering kali dikaitkan dengan filsafat agama. Prinsip tersebut mengatakan antara manusia dan alam harus memiliki hubungan yang selaras dan seimbang. Karena itu kemungkinan-kemungkinan tingkat kerusakan lingkungan hidup masih relatif kecil.

Dari sumber-sumber arkeologi berupa prasasti, naskah kuno, dan relief candi kiranya dapat ditelusuri adanya peraturan-peraturan yang dikenakan pada kelompok-kelompok tertentu. Ada juga pengawasan terhadap kegiatan masyarakat, pembuatan bendungan, bahkan sanksi hukum bagi para pelanggar peraturan.

Organisasi lingkungan hidup

Masyarakat Jawa kuno pada abad IX-X sudah mengenal organisasi yang berkenaan dengan lingkungan hidup. Kehadiran organisasi ini menyebabkan kelestarian lingkungan terjaga dengan aman. Sejumlah prasasti banyak menyebutkan hal demikian, terutama tentang jabatan tertentu di kerajaan.

Di antara sejumlah jabatan itu, disebutkan adanya beberapa petugas yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Adanya istilah-istilah tuha alas, juru alas, atau pasuk alas (alas = hutan) tentu menunjukkan  profesi  pengawas kehutanan sudah disadari masyarakat kuno. Mereka rupa-rupanya tidak ingin hutannya  rusak atau gundul.  Informasi seperti ini antara lain terdapat pada Prasasti Jurungan (876 M), Tunahan (872), Haliwangbang (877), Mulak (878), Mamali (878), Kwak I (879), Taragal (830), Kubukubu (905), Cane (1021), Sarsahan (908), dan Kaladi (909).

Selain itu ada jabatan tuhaburu, yakni pejabat yang mengurusi masalah perburuan binatang di hutan. Dengan demikian nenek moyang kita secara sadar tidak berani berburu semaunya. Apalagi ada semacam undang-undang perburuan yang mengatur hal ini. Dikatakan, mereka yang melanggar akan dikenakan hukuman. Hukuman paling ringan berupa pengenaan pajak. Sedangkan hukuman lebih berat, berupa denda atau pidana. Hal ini tentu dilakukan untuk menjaga agar hewan-hewan tertentu tidak punah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun