Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis tentang Arkeologi dan Museum Sesungguhnya "Rekreasi Intelektual"

31 Agustus 2017   20:53 Diperbarui: 11 September 2017   09:08 1950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tulisan saya tentang arkeologi dan museum di Kompas (Dokpri)

Menulis di media cetak berarti menyebarluaskan gagasan atau memberikan informasi. Melalui tulisan seseorang akan mentransfer gagasan atau informasi ke ruang publik.

Dalam media cetak dikenal berbagai jenis tulisan, antara lain berita, feature, dan opini. Berita menjadi ranah wartawan masing-masing media. Tulisan feature bisa dilakukan wartawan atau penulis luar. Tulisan opini hampir selalu diisi penulis luar. Di antara banyak jenis tulisan, tulisan opini dianggap paling bergengsi karena penulis opini rata-rata kaum intelektual dan cendekiawan yang bergelar akademis tinggi.

Redaktur Majalah Tempo L.R. Baskoro mengatakan melalui tulisan opini penulis berusaha mempengaruhi publik dengan tujuan akhir gagasannya diterima atau juga diperdebatkan.

"Karena itulah, menulis opini sesungguhnya adalah melakukan 'rekreasi intelektual': mengasah otak, menajamkan pikiran, menantang munculnya ide-ide baru, juga menantang pendapat orang dengan argumentasi yang siap untuk diperdebatkan," demikian Baskoro sebagaimana saya kutip dari sini.

Gengsi
Di antara berbagai media cetak di Indonesia, menulis opini di media nasional, artinya yang terbit di Jakarta, dianggap bergengsi. Yang dianggap paling bergengsi tentu saja harian Kompas. Soalnya, Kompas memiliki tiras terbanyak. Persebarannya pun ke seluruh tanah air, termasuk lewat media daring.

Tulisan saya di Kompas (Dokpri)
Tulisan saya di Kompas (Dokpri)
Menulis di kolom Opini harian Kompas memang harus melalui saringan ketat. Ada beberapa tahap seleksi yang dilakukan Kompas. Menurut pengalaman, tulisan saya baru dimuat setelah menunggu satu bulan, meskipun pernah belum satu minggu sudah dimuat.

Dulu saya berpandangan tulisan Opini hanya milik intelektual dan cendekiawan berpendidikan akademis tinggi seperti magister, doktor, dan profesor. Ternyata tulisan saya yang hanya berpendidikan S1 Arkeologi pernah beberapa kali dimuat dalam rubrik Opini. Bahkan pernah untuk rubrik Humaniora, Sorotan, Teropong, Kompas Anak, dan Kompas Muda.

Sesuai pendidikan saya, tentu saja tulisan saya berhubungan dengan arkeologi dan museum. Saya cukup bangga karena saya tidak bekerja di instansi arkeologi. Ironisnya, para arkeolog yang bekerja di instansi arkeologi justru tidak pernah menulis opini. Padahal sesungguhnya mereka yang tahu permasalahan dalam arkeologi dan/atau museum. Seharusnya mereka mau dan mampu menulis di media-media populer atau umum. Jadi menyebarluaskan informasi kepada masyarakat.

Setahu saya, pekerjaan arkeologi cukup banyak. Di lapangan ada ekskavasi dan konservasi, misalnya. Lalu pekerjaan paling akhir adalah publikasi. Nah, inilah pentingnya publikasi. Adanya publikasi dimaksudkan agar masyarakat tahu hasil-hasil pekerjaan arkeologi, mengingat dana yang digunakan dalam kegiatan arkeologi berasal dari masyarakat lewat APBN/APBD.

Tulisan saya di rubrik Kompas Anak (Dokpri)
Tulisan saya di rubrik Kompas Anak (Dokpri)
Ada beberapa jenis publikasi. Publikasi ilmiah bersifat dari arkeologi untuk arkeologi. Dalam publikasi ilmiah biasanya penuh dengan istilah teknis yang sulit dipahami masyarakat awam. Ada lagi publikasi populer, dari arkeologi untuk masyarakat. Tujuannya agar masyarakat mengetahui cara kerja arkeologi sekaligus ikut membantu melestarikan peninggalan arkeologi.

Benda-benda hasil kegiatan arkeologi tentu saja dipamerkan di museum (untuk benda-benda bergerak atau berukuran kecil) dan tetap di situs (tempatnya semula sebagai taman purbakala atau museum lapangan). Ini merupakan jenis publikasi lain.

Saya tidak tahu mengapa para arkeolog generasi saya jarang sekali memberikan informasi atau gagasan lewat tulisan populer. Memang ada arkeolog yang mampu menulis populer, tetapi itu bisa dihitung jari tangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun