Mohon tunggu...
Djohan Suryana
Djohan Suryana Mohon Tunggu... Administrasi - Pensiunan pegawai swasta

Hobby : membaca, menulis, nonton bioskop dan DVD, mengisi TTS dan Sudoku. Anggota Paguyuban FEUI Angkatan 1959

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perang Dagang, Memicu Perang Dingin?

15 Januari 2020   22:10 Diperbarui: 16 Januari 2020   06:54 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tanggal 13 Desember 1978, Deng Xiaoping mengumumkan Kebijakan Pintu Terbuka (Open Door Policy), China mengundang perusahaan-perusahaan asing serta mendorong anggota Partai Komunis China untuk "melakukan emansipasi pemikiran mereka". Dua hari kemudian, botol-botol CocaCola tiba di China. Tiga puluh tahun kemudian, perusahaan menjadi sebuah lambang pembalikan yang lebih kelam dalam hubungan kedua negara.

Pada awal 2009, Coke melakukan negosiasi US $ 2,4 milyar untuk membeli China Huiyuan Juice Group-- sebuah pengambil-alihan terbesar terhadap perusahaan China oleh perusahaan asing yang baru pertama kali terjadi. Tapi, pada tanggal 15 Maret, FBI memperingatkan eksekutif Coke bahwa  peretas China telah membobol sistem komputer serta mengobrak-abrik melalui email mengenai negosiasi, dan mengontrol kumputer mereka. Tiga hari kemudian negosissi tersebut batal.

Sementara itu, delapan presiden AS , mulai dari Richard Nixon sampai Barack Obama menjalankan strategi "engagement", berdasarkan atas keyakinan bahwa merangkul China secara politik dan ekonomi akan lebih menguntungkan dan liberal. Meskipun pelanggaran hak cipta serta hak-hak asasi manusia terus terjadi, strategi tersebut telah membuahkan hubungan dagang dunia terbesar antara kedua negara, dengan perkiraan 70.000 perusahaan AS telah melakukan bisnis di China saat ini. 

Donald Trump tidak menginginkan hal itu. Ia selalu mempersoalkan defisit perdagangan. Pada tahun 1988 ketika AS dibanjiri oleh barang impor dari Jepang, ia mengatakan kepada Oprah Winfrey, "Mereka telah menyengsarakan negeri ini." Pada tahun 2016, sebagai seorang calon presiden, ia juga menunjuk kepada kekuatan baru di Asia Timur."Kita tak boleh membiarkan China merampok negeri kita," katanya ketika berkampanye di New Hampshire.

Bukan hanya itu, Trump juga dipengaruhi oleh Peter Navarro yang menulis buku "Death by China". Navarro adalah seorang profesor ekonomi yang menjadi penasihat kampanye Trump dan saat ini menjabat Direktur Kebijakan Perdagangan dan Manufacturing Gedung Putih. Ketika Trump mulai berkuasa, ditambah lagi dengan keluhan dari perusahaan-perusahaan AS yang menyatakan peretas China telah mencuri rahasia dagang, bahwa pejabat-pejabat China telah memaksa mereka untuk menyerahkan teknologi,dan bahwa negara telah memberikan subsidi terhadap para pesaing mereka.

Trump pun mulai "terbakar". Pada bulan Maret 2018 dengan sebuah tweet yang menyatakan bahwa, "perang dagang adalah baik, serta mudah untuk memenangkannya," Trump mengumumkan kenaikan tarif terhadap baja dan alumunium yang diimpor dari China dan negara-negara lainnya. Beijing pun segera membalasnya, dan mulailah terjadi perang dagang yang masih berlangsung hingga saat ini. Tampaknya, Trump memperoleh dukungan dari para politisi AS seperti Senator Ted Cruz, ahli strategi Steve Bannon dan terutama dari mantan Ketua DPR AS, Newt Gingrich.

Dalam sebuah diskusi atas bukunya yang berjudul "Trump vs China," di National Press House Club, menyatakan bahwa "Jika Anda tidak menginginkan anak cucu Anda berbicara bahasa Mandarin dan tunduk kepada Beijing, lalu ini adalah topik yang paling baik untuk membuat dialog nasional." Ia menyebut China sebagai "ancaman paling besar bagi kita sejak Kerajaan Inggris pada tahun 1770-an, jauh lebih besar daripada Jerman, jauh lebih besarlagi daripada Nazi-Jerman atau Uni Soviet."

Tetapi ada beberapa cendekiawan AS berpendapat lain, seperti Odd Arne Westad, seorang sejarahwan Yale University yang berpendapat bahwa  " China terlalu kaya, dan ini saling berkaitan dengan ekonomi AS."  Dan ia tidak sependapat dengan Gingrich. "Posisi pemimpin Uni Soviet adalah berkepentingan uuntuk melihat kekuatan AS diruntuhkan. Dan itu bukanlah keinginan China." Sebaliknya, AS menginginkan untuk melanggengkan kekuasaannya dan untuk menyeimbangkan perdagangan dengan China. China berupaya, diatas segalanya, untuk memperluas pengaruhnya di Asia Timur, seperti yang Jerman lakukan di Eropa lebih daripada satu abad yang lalu.

AS juga seharusnya tidak perlu serta merta merasa terusik oleh China yang mengambil kembali peran sejarahnya di Asia Timur." Tetapi ketika perubahan ini terjadi terlalu cepat, reaksi berlebihan, maka akibatnya adalah bencana besar".  Selanjutnya ia menyatakan , "Semuanya bergantung kepada waktu. Inilah yang perlu disadari oleh China -- dan ternyata tidak".

Westad khawatir bahwa China dan AS akan terpisah menjadi dua blok yang saling berhadapan, saling tidak percaya satu sama lain dan mudah menjadi konflik terbuka : Jika hal itu sampai terjadi, seperti yang pernah dialami oleh  Eropa, maka akan meletus perang  yang akan melumatkan generasi berikutnya ....

Namun demikian ada pendapat lain yang menarik. Yan Xuetong, seorang sarjana urusan luar negeri yang berpengaruh pada Tsinghua University yang meramalkan akan munculnya blok ekonomi, dan blok politik yang bersaing ketat -- polarisasi seperti yang dikhawatirkan oleh Westad. " Kita akan mempunya dua pusat dunia," katanya dengan jenaka, "seperti dua merah-telur yang berada dalam sebutir telur. Yan menjelaskan analoginya dan memperluasnya dengan membedakan antara skenario saat ini dengan Perang Dingin."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun