Mohon tunggu...
dje elzaara
dje elzaara Mohon Tunggu... -

share values to make a better world

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terancamnya “Eksistensi” Bahasa Lokal di Indonesia

19 Mei 2013   22:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:20 1240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari gugusan daerah perairan, dan daratan yang terpisah-pisah. Bentuk dari kepulauan ini menjadikan Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Dari segi sumberdaya alam, dari zaman dulu, Indonesia di kenal sebagai penghasil sumberdaya alam yang melimpah. Hal itulah yang menyebabkan bangsa Eropa tertarik untuk berdagang dan menjajah Indonesia. Dari segi sumberdaya manusia, bangsa Indonesia memiliki keragaman etnis, budaya, agama, dan bahasa.

Dari segi banyaknya kultur yang ada, identitas yang paling rentan punah adalah penggunaan bahasa lokal atau bahasa daerah. Penggunaan bahasa lokal mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Menurut data dari Kantor Pusat Bahasa menyebutkan terdapat sedikitnya 726 hingga 742 bahasa daerah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, namun hanya 13 bahasa daerah yang tergolong berada pada titik aman karena penggunanya masih relatif banyak. Ke 13 bahasa daerah ini juga telah memiliki aksara, tata bahasa dan kamus yang telah dikembangkan dan telah didokumentasikan dengan cukup baik. Kelebihan lainnya, ke 13 buah bahasa ini juga masih digunakan di lembaga pendidikan atau sekolah, lembaga-lembaga resmi daerah dan serta di masyarakat luas. Ketiga belas bahasa daerah itu antara lain adalah bahasa Aceh, Batak, Melayu, Minangkabau, Rejang, Lampung, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bugis, dan Makassar.

Namun pada era globalisasi dan derasnya arus informasi sekarang ini, penggunaan ke tiga belas bahasa di atas juga mengalami ancaman penurunan. Eksistensi bahasa dan sastra lokal semakin terancam akibat berbagai tuntutan perubahan yang terjadi di masyarakat. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu faktor urbanisasi, media, dan kebijakan pemerintah tentang pengajaran bahasa lokal.

Faktor urbanisasi ini bisa dilihat dari peningkatan angka perpindahan warga dari desa ke kota. Urbanisasi ini sangat berdampak pada penurunan angka penggunaan bahasa lokal. Hal ini dapat dimaklumi dalam upaya pemeliharaan komunikasi dan interaksi masyarakat urban sebagai pendatang dengan bahasa setempat. Biasanya para pendatang ini lebih memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa alternative yang bisa mereka gunakan. Hal inilah yang semakin mengurangi intensitas penggunaan bahasa lokal di daerah urban atau perkotaan.

Faktor kedua adalah media. Perkembangan media nasional yang semakin meningkat menyebabkan banyak pengusaha media melirik pangsa pasar lokal. Namun demikian, pangsa pasar di daerah bukan satu-satunya alasan, akan tetapi kesadaran akn kebutuhan terhadap akses informasi atau melek media semakin tinggi di masyarakat, tidak terkecuali di daerah atau di pedesaan. faktor penggunaan media di sini beragam, baik media massa maupun media elektronik. Salah satu media elektronik yang sangat tinggi pengaruhnya terhadap penurunan penggunaan bahasa lokal adalah televisi. Banyak acara televisi yang dibuat dengan menggunakan bahasa nasional. Acara-acara tersebut menjadi hiburan sehari-hari masyarakat di rumah, mulai dari orang tua, sampai anak-anak semuanya memiliki acara favoritnya masing-masing. Hal ini tentu menyebabkan penggunaan bahasa yang dipakai dalam acara atau program televisi yang mereka tonton secara langsung atau tidak langsung semakin meminimalisir peluang berbahasa daerah di lingkungan keluarga, sebab bahasa yang lazimnya digunakan dalam program televise tersebut adalah bahasa Indonesia. Bahasa yang lebih akrab di telinga masyarakat, terutama anak-anak adalah bahasa sehari-sehari yang mereka dengar dari acara di televisi tersebut.

Di samping itu pula, geliat media lokal yang saat ini sedang berkembang juga tidak terlalu mendukung upaya pelestraian bahasa daerah. Hal itu dikarenakan bahasa yang digunakan oleh media lokal adalah bahasa Indonesia, jarang sekali media di daerah yang menggunakan bahasa lokal.

Faktor yang terakhir adalah kebijakan pendidikan pemerintah pusat. Kebijakan ini terkait langsung dengan kebijakan kurikulum pendidikan yang baru-baru ini akan dilauncingkan. Pada kurikulum baru ini, Kemendikbud RI menetapkan kurikulum 2013 tanpa muatan lokal/bahasa daerah. Tentu hal ini menjadi kebijakan yang sangat krusial bagi keberlangsungan bahasa lokal di Indonesia. jika selama ini pendidikan dianggap sebagai salah satu jalur formal pemelihara bahasa lokal yang menyelamatkannya dari ancaman kepunahan, hari ini harapan tersebut menjadi sirna. Bagaimana tidak, Pemerintah yang diwakili oleh Kemendikbud RI telah mengeluarkan kebijakan yang menciderai keberadaan dan keberlangsungan bahasa lokal sendiri. sebagai bangsa yang besar, yang terdiri dari berbagai bahasa dan kultur, mestinya pemerintah jeli dalam memutuskan suatu kebijakan tertentu. Bukannya ada i’tikad untuk mengembangkan dan menguatkan kultur lokal, malah sebaliknya, kebijakan baru ini meniadakan bahasa lokal pada satuan mata pelajaran di sekolah formal. Hal ini bisa dianggap penghianatan terhadap komitmen kebudayaan.

Tentunya melihat kondisi di atas, perlu suatu upaya bersama untuk mengatasinya. Tidak hanya dari pemerintah yang memiliki tanggungjawab langsung terhadap kebijakan, akan tetapi juga perlu melibatkan seluruh elemen masyarakat, baik dari individu-individu yang memiliki consent terhadap pengembangan bahasa lokal, maupun dari lembaga masyarakat lokal atau lembaga adat di daerah.

Hal ini sejalan dengan langkah UNISCO yang telah menetapkan tanggal 21 februari sebagai hari Bahasa Ibu/Lokal Internasional pada tahun 1999 silam. UNISCO sebagai lembaga international yang consent terhadap pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan dunia merasakan keprihatinan yang serupa. UNISCO berharap, dengan adanya peringatan hari Bahasa Ibu International ini akan memiliki dampak yang positif bagi pemeliharaan bahasa-bahasa lokal di seluruh dunia yang dewasa ini makin terancam punah. Oleh karenanya, merujuk dari penetapan UNISCO tersebut alangkah baiknya jika sebagai Negara yang menjunjung kebudayaan, Indonesia memperingatinya sebagai sebuah ikhtiyar dengan cara bahu membahu memaksimalkan potensi yang ada untuk memelihara bahasa ibu kandung atau bahasa daerah sebagai upaya pelestarian kekayaan bahasa kita.

Pengembangan terhadap bahasa lokal perlu terus diupayakan dan diteruskan kepada para generasi penerus yang semakin getol pada bahasa asing, seperti bahasa Inggris, dan bahasa Mandarin, melebihi bahasanya sendiri. Pengembangan bahasa lokal ini dilestarikan melalui beberapa upaya yang selama ini menjadi salah satu faktor penghambat penggunaan bahasa lokal itu sendiri, seperti jalur media. Media dianggap efektif dalam upaya penyebaran nilai-nilai yang semakin meneguhkan kekayaan bahasa yang perlu dijaga ini. Pemberdayakan media lokal perlu terus ditingkatkan untuk ikut berkomitmen dalam menghadirkan kolom bahasa lokal dalam setiap programnya. Faktor lainnya adalah melalui pendidikan, baik di jalur formal (sekolah) maupun jalur informal (keluarga dan masyarakat). Pemaksimalan lembaga media lokal, maupun lembaga masyarakat seperti lembaga pemangku adat, dan komunitas sastra juga perlu dilakukan sedini mungkin sebagai bagian dari upaya penanganan terhadap ancaman kepunahan bahasa lokal di Indonesia.

*Artikel pernah dimuat di Radar Garut, edisi Jum'at 22 februari 2013.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun