Mohon tunggu...
Djasli Djosan
Djasli Djosan Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mantan redaktur dan reporter RRI, anggota Dewan Redaksi majalah Harmonis di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Konvensi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

14 Agustus 2018   11:08 Diperbarui: 14 Agustus 2018   11:16 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Konvensi mengandung dua pengertian, pertama adat atau kebiasaan dan kedua kesepakatan masyarakat. Yang bermakna adat kebiasaan berlaku terbatas dilingkungan tertentu. Misalnya dalam pelantikan Penghulu atau Datuk di Sumatera Barat semua pelaku upacara mengenakan pakaian adat minang. 

Sedang yang bermakna kesepakatan berlaku dalam kalangan lebih luas bahkan meliputi sebuah bangsa dan masyarakat dunia. Ketika memilih Presiden dan Wakil Presiden pertama RI ada kesepakatan para pemimpin masa itu: presiden berasal dari Jawa karena mewakili jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Wakilnya berasal dari luar Jawa. Maka dipilihlah Sukarno dari Jawa dan Hatta dari Sumatera.

Konvensi ini tidak berlaku lagi ketika Presiden Suharto memilih Sultan Hamengkubuwono IX, Sudharmono dan Try Sutrisno sebagai wakilnya. Begitu juga ketika Habibi menjadi presiden menggantikan Suharto Untuk pertama kalinya orang luar Jawa menjadi presiden.

Dalam masa pemerintahan Abdurrahman Wahid/ Megawati dan Megawati/Hamzah Haz, konvensi terjadi setengah-setengah karena Megawati separo Jawa separo Sumatera. Konvensi yang utuh terjadi lagi ketika SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla dan Joko Widodo dengan Jusuf Kalla.

Di bidang hukum juga ada konvensi, misalnya Konvensi Jenewa. Ketika Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang didukung DPR, sudah terjadi suatu konvensi. Inilah dasarnya Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan "maklumat" yang ditolak Mahkamah Agung.

Sumpah Pemuda pada  1928 membawa konsekuensi mengutamakan segala sesuatu bersifat nasional dan menomorduakan yang bersifat daerah. Misalnya Bahasa Indonesia berlaku secara nasional sedangkan Bahasa Daerah terbatas di lingkugan daerah setempat saja. Begitu juga dalam berbusana. 

Sejak Indonesia merdeka, para pemimpin kita mengenakan  busana PSL dengan Peci untuk kegiatan resmi nasional seperti upacara memperingati HUT Kemerdekaan RI. Selain itu ada yang setengah resmi yaitu Safari Tangan Panjang untuk acara-acara di lingkungan instansi dan departemen.

Sebab itu cukup menarik ketika Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenakan busana daerah dalam memperingati HUT Kemerdekaan RI di depan Istana Merdeka tahun lalu. Pertanyaan orang awam, kok yang bersifat kedaerahan ditonjolkan lagi?

Para pakar hukum dan budaya sebaiknya membahas masalah konvensi ini agar lebih mantap, mana yang masih bisa dipertahankan dan mana yang harus diubah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun