Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Karena Sepak Bola (Tak) Sama dengan Logika Matematika

4 Juli 2018   09:20 Diperbarui: 4 Juli 2018   11:14 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapten Harry Kane Memimpin Kawan-Kawannya Merayakan Kemenangan (Sumber: https://standard.co.uk)

Ada yang masih ingat nama Pak Doo Ik? Bagi generasi milenial nama tersebut mungkin asing, bahkan bisa jadi baru dengar sekarang. Namun bagi generasi tua nama tersebut sempat mendunia, bukan karena K-Pop atau sejenisnya, tapi sensasinya menghempaskan Italia di Piala Dunia 1966 lah yang membuat namanya meroket, melebihi ketenaran Pele saat menjadi pemain termuda mengangkat Piala Dunia 1958, atau Geoff Hurst yang mencetak hattrick kontroversial di final Piala Dunia 1966.

Detik-detik Pak Do Ik Membobol Gawang Italia (Sumber: alchetron.com)
Detik-detik Pak Do Ik Membobol Gawang Italia (Sumber: alchetron.com)
Peristiwa itulah yang membuat melek mata dunia, bahwa sepakbola (tak) selalu selaras dengan logika matematika. Sebuah tim dari antah berantah, Korea Utara berhasil memulangkan Italia di pertandingan akhir fase grup lewat gol tunggal Pak Doo Ik, padahal Italia hanya butuh hasil seri untuk melangkah ke perempat final mendampingi Uni Sovyet yang sudah terlebih dahulu lolos. 

Kemenangan heroik tersebut bagai cerita legenda David yang berhasil menang melawan Goliath yang jauh lebih kuat. Secara logika matematika, nyaris tak ada cerita tim dari benua yang baru merdeka berhasil mengalahkan tim besar negeri Eropa.

Sensasi Korea Utara nyaris berlanjut ketika melawan Portugal di perempat final. Di separuh waktu babak pertama mereka sudah unggul 3-0, sebelum perlahan tapi pasti Eusebio menipiskan kekalahan menjadi 2-3 saat wasit meniup peluit akhir, itupun satu gol melalui tendangan penalti. Untunglah Portugal punya bintang sekelas Eusebio yang berhasil membalikkan keadaan dengan mencetak dua gol lagi dan Joao Augusto menamatkan perlawanan tim kuda hitam tersebut.

Ahn Jung Hwan Menghempaskan Italia di Piala Dunia 2002 (Sumber: https://fifa.com)
Ahn Jung Hwan Menghempaskan Italia di Piala Dunia 2002 (Sumber: https://fifa.com)
Sepulang dari tanah Inggris, Park yang seorang kopral tentara langsung dipromosikan menjadi sersan, lalu pensiun dan menjadi pelatih aerobik. Hebatnya lagi peristiwa langka tersebut sampai dibuat film dokumenternya berjudul 'the Game of Their Lives' tahun 2002. 

Di samping itu, Korea Utara membuat sejarah menjadi tim Asia pertama yang sanggup melaju hingga perempat final, yang baru terulang 36 tahun kemudian oleh saudara sekandungnya Korea Selatan pada Piala Dunia 2002 di kandangnya sendiri hingga mencapai empat besar. Lagi-lagi Italia jadi korban keganasan Korea di 16 besar setelah kalah 1-2 di perpanjangan waktu lewat gol Ahn Jung Hwan.

Seandainya sepakbola mengikuti logika matematika, seharusnya Jerman menjadi juara dunia karena hingga Juni 2018 masih bertengger di nomor satu ranking FIFA. Nyatanya Korea Selatan malah mengajak Jerman pulang kampung duluan. 

Baca juga: Kegagalan Jerman (Bukan) Karena Kutukan Juara Dunia

Swedia juga sebenarnya tak pantas jadi juara grup karena pernah kalah dengan Jerman yang menempati posisi buncit di grup. Tapi itulah sepakbola, olahraga penuh drama yang tak selalu sejalan dengan logika. Drama itulah yang justru membuat sepakbola lebih menarik dibanding cabang olahraga lainnya di muka bumi ini.

Supporter Swedia Merayakan Kemenangan Atas Swiss (Sumber: https://standard.co.uk)
Supporter Swedia Merayakan Kemenangan Atas Swiss (Sumber: https://standard.co.uk)
Piala Dunia 2018 membuktikan bahwa sepakbola tak bisa diprediksi lewat hitungan matematika. Tim-tim unggulan yang berada di ranking sepuluh besar teratas FIFA satu persatu tumbang, dimulai dari Jerman (1), lalu Polandia (8) di fase grup, disusul Portugal (4), Spanyol (10), Argentina (5) dan Swiss (6) di perdelapan final. Sementara tim di luar 10 besar seperti Inggris (12), Uruguay (14), Kroasia (20), Swedia (24), bahkan tuan rumah Rusia yang menjadi tim dengan ranking paling buncit (70) malah berhasil menembus perempat final.

Akinfeev Jadi Pahlawan Rusia Tim Terbuncit FIFA (Sumber: https://newsx.com)
Akinfeev Jadi Pahlawan Rusia Tim Terbuncit FIFA (Sumber: https://newsx.com)
Brasil (2) harus bersusah payah menaklukkan Meksiko (15) dengan skor 2-0, sementara Belgia (3) malah tertinggal 0-2 terlebih dahulu dari Jepang (61) sebelum berhasil membalikkan keadaan di menit-menit akhir pertandingan. Ini membuktikan bahwa kemajuan sepakbola telah merata di seluruh zona, tidak menumpuk di zona Eropa dan Amerika Latin saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun