Mohon tunggu...
Arya Pradipta
Arya Pradipta Mohon Tunggu... -

Muslim | Engineering | Traveller |

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

3 Persepsi Keliru Masyarakat Mengenai Jama'ah Shalahuddin UGM

10 Oktober 2011   07:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:08 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebagai sebuah entitas mahasiswa muslim yang berada dalam lingkup Universitas Gadjah Mada Yogyakarta serta diakui oleh rektorat, Lembaga Dakwah Kampus Jamaah Shalahuddin (selebihnya biasa disingkat dengan nama JS) tidak lepas dari berbagai fitnah yang menderanya. Banyak asumsi-asumsi tak berdasar yang dituduhkan kepada JS. Ironisnya asumsi-asumsi ini tidak hanya datang dari masyarakat awam saja, namun juga dari sesama lembaga pergerakan Islam yang notabene memiliki visi serta visi yang sama. Saya yang sudah 4 tahun berada di sana tahu betul bahwa JS tidak seperti yang dipersepsikan oleh kebanyakan orang. Berikut adalah beberapa persepsi mengenai JS yang orang keliru tentangnya.
1. Jamaah Shalahuddin memiliki pemahaman radikal
Radikal secara bahasa berarti akar atau sesuatu yang mendasar. Sedangkan radikalisme sendiri bermakna berfikir secara mendalam dalam menelusuri suatu akar masalah. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) radikal diartikan sebagai sesuatu yang mendasar (sampai kepada hal yang prinsip). Dari pengertian tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa radikal, dalam konteks Islam, memiliki pengertian sebagai suatu konsep yang dijadikan dasar dalam mempelajari ajaran Islam (dalam hal ini adalah tauhid). Semua elemen umat Islam bersepakat bahwa tauhid adalah sesuatu yang pokok/mendasar dalam Islam. Sehingga dengan demikian tidak ada yang salah dengan pemikiran radikal. Justru pemikiran ini kita perlukan sebagai dasar untuk mempelajari agama islam dengan baik dan benar. Jika perkara yang pokok (ushul) sudah bermasalah, bagaimana dengan perkara-perkara yang cabang (furu’)? Oleh sebab pemikiran radikal sama sekali tidak bermasalah.

Permasalahannya saat ini adalah radikal selalu diidentikkan dengan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok (utamanya) umat Islam. Pewacanaan seperti ini berulang kali dilontarkan oleh media-media di negeri ini. Sehingga muncullah apa yang disebut sebagai Islam radikal, islam garis keras dsb.

Zada, dalam Islam radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Teraju, Juli 2002), dengan memakai kerangka teori Horace M. Kallen mengatakan bahwa Islam radikal memiliki 4 ciri, yakni:
a. Mereka memperjuangkan Islam secara totalitas
b. Mereka mendasarkan pemahamannya pada orientasi masa lalu
c. Mereka memusuhi Barat dengan segala produk peradabannya
d. Perlawanan mereka terhadap liberalism Islam yang tengah berkembang

Dari keempat ciri-ciri tersebut, jangankan Jamaah Shalahuddin yang hanya berada dalam domain akademik (kampus), semua organisasi massa Islam di Indonesia pun dapat dikatakan sebagai gerakan radikal. Pasalnya baik JS dan ormas-ormas Islam di negeri ini sama-sama memiliki kerangka perjuangan seperti yang disebutkan di atas. Meyakini bahwa Islam merupakan system terbaik, mendasarkan pemahaman agama kepada Rasulullah, sahabat, Tabi’in serta Tabi’ut Tabi’in, juga menolak mentah-mentah adanya pemisahan antara kehidupan di dunia dengan agama.

So, jika ada yang mengatakan bahwa Jamaah Shalahuddin memiliki pemahaman yang radikal, itu benar. Tentunya dalam pengertian yang positif, bukan sebaliknya. Ini yang harus dipahami.

2. Jamaah Shalahuddin adalah basis kalangan tarbiyah
Jujur saya sudah bosan dengan pemberitaan usang yang seringkali diulang-ulang semisal tarbiyah vs muhammadiyah, tabiyah vs salafi, tarbiyah vs hizbut tahrir dsb. Akibatnya sudah tidak ada lagi ikatan ukhuwah yang terjalin antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Masing-masing masih memiliki ego yang terlampau tinggi untuk dapat diturunkan. Sudah banyak kasus di lapangan seperti kader A yang tidak mau mengikuti kajian di masjid B hanya karena ustadz pengisinya berasal dari kelompok C. Padahal apa yang disampaikan tidak bertentangan dengan landasan Al Quran serta As Sunnah. Atau juga semisal kader B yang enggan bekerjasama dengan kader C hanya karena perbedaan fikrah. Alasan seperti si A enggan masuk ke dalam sebuah lembaga dakwah hanya karena di dalam lembaga dakwah tersebut didominasi oleh orang-orang dari kelompok B cukup sering saya dengar.

Cukup banyak opini yang menyatakan bahwa JS adalah basis kalangan tarbiyah. Saya tidak bisa menyalahkan orang yang beranggapan seperti ini, mengingat kebanyakan lembaga dakwah kampus di Indonesia memang didominasi oleh kalangan tarbiyah. Begitu pula dengan JS yang memang sebagian besar dipenuhi oleh teman-teman tarbiyah. Ini adalah salah satu alasan mengapa teman-teman non-tarbiyah enggan berpartisipasi di sana.
Kader-kader JS sebagian besar dari kalangan tarbiyah, begitulah adanya. Tapi itu bukan berarti bahwa JS adalah milik tarbiyah. Sebaliknya JS adalah milik umum. Siapapun dia dan dari kelompok mana ia berasal dipersilahkan turut berkontribusi di sana. Bersama-sama membangun UGM yang madani. Tak peduli ia memiliki background HT, salafi, muhammadiyah, NU, persis, hidayatullah ataupun WI, semuanya memiliki hak serta kewajiban yang sama. Tidak ada istilah peng-anak tiri-an, peng-anak emas-an, peng-anak pingitan, peng-anak angkat-an dan anak-anak yang lain.

Bahwa JS tidak berafiliasi ke dalam kelompok manapun sebenarnya sudah diatur dalam TGTB JS (Tata Gerak Tata Barisan). Jadi jika ada tuduhan bahwa lembaga ini adalah milik ormas/gerakan islam tertentu, itu adalah tuduhan yang tidak berdasar. Ada sebuah statement menarik yang pasti diingat betul oleh semua kader JS. Bahwa setiap kader ketika berada di dalam JS , harus mau melepas jaket kelompoknya. Konsep ini yang menjadikan JS ramai akan ideology, namun tetap rukun. Tidak ada homogenisasi pada satu bentuk pemahaman kelompok Islam tertentu di JS. Terkait sikap JS terhadap berbagai kelompok Islam, serta arah kebijakannya ke depan bisa dibaca pada artikel berikut: http://vilanda.wordpress.com/2010/06/07/madzhab-jama'ah-shalahuddin/

Sekali lagi asumsi bahwa JS adalah milik kalangan tarbiyah adalah pendapat yang keliru. Sebaliknya JS terbuka bagi semua kalangan. 4 tahun saya di sana, cukup banyak kader-kader yang memiliki background non-tarbiyah semisal HT, salafi, Muhammadiyah maupun NU. So bagi teman-teman yang ingin turut berkontribusi dalam membangun dakwah kampus hingga mewujudkan UGM yang madani mari bergabung di sana. Tak peduli apapun fikrah ataupun dari kelompok mana ia berasal.

3. Jamaah Shalahuddin adalah kelompok eksklusif dan terdiri dari kumpulan orang shalih
JS bukanlah kelompok yang ekslusif, serta menutup dari lingkungan luar. Sebaliknya JS adalah kelompok yang terbuka, inklusif, berbaur tanpa melebur, berteman dengan siapa saja, tanpa mau kehilangan prinsip yang diyakininya. JS bukan kelompok khusus orang-orang shalih, sebaliknya JS terbuka bagi siapapun yang ingin bersama-sama mempelajari Islam.

Saya sering menemukan kesulitan ketika mengajak teman sesama mahasiswa, yang notabene bukan dari kalangan aktifis dakwah semasa SMA (rohis/SKI), untuk bergabung ke JS. Alasan umum yang sering saya dengar adalah bahwa mereka bukanlah orang yang benar-benar shalih, masih harus belajar agama lebih banyak lagi, dan belum siap jika harus mengemban amanah dakwah serta segudang alasan lainnya yang kadang membuat saya suudzon bahwa sejatinya mereka belum siap menjadi orang shalih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun