Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"The Diving Bell and The Butterfly", Imajinasi Sebebas Kupu-kupu

19 September 2017   16:29 Diperbarui: 20 September 2017   05:05 1312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jean-Dominique Bauby, penderita stroke 'locked syndrome', berkomunikasi dengan dunia melalui kedipan mata kirinya. (foto: NYTimes)

Awalnya, sejak saya mengetahui film ini diluncurkan, saya tidak pernah ingin menontonnya. Tidak mau, karena akan mengingatkan saya pada ibu yang saat itu juga sedang menderita stroke. Untuk apa saya nonton film tentang orang yang terserang stroke, kalau keluarga sendiri saja mengalaminya. Pasti bawaannya sedih melulu. Meskipun film berjudul The Diving Bell and The Butterfly (terjemahan Prancis dari Le Scaphandre et Le Papillon) ini memenangkan banyak penghargaan, salah satunya Sutradara Terbaik di Festival Film Cannes tahun 2007.

Tetiba, kali ini ayah saya yang mendapat giliran terserang stroke. Dan kali ini, mengapa penderitaan itu terasa lebih berat dengan adanya beberapa musibah bertubi-tubi yang menimpa kami (tidak usah saya ceritakan di sini). Saya kembali teringat dengan film itu, film Prancis yang menceritakan kisah seorang penderita stroke dan katanya mendapat banyak penghargaan. Katanya, 'warna' film itu terasa begitu halus, lembut, dan saya juga baru tahu ternyata ceritanya diangkat dari kisah nyata. Mungkin saja kisah dari film tersebut akan menjadi penyemangat, setidaknya bagi saya.

Adalah Jean-Dominique Bauby, seorang editor majalah wanita terkemuka di dunia, Elle, yang mendadak mendapat serangan stroke fatal pada suatu hari di musim gugur tahun 1997 ketika sedang menemani putra sulungnya menyusuri jalanan pedesaan di sebuah mobil kap terbuka. Ia sendiri yang mengemudikan mobil tersebut, sementara putranya, Theophile, menyimak cerita sang ayah.

Jean-Dominique Bauby, sang editor majalah Elle, yang terserang stroke pada usia 43 tahun. Padahal ia diceritakan menjalani gaya hidup sehat. (foto: Blue Maize)
Jean-Dominique Bauby, sang editor majalah Elle, yang terserang stroke pada usia 43 tahun. Padahal ia diceritakan menjalani gaya hidup sehat. (foto: Blue Maize)
 Semua anggota tubuhnya lumpuh, bahkan untuk bernapas saja ia memerlukan bantuan trakeostomi, semacam selang yang dimasukkan ke leher pasien yang dilubangi terlebih dahulu. Kecuali, mata sebelah kirinya yang berfungsi normal, dan menjadi alat komunikasinya dengan dunia. Padahal, seperti yang diceritakan di film, Jean-Do, panggilan akrabnya, menjalani gaya hidup yang lumayan sehat. Seperti tidak sering minum alkohol, dan tidak merokok. Ini hal yang lumayan jarang ditemui bagi kebanyakan orang Prancis.

Di rumah sakit, Jean-Do menjalani berbagai terapi. Salah satunya adalah terapi wicara yang dipandu oleh seorang terapis wanita, Henriette. Yang menarik, di sini saya mengamati bahwa alfabet yang diajarkan oleh terapis tersebut bukanlah alfabet dalam urutan yang biasa kita pelajari, mulai dari A sampai Z. Melainkan huruf-huruf yang sering dipakai dalam kalimat dan kata-kata bahasa Prancis, yang dimulai dari huruf E, lalu S, A, R, I, N, T, U dan seterusnya. Dan Jean-Do harus memilih salah satu dari huruf tersebut dengan cara mengedipkan mata sebelah kirinya sekali.

Henriette, sang terapis, mengajarkan Jean-Do berkomunikasi menggunakan huruf-huruf alfabet yang sering digunakan dalam kata dan kalimat bahasa Prancis. (foto: Daily Telegraph)
Henriette, sang terapis, mengajarkan Jean-Do berkomunikasi menggunakan huruf-huruf alfabet yang sering digunakan dalam kata dan kalimat bahasa Prancis. (foto: Daily Telegraph)
Hal menarik lainnya, di sini digambarkan bahwa Jean-Do secara mental sangat sehat. Ia berkomunikasi dengan suara di dalam hatinya walaupun tidak dapat didengar orang-orang, menggunakan akalnya untuk berimajinasi sebebas-bebasnya seperti membayangkan dirinya bermain ski di pegunungan es, atau tenggelam di kedalaman laut dengan menggunakan baju penyelam, bahkan bernyanyi, serta membayangkannya berkencan dengan juru tulisnya, Claude. Sesekali te iaringat dengan kilasan-kilasan masa lalunya sebelum terserang stroke. Termasuk kehidupan percintaannya dengan sang kekasih, yang saya duga seorang model.

Yang ironis, seperti halnya yang sering diucapkan orang-orang... ketika Jean-Do terserang stroke inilah, justru keluarganya yang merawatnya dengan sepenuh hati. Sang istri yang sudah berpisah dengan Jean-Do, dengan tulus selalu menjenguk pria flamboyan ini bersama anak-anaknya. Celine, nama istrinya, juga tampak sangat tegar ketika suatu hari menerima telepon dari kekasih suaminya, yang dengan suara isak tangis bertanya, "Kamu ingin aku ke sana?"

Celine, sang istri yang cantik, rutin menjenguk Jean-Do meskipun mereka sebenarnya sudah berpisah. (foto: Daily Telegraph)
Celine, sang istri yang cantik, rutin menjenguk Jean-Do meskipun mereka sebenarnya sudah berpisah. (foto: Daily Telegraph)
Dengan dieja oleh sang istri, Jean-Do menjawab, "Setiap hari saya menunggumu." Duh... bikin gemes, nggak sih? Sudah dirawat baik-baik, masih juga nungguin wanita lain, rasanya pingin saya tempeleng, ha ha ha... Tapi toh, sang kekasih tidak pernah menemuinya hingga akhir hayatnya.

Yang menakjubkan dari sosok Jean-Do dengan fisik yang terkulai tidak berdaya ini justru adalah semangatnya untuk meninggalkan sebuah kenangan berharga dalam hidup. Ia mempunyai misi untuk menulis buku, dan itu ia wujudkan dengan dibantu oleh Claude, si juru tulis. Tidak dijelaskan berapa bulan waktu yang ia habiskan untuk mengedipkan matanya hingga bukunya selesai. Namun yang jelas, dua hari setelah bukunya terbit, Jean-Do pun menghadap ke haribaan Ilahi.  

Claude, sang juru tulis, menunjukkan buku hasil karya Jean-Do yang 'ditulis'-nya selama sakit. Dua hari setelah buku itu terbit, Jean-Do pun meninggal dunia. (foto: Rotten Tomatoes)
Claude, sang juru tulis, menunjukkan buku hasil karya Jean-Do yang 'ditulis'-nya selama sakit. Dua hari setelah buku itu terbit, Jean-Do pun meninggal dunia. (foto: Rotten Tomatoes)
Buku berjudul 'The Diving Bell and The Butterfly' bermakna seseorang yang terperangkap dalam tubuhnya, seperti seseorang yang memakai baju selam di kedalaman laut, namun imajinasinya bebas melayang seriang dan seringan kupu-kupu. Sayangnya buku itu belum ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Diceritakan, dalam seminggu saja buku itu telah laku terjual sebanyak 150 ribu kopi.

Namun ada beberapa hal yang membuat saya penasaran di sini dan tidak diungkapkan di film. Mungkin karena awalnya Jean-Do memang bermaksud menceritakannya untuk publik Prancis ya... seperti tidak dikisahkan berapa banyak dana yang dihabiskan untuk perawatan intensifnya sejak ia terserang koma selama 20 hari sampai saat kematiannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun