Mohon tunggu...
Dita Nugrahani
Dita Nugrahani Mohon Tunggu... -

tunjukkan bahwa diri kita ada dan patut dipertimbangkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surip dalam Kenampakan

3 November 2011   01:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:07 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seingatmu dengan semacam doa pula dulu orang tuamu memberimu nama Surip. Nama jawa yang tidak kau tahu pasti apa makna didalamnya. Yang jelas beberapa kali emakmu bercerita tentang arti Surip adalah “hidup” di tambahi awalan “S” yang berarti “si” atau “yang” dalam bahasa modernnya, lalu kau menggabungkan keduannya menjadi yang hidup. Sungguh luar bisaa orang tuamu mampu memberi nama yang bermakna besar. Bocah sepentaranmu dididik besar bersama orang tua, sedangkan kau, bapakmu mati saat kau masih berusia empat bulan. Dan menyusul ibumu mati pula saat kau kelas enam sekolah dasar. Kau menjadi Surip yang sebatang kara. Menjelajahi arti hidup dan mulai mencekeram mangsa dengan kukumu sendiri guna untuk makan. Menjadi buruh sawah, ngluku[1], mencangkul, buruh pikul, guyang Kebo atau bisaa disebut memandikan kebo, dan lainnya adalah hal yang kau lakukan. Hidup sebatang kara juga bukan pilihan. Apalagi hidup bersama mbok Ginah, embah dari ibumu adalah hal yang sangat menyebalkan. Wanita Budeg[2] itu setiap waktu akan berteriak hanya untuk memanggil namamu. Wanita renta itu juga tak sedikitpun tau tentang arti remaja untukmu. Walaupun kadang-kadang kau merasa welas[3] juga, ketika tiba-tiba tubuh kumalnya memelukmu erat dan menangis. Bau oweh[4] semalam masih terasa sengak di jarit luriknya. Rambutnya yang tidak sekalipun tersentuh sampo membuatmu terbatuk kecil. Yang satu ini adalah salahmu, kau sengaja menyembunyikan shampoo dari mbokmu, karena kau rasa terlalu boros wanita setua dia memakai wewangian. Dalam segukannya dia mulai mengigau. Tentang emakmu, bapakmu, kehidupanmu dan paling panjang tentang jodohmu. Kau akan sangat sebal dengan adegan seperti ini. Selanjutnya kau tau dia akan mulai mengigau masalah nasib. Tidak sedikitpun kau layani semua yang dia lakukan. Hanya saja terkadang kau turut menangis barang sesegukan. Kau ingat si Norman, lelaki sepentaranmu itu kamaren pulang. Kata, dia sekarang sekolah sudah sampai tingkat kuliah dikota. Menjadi mahasiswa, murid di Sekolah Tinggi. Yang kadang kala demonstrasinya kau lihat di siaran TV tetangga atau kau dengar melalui radio. Kau banyak Tanya tentang demo, bahkan kau berkeinginan untuk menjadi orang yang berdiri digarda depan dan meneriakkan ketidakadilan. Kau akan membawa bendera merah putih, membawa pengeras suara dan akan berteriak lantang tentang kebebasan dan jaminan untuk hidup. Apalagi ketika Norman mulai ngoceh tentang birokrasi pemerintahan, kau akan selalu manggut-manggut dan ketika dikamar sendirian akan kau tirukan apa kata Norman tadi. Kau kata, Norman sangat pintar menata setiap kalimatnya.

Sore kamaren Puji juga pulang, wanita teman bermainmu ketika kecil. Kau lihat dari kejauhan turun dari mobil gilap warna marah. Kata orang mobil terbaru merknya Honda. Puji hanya perempuan lulusan Sekolah dasar seusiamu. Dia kekota lima tahun yang lalu, dan berhasih menjadi istri konglomerat metropolitan. Kemaren bajunya gemerlap, sepatunya tinggi, kulitnya putih, dia juga terbisaa memoles bibirnya dengan gincu merah. Itu kebisaaan yang dulu tidak pernah dia lakukan sebelum menjadi suami konglomerat. Kau tidak memperhatikan suaminya. Entah lelaki seperti apa dia yang pasti kau kata, Puji adalah wanita pintar. Rumahnya yang hanya selang enam rumah dari tempat kau tinggal, sekarang sudah mewah seperti lukisan. Keramik putih, cat tembok warna kuning, taman kecil, kursi empuk yang bersandaran tinggi, dan entah apalagi, maklum kau tidak pernah masuk kerumah puji. Terakhir kau masuk saat puji menikah empat tahun lalu. Puji memang perempuan cerdas. Itu pujianmu. Menjadi perempuan desa yang selalu bergulat dengan kemiskinan membuat Puji meninggalkan segalanya. Sekolah tinggi tak mampu bagi puji. Nyogok pegawai negeri apalagi, duwit tak punya ijazah tak ada. Yang pasti puji masih punya semangat untuk sekedar mendapatkan suami konglomerat. Entah duda atau lelaki beristri lima sekalipun. Yang pasti mampu merubah wajah kemiskinan Puji manjadi rona keemasan.

Setelah kau mengingat semua itu perlahan akan kau lepas pelukan perempuan tua bernama mbah Ginah. Kau akan membayangkan keindahan yang diberikan kota terhadap siapapun yang dirahimnya. Lalu kau akan berpikir dan berdoa agar mbokmu cepat mati saja, sehingga kau tidak lagi punya tanggungan untuk mengurusi perempuan budeg yang menjemukan. Lantas sepeninggalnya kau akan pergi ke kota. Kau perlahan akan merubah hidupmu seperti halnya Puji. Kau akan bekerja keras menumpuk uang perhiasan dan meminang gadis cantik yang bisa memakai gincu merah seperti Puji. Pernah suatu pagi kau bertemu dengan Puji diperempatan desa. Ingin kau berlari, sembunyi karena malu. Kau tak mau Puji melihatmu masih menjadi Surip yang dulu. Namun Puji memanggilmu.

“Rip, Surip tunggu” katanya setengah berteriak. Kau gugup dan sedikit berdebar. Kau hanya tersenyum kecil yang pastinya Puji tau senyum itu adalah senyum terpaksa khas orang miskin yang tidak pernah tau kota. Minyak wangi yang dipakai Puji menebar saat dia mulai mendekatimu. Tangannnya halus tatkala kau beranikan diri untuk bersalaman.

”Bagaimana kabarmu?” tanyamu pada Puji. Pertanyaan yang tidak penting dan menambah rasa malumu. Seharusnya kau tidak Tanya itu sudah jelas Puji dalam keadaan baik, kaya, mewah, dan berbau kota. Sebenarnya kan kau bisa bertanya kapan kau datang, bersama siapa, sampai kapan disini, ada kerjaan tidak dikota buatku, atau yang lebih bervariasi lagi.
”aku baik saja rip. Kau nampaknya kurusan, sekarang kerja apa?” jawaban yang sudah bisa kau tebak. Kerja apa, pertanyaan yang pintar dan kau binggung akan menjawab apa.

“aku yah kerja seadanya. Masih seprti dulu Ji di desa susah “ jawabmu yang kembali kau rasa berlebihan. Kau sudah menerangkan hal yang sama sekali tidah perlu kau terangkan. Pastinya Puji akan tau sendiri jika didesa susah, jawaban itu pasti muncul ketika melihatmu kumal, kurus, dan selalu menundukkan pandangan. Pantas saja Puji tertawa kecil mendengarnya.

“sudahlah, kau kekota saja Rip. Kerja-kerja jadi kuli dapat gaji, kau bisa makan. Seperti Karji sekarang sudah menjadi mandor sapu jalan di kota. Sukat juga sekarang sudah punya kios rokok dan beberapa gerobag pentol” ucapnya panjang dan kau mulai membayangkan pertanyaan apa yang akan muncul setelah ini. Kau hanya diam. Tidak mengerti dengan dirimu sendiri. Ingin sekali kau berkata “nunut”[5] kau aku ke kota besok, carikan pekerjaan, gajinya berapa,dan lainnya. Namun tak satupun Tanya yang muncul. Bibirmu hanya komat-kamit grogi bercampur emosi ingin seperti Puji. “ya sudah, kau pikir dulu kalau sudah siap ke kota hubungi aku. Minta nomer handphoneku ke emak ya. Aku duluan Rip”

“iya” hanya kata itu yang muncul tak peduli kau dengan kata-kata Puji. Kau teruskan langkahmu menuju sawah lek Weton, sedikit demi sdikit kau jatuhkan butiran keringan setiap paculan tanah. Kau tahu ini semua akan berakhir.

****

Barulah saat ini kau bisa menangis seperti yang dilakukan mbah Ginah padamu beberapa tahun lalu. Kau benar-benar menangisi kapergiannya yang hanya menyisakan warisan berupa gombal-gombal tak berharga. Kau mulai tahu perjuangan hidup yang dulu ditangisi olehnya. Jodohmu yang ketika itu di gigaunya, nasip yang diceritakan, lalu pahit, yang saat ini kau mulai tau itu cerita pastinya. Kau juga baru memahami nama Surip yang diberikan orang tuamu dengan doa, si urip yang tidak hanya berarti yang hidup tapi kau bilang sekarang lebih berarti yang bisa bertahan.

Ini adalah tahun kesembilan, kau hidup dikota. Dengan segala macam kemolekan yang dulu hanya kau dengar dari Puji atau Norman juga Komari ketika pulang. Kau mulai menelusuri lekuk-lekuk kota. Kau yang dulu hanya Surip tukang guyang kebo, atau kuli pacul[6] sekarang mampu duduk ditengah taman alun-alun dan membaui nikmatnya asap pabrik. Kau tahu jiwamu tak setegar telapak tanganmu. Sayatan kecil yang dulu ditanam oleh kemiskinan kini tak mampiu mengembalikanmu pada lelaki sesungguhnya. Kau menjadi Surip yang pendiam, pemalu, dan tidak banyak kata. Kau sependapat jika beberapa orang mengatakan kau mewarisi watak emakmu juga watak mbah Ginah. Tapi kau tak sependapat jika dikatakan sebagai Surip bencong, atau dipanggil teh Surip oleh tetangga kontrakanmu. Kau bisa menjelaskan pada mereka bahwa kau sebenarnya lelaki hanya saja kau adalah lelaki lembut, sosok manis yang pemalu. Namun sampai sat ini tak ada sedikitpun keberanian untuk menjelaskan itu. Kau hanya mampu tersenyum lalu mengiyakan ketika orang-oarang memanggilmu dengan sapaan yang tidak kau sukai.

Bahkan akhir-akhir ini beberapa orang langgananmu memberimu nama Susan. Sebagai penjual nasi goreng keliling kau mengiyakan saja, asal setoran bisa penuh dan langganan puas. Itu yang diutamakan oleh juraganmu. Tidak butuh waktu lama untuk mengenalmu sebagai Susan nasi goreng. Dan setiap kali kau pulang jualan kau akan mengutuk satu persatu pelangganmu. Kau juga akan mengutuk habis-habisan nasipmu yang hanya dilahirkan disesa dan dari keluarga miskin. Kau terbisa berjalan menunduk, minder karena tak punya. Kau juga dibisakan untuk selalu minta maaf, belajar ngalah, tau diri dan selalu merasa bersalah. Karena itu semua adalah kodratnya orang miskin kata emakmu. Dan hal itu masih kau bawa sampai sekarang walaupun dengan sedikit ketidak sengajaan. Bicara pelah, adalah ajaran emakmu untuk orang miskin. Hal itu akan kau kutuk habis-habisan dalam kesendirianmu. Seperti saat ini. Lantas yang lainnya kau akan megutuk cara berjalanmu yang kata orang seperti perempuan. Selagi kau bisa berubah akan kau rubah hal itu. Namun semakin kau mencoba berjalan tegap dan gagah semakin tak karuan caramu melangkahkan kaki. Dan orang-oarng akan semakin menamakan kau banci. Pernah suatu pagi kau bersikeras untuk olahraga, kau ingin menjadi lelaki tegap yang berguna untuk wanita. Sebelum orang-orang komplek terbangun kau telah bersiap. Hanya memakai baju pendek, celana panjang santai serta sehelai handuk berwarna kelabu, serta sepatu olah raga. Kau pilih semua aksesoris yang berwarna lelaki. Kau mulai sedikit pemanasan dan berlari memutari komplek kontrakanmu. Namun betapa rasa dongkol yang tidak terkira ketika seorang ibu mulai menyapamu.

“hae…tumben kau olah raga Rip?”

“iya teh. Mau belanja?” tanyamu basa-basi.

“iya, makin feminin saja kau ini” tanpa kau komentari sedikitpun kau tinggalkan wanita setengah usia yang sering kau panggil teteh Unna.

Belum sebarapa rasa dongkolmu, segerombolan anak Sekolah menengah melewatimu, serentak mereka menanyaimu dan lebih tepatnya menggolokmu.

“haeyyy…pengen kurusin badan ya ciin?,lagi diet ya?” tawanya terbang bersama luka hatimu. Tanpa berpikir lagi kau pulang menuju rumah kontrakan dan merebahkan badanmu yang sama sekali tidak terasa lelah.

****

Ini adalah hari terakhir kau kerja menjadi Susan nasi goreng keliling. Sengaja kau bertekat akan meninggalkan kota ini untuk mendapat pekerjaan yang labih baik tentunya. Dan untuk menghilangkan nama Surip banci.

“kau yakin Rip?” tanya Puji padamu. Didepan pembelian tiket bus hari itu.

“yakin Ji. Terimakasih” hanya itu yang kau ucapkan. Singkat dan tak mau berbasa-basi. Karena kau tau pasti dihati Puji membisikkan sesuatu, banci sepertimu mana bisa cari pekerjaan yang lebih baik, jadi tukang nasi goreng keliling aja syukur.

Kau sengaja memilih kontrakan yang tidak ramai, agak kebelakang dan bukan gang utama. Kau mulai membeli harian setempat, membuka tepat pada lowangan kerja. Beberapa surat lamaran sengaja kau tulis, kau paparkan segala macam pengalaman hidupmu yang bisa kau banggakan. Kau ceritakan pahitnya hidupmu yang mmemilukan dengan tujuan bos yang membaca akan merasa harus menolongmu. Terakhir kau beri tanda tangan yang paling bagus yang kau bisa lalu tanpa aba-aba kau kirim satu persatu pada alamat yang tertera.

Satu, dua, tiga, delapan surat lamaranmu mulai dibaca, dengan relaas panggilan yang mengiurkan utnuk segera datang. Namun dari kantor satu ke kantor yang lainnya sangat membosankan, setelah melihatmu mereka hanya mengatakan satu kalimat yang sama

“maaf perusahan kami mencari karyawan pria atau wanita, bukan seperti anda “

Kau benar-benar menyumpahi dirimu sendiri. Kau tak pernah membayangkan akan menjadi banci yang memuakkan. Pantas saja dulu mabah Ginah merasa nasibmu sudah perlu disesalkan. Hari itu kau benar-benar menangis. Koper dan beberapa tas sudah kau siapkan untuk membawa pulang pakaianmu. Kau nekat akan pelang ke desa, toh kau masih menyimpan ung barang sedikit untuk ongkos pulang. Namun seorang wanita seumuranmu menepuk punggungmu dan tanpa dipersilahkan duduk mejejerimu didepan kontrakan. Logat bicaranya modern dan penuh semangat. Dia adalah wanita manis yang baru kali ini kau temui. Bahkan dia wanita paling cantik yang mau menyapamu tanpa uang lima ribuan untuk bayar nasi goreng.

“kau mau kerja?, disana. Ayo aku antar aku kenal baik dengan pemiliknya” hanya itu yang diungkapkan padamu. Tanganmu ditarik, sedikit tergesa. Kau mengikuti saja seraya menghapus keringat yang sedikit bercampur airmata.

Dan sejak itulah kau mempunyai pekerjaan yang bersih. Membisakan diri untuk bersih serta mencoba untuk meyukuri apa yang kau dapat. Kau tidak pernah mengungkapkan sedikit rasa kagum pada gadis yang akhir-akhir ini kau tahu anak konglomerat pemilik pabrik beton, yang pekerjanya sering menggodamu. Sedikit saja kau juga tak sempat berterimakasih padanya. Jika kebetulan bertemu karena sama-sama memesan Puthu kau lebih baik tersenyum saja padanya. Saat ini kau juga mulai membisaakan diri tertawa bersama kawanmu, bergerombol dan menikmati semua yang kau dapat. Kau tak lagi memilih desa untuk pulang bahkan kau bersumpah akan melupakan semuannya. Memulai yang baru dan tak akan pernah kembali. Beberapa pelanggan mulai mengenalmu, mereka yang menata rambut, meke-up, dan menata kecantikan yang lainnya. kau suka menjadi dirimu sendiri. Kau meyukai pergaulanmu, dengan istri-istri pegawai, anak remaja, artis, atau juga lelaki yang punya perasaan sama sepertimu. Kau berjanji pada dirimu sendiri akan mencintai semuannya. Seperti kau mencintai masa depanmu.

Walaupun terkadang dalam diammu kau tersenyum pahit, kau bukan banci seperti mereka, kau masih bisa membayangkan indahnya pantat Rosila istri pegawai pajak, atau merahnya bibir Puji serta indahnya payudara puji yang menyebul diantara blusnya. Kau juga masih bisa terangsang ketika membeyangkan paha mulus serta nafas-nafas wanita saat kau merapikan make-up mereka. Namun kau akan tetap menjadi Susan, sampai waktu yang entah tidak kau rencanakan. Sampai masa depan membawamu pada perubahan. Dan kau juga sering menggumam, jangan salahkan banci yang memilih salan dan duania malam, karena semua lapangan pekerjaan mencari pria atau wanita bukan mencari banci.

Kau masih diam terpaku. Duduk di teras belakang rumahmu. Membelakangi lukisan yang kau beli seharga delapan puluh juta. Menghadap guci yang kau bawa dari luar negeri. Menatap foto hitam putih emakmu yang kau cetak 10r. Rumah mewah itu menyimpan banyak hal yang tentunya tidak akan kau kenang dengan airmata, hanya akan kau kenang dengan senyuman. Karena kau adalah lelaki.

********

[1] Ngluku : membajak sawah dengan Sapi atau Kebo

[2] Budeg : Tuli

[3] Welas : kasihan

[4] Oweh ( E dibaca Enak bukan Endapan ) : Iler ketika tidur.

[5] Nunut : numpang

[6] Pacul : cangkul

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun