(Sidoarjo, 21 Juni 2019)
Pilpres diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih presidan dan wakil presiden. Ada yang berbeda dengan pilpres tahun ini, pilpres ahun ini menghasilkan sengketa hasil pilpres yang dinilai tidak adil dan banyak dilakukan kecurangan. Hal tersebut dituntutkan oleh pihak capres dan cawapres nomor uru 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. MK dipasrahkan untuk menangani kasus ini. Dihadirkan sembilan hakim yang dipilih berdasar pengalaman mereka dalam hal hukum yang sangat baik.
Sidang kasus sengketa pilpres 2019 telah digelar selama beberapa kali sidang. Dalam sidang-sidang tersebut dihadirkan beberapa saksi dari pihak pemohon. Dari beberapa saksi yang hadir banyak pernyataan dari saksi-saksi yang terkesan kurang tegas dan plin-plan. Beberapa bukti pun tidak ada sehingga MK merasa bingung akan hal itu.
Jawaban saksi yang dinilai plin-plan dapat diketahui dari ujaran saksi yang bernama Hermansyah saat ditanya MK apakah saat ia dimintai keterangan menjadi saksi ia merasa terancam, Hermansyah menjawab bahwa ia merasa terancam karena menurut kesaksiannya beberapa hari sebelum ia akan dipanggil untuk menjadi saksi di persidangan banyak mobil yang tidak ia kenal parkir di depan rumahnya.Â
Hal ini ia kaakan cukup mengancamnya. Namun saat ditanya lagi ia menjawab "Belum, karena bagi saya belum ada ancaman." Hal ini akan menjadikan MK merasa bahwa saksi tidak dapat dipegang omongannya. Di mana sebelumnya merasa terancam namun setelah ditanya lagi ia mengungkapkan tidak terancam.
Yang kedua mengenai bukti-bukti yang tidak ada. Yang pertama adalah ketika saksi menyebut adanya KTP palsu dan KK manipulatif ternyata tidak didapati bukti adanta KTP palsu dan KK manipulatif yang dimaksud oleh pihak pemohon. Dalam sidang lainnya didapati saksi yang tidak dapat membuktikan
Tuduhan pemohon mengenai aparat negara yang melakukan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif juga tidak terbukti. "Apa yang didalilkan pemohon sebagai pelanggaran TSM tidak terbukti" ucap hakim Wahiduddin.Â
Sebelumnya pemohon menganggap bahwa aparat negara ikut dalam menghegemoni warga untuk mendukung paslon nomor urut satu namun hal ini bukan dianggap sesuatu yang melanggar oleh Mahkamah Konstitusi karena menurut MK aparat negara hanya membantu jalannya kampanye bukan membantu memengaruhi warga untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Joko Widodo dan Ma'ruf Amien.
Tuduhan money politic juga ditolak oleh Mahkamah Konstitusi "Dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum" ujar hakim Arief. Tuduhan tersebut secara rinci adalah menganggap bahwa kenaikan gaji PNS, TNI, dan Polri menggunakan uang APBD negara. MK secara tegas menolak tuntutan ini karena tidak memiliki korelasi yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan lainnya, di mana sebenarnya kasus utamanya adalah sengketa pilpres, karena hal itu merupakan kritik kekuasaan yang tidak ada hubungannya dengan pemilu.
Mahkamah Konstitusi juga menjelaskan tuntutan yang menuduh cawapres nomor urut 2, Ma'ruf Amin melanggar syarat menjadi pemimpim negara karena tuduhan masih menjabat di Bank Syariah tidak benar, karena bank tersebut bukan merupakan Badan Usaha Milik Negara, sehingga Ma'ruf layak menjabat sebagai wakil presiden.
Dari beberapa hal yang muncul pada sidang sengketa pilpres di atas masih ada kesimpulan tersendiri dari warga sebagai pengikut sidang sengketa pilpres. Mungkin hal ini yang dimaksud oleh mantan kerua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD bahwa saksi-saksi yang hadir sudah memberikam gambaran keputusan untuk Mahkamah Konstitusi. "Menurut saya, sampai sekarang sebenarnya substansinya sudah selesai sih. Sudah bisa diputuskan sebenarnya" ujar Mahfud.