Mohon tunggu...
dimanasnawi@gmail.com
dimanasnawi@gmail.com Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Hanya Ada Hari Kartini

21 April 2010   08:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:40 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pernah nggak kamu mendengar nama Dewi Sartika malahayti dan Cut Nyak Dien? Hmm....kayaknya nggak asing ya meskipun namanya tak setenar Kartini. Kalo nama-nama yang ini: Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah, Malahayati dan Rohana Kudus? Hehehe....siap-siap aja kamu pada mengerutkan kening karena merasa tak kenal sama sekali dengan mereka.

Jepara, Jawa Tengah 129 tahun lalu, 21 April 1879. Rumah Bupati Raden Mas Adipati Sastrodininggrat melengking tangisan. R A Kartini dilahirkan. Ia kelak disanjung karena dianggap sebagai pembawa emansipasi wanita.

Lampadang, Aceh Besar 160 tahun lalu (1848), Cut Nyak Dhien dilahirkan. Ia ditakdirkan untuk membawa pesan ketangguhan perempuan di medan perang. Bila Kartini dengan tangan gemulai merangkai kata untuk perubahan, Cut Nyak Dhien lebih memilih pedang untuk mempertahankan jati diri ke-Aceh-annya.

Gemuainya Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang" membuat hari kelahirannya diperingati sampai sekarang. Tangkasnya Dhien mengayun pedang, menebas Belanda hanya terabadikan dalam sebuah film. Selebihnya hanya pajangan disekolah-sekolah, sebagai petanda kabar bahwa tokoh yang sampai tuanya tak pernah kompromi dengan penjajah Belanda itu masih dianggap sebagai pahlawan.

Tamat sekolah Europese Lagere School (ELS) setingkat sekolah dasar sekarang, Kartini duduk manis dengan kebangsawanannya menunggu pingitan. Sementara Dhien, yang dididik dibalai pengajian, lebih memilih jadi janda tinimbang tunduk pada Belanda.

Tahun 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyoninggrat. Disana Kartini mendirikan Sekolah Kepandaian Putri. Beragam kegiatan pemberdayaan perempuan dilakukan.

29 Juni 1878, Dhien menyandang status janda, setelah Tgk Ibrahim Lamnga, suaminya tewas dalam perang melawan Belanda di Gle Tarum. Dhien maju ke garda depan, menyemangati pasukan megorbankan perlawanan.

Di Rembang, Kartini masih berkutat di bawah teduh mengajari kaum perempuan untuk tak terjebak pada segi tiga lingkaran, sumur, dapur, dan kasur. Di Lamnga, Dhien menarik perempuan dari pelukan suaminya ke medan perang.

Pada usia 25 tahun, 17 September 1904, Kartini meninggal di ranjangnya, setelah berjuang melahirkan putra pertama. Di belantara Aceh, Dhien berjuang dengan penyakit encok dan rabun, setelah suami keduanya, Teuku Umar tewas ditembak Belanda dalam sebuah pertempuran di Meulaboh Aceh Barat.

Belanda menangkapnya setelah pengkhianatan Pang Laot yang tak tega melihat wanita kekar itu renta dengan penyakitnya. 6 November 1908, Dhien tewas di Sumedang, Jawa Barat dan dimakamkan di Gunung Puyuh setelah Belanda membuangnya ke sana.

Di rimba Aceh, gaung semangatnya masih menggema. Dhien pernah berkoar, setelah Mesjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda. Ia berteriak di hadapan rakyatnya, "Lihatlah wahai orang Aceh. Tempat ibadah kita dirusak. Mereka telah mencoreng nama Allah. Sampai kapan kita akan begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun