Mohon tunggu...
Anisa Fadil
Anisa Fadil Mohon Tunggu... assistant research -

aku adalah raga, menulis adalah nyawanya, dan kamu adalah asanya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Gaun Pengantin Eliana

13 Maret 2013   07:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:52 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Lagi-lagi Mama Eliana membelikan gadis semata wayangnya yang baru menginjak 20 tahun itu sebuah majalah pengantin. Entah mengapa? Sejak Eliana lulus SMA, Mama dan Papanya seolah menjadi wedding organizer yang siap mengatur semua keperluan pernikahan Eliana. Padahal pacar pun Eliana tak punya. Bukannya Eliana buruk rupa lantas tak ada yang mau padanya. Justru karena kecantikan Eliana yang menawan, dia menjadi over protective terhadap perasaannya. Namun orang tuanya selalu memiliki keinginan yang berbanding terbalik. Malam minggu yang seharusnya menjadi malam santai untuknya, malah menjadi malam menyebalkan yang tak pernah Eliana harapkan. Bagaimana tidak? Mama dan Papanya pasti dengan senang hati menerima semua teman laki-laki Eliana yang ingin apel malam itu. tentu saja Eliana kena imbasnya untuk menemani mereka juga. Dan saat itulah dia benar-benar malas dan merasa aneh dengan sikap kedua orang tuanya.

“Na….. majalahnya dibaca ya..? liat tuh banyak banget gaun pengantin yang indah dan menyenangkan. Pasti kamu bakal cantik memakainya…”

Teriak Mama dari dapur.

“masih lama, Ma. Eliana mau kuliah dulu. Baru semester empat juga….”

Sahut Eliana tak kalah kencangnya karena kesal.

“eh… jangan salah, kamu bisa kok nikah di semester ini. Mama dan Papa akan senang sekali melihatmu menjadi pengantin yang bahagia.”

Selalu kalimat itu. Pengantin yang bahagia. Eliana memilih diam dan kembali masuk ke kamar sembari membawa majalah menyebalkan itu ke dalam. Sesampainya di kamarnya yang banyak didominasi warna ungu, dia lempar majalah itu ke kardus sebelah kanan tempat tidurnya. Entah sudah berapa majalah dan buku pengantin yang menumpuk disitu. Pada awalnya dia memang semangat membaca dan melihat-lihat. Tapi karena terlalu sering, membuat gadis itu merasa jenuh. Sangat jenuh malah. Sehingga tiap Mamanya membelikan buku pengantin atau majalah tentang pernikahan, dia hanya akan membuangnya dalam kardus yang entah kapan akan dia buka kembali.

Belum lama rasa kesal itu menyelimuti hati Eliana, hpnya berdering dengan keras dan memampangkan sebuah nama yang tak asing lagi. Ardi. Nama salah satu cowok kesayangan mamanya yang selalu dipuja-puja bila datang ke rumah. Kedua orang tua Eliana sangat menginginkan lelaki itu menjadi pasangan hidupnya. Secepat mungkin kalau bisa. Padahal umur mereka masih sama, satu semester bahkan satu kelas pula di beberapa kelas. Ooh… Tuhan!!

“hallo Di…”

Sapa Eliana, malas.

“em… kamu lagi dimana, hun??”

Eliana mendesah. Muak rasanya mendengar sebutan “hun” yang disodorkan Ardi. Ini akibat ulah kedua orang tua Eliana yang terlalu mengelu-elukan lelaki itu. terlalu pede untuk memanggilnya “hun”.

“jangan panggil, hun! Aku bukan madu!”

Semprot Eliana yang ditanggapi dengan tawa Ardi.

“hahahaha pasti muka kamu sekarang lagi lucu banget kalo ngambek. Kamu emang bukan madu, sayang. Tapi kamu itu manis banget kayak kamu, bener kan???”

Ingin rasanya Eliana membanting Hpnya. Tapi mengingat itu hp satu-satunya yang pernah dia beli sendiri, rasanya sayang jika harus menuruti amarahnya pada Ardi.

“gak usah nge-gombal deh. Buruan bilang, ada apa?”

“aduh sayang, santai napa? Gini, malem minggu kemaren kan aku gak sempet ke rumah kamu karena aku harus keluar kota, ada job. Malem ini aku ke rumah kamu ya? Aku belikan oleh-oleh lho…. Boleh ya..? aku dateng jam 7 tepat. Oke..? tunggu aku sayang..”

“tapi…”

“tuuuuuuuuuuuuuuuut…………………”

Eliana benar-benar ingin mati jika mengingat kehidupannya yang begitu memprihatinkan. Seharusnya dia bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan di minggu malam. Tapi mengapa selalu saja ada pengacau yang membuat hidupnya tak pernah tenang. Apakah dia memang harus menentukan pilihan untuk menikah dengan satu orang dan tidak akan pernah diganggu dengan orang lain? namun dengan siapa? Ardi kah? Bagas? Yudha? Hendra? Apakah mereka bisa menjamin menumbuhkan kebahagiaan yang selama ini Eliana idam-idamkan jika memikirkan pernikahan dan keluarga baru? Lalu bagaimana dengan kuliah dan cita-citanya jika dia memutuskan untuk menuruti mama dan papanya?

“aarrhhhhggggg………………..”

***

Hari senin seperti biasanya, Eliana berangkat kuliah dengan papa dan mamanya yang juga hendak ke kantor. Sepanjang jalan, Mamanya selalu saja membicarakan gaun yang dihadiahkan Ardi tadi malam pada Eliana. Mamanya berkomentar seolah-olah baju itu buatan desainer internasional yang harganya jutaan rupiah.

“gaunnya bagus banget lho,Na. kamu harus coba ya…? Pakek waktu Ardi ngajak kamu keluar. Atau sabtu depan aja waktu dia ke rumah. Dia pasti seneng banget. Kira-kira, kalian kalo nikah nanti bakal milih gaun yang kayak gimana ya?? Mama jadi penasaran…”

“ma….. masih lama…”

Sela Eliana sambil membuka buku ke halaman berikutnya.

“meskipun masih lama kan butuh persiapan juga, Na. Papa dan Mama Cuma pengen yang terbaik buat kamu….”

Kali Papa juga ikut nimbrung dalam perbincangan menyebalkan ini. Andaikan ini bukan hari senin, hidupnya pasti akan lebih menyenangkan. Karena setelah hari senin, ia akan berbeda jadwal berangkat dengan kedua orang tuanya. Itu artinya dia dan orang tuanya akan berangkat sendiri-sendiri serta terbebas dari perbincangan “gaun pengantin” yang membuatnya semakin depresi.

Akhirnya Eliana memilih untuk diam. Biarkan Mama dan Papanya sibuk mengagumi gaun yang diberikan Ardi dan juga bayangan mereka saat Putri semata wayangnya itu menikah kelak. Sebenarnya tak menjadi masalah bagi Eliana tentang sebuah pernikahan. Baginya, menikah muda itu tak ada yang salah. Daripada menimbun dosa dan mengobral janji sekian tahun saat pacaran, lebih baik menikah dan membina keluarga dengan baik dan bahagia. Namun yang menjadi pertanyaan, siapakah calon yang bersedia memenuhi mimpi-mimpinya selama ini?

Sesampainya di kampus, Eliana langsung menuju ruang kelasnya di lantai tiga.

“El….”

Tiba-tiba saja langkahnya harus terhenti ketika Kak Anto memanggilnya, seniornya di salah satu organisasi yang dia ikuti.

“iya kak???”

“gimana persiapan pementasan nasionalnya???”

Deg…deg… lama rasanya Eliana melupakan agenda besar fakultasnya kali ini.

“ohh… sebentar lagi akan aku kerjakan. Kapan diadakan rapat besarnya? Ada beberapa point yang harus aku tanyakan pada ketua pelaksana dan badan pengurus harian organisasi.”

“lusa. Nanti aku beritahukan lagi. Siapkan yang terbaik ya… aku sudah setuju dengan konsep acara yang kamu buat.”

Eliana tersenyum dan mengangguk kecil. Selama menjadi panitia apapun, Eliana memang selalu mendapat jabatan sebagai koordinator divisi acara karena kemahirannya mengonsep sesuatu.

“ya sudah, mau kuliah???”

“iya..”

“aku duluan ya..??”

Lelaki yang dua tahun lebih tua darinya itu kini berlalu, Eliana pun segera menyeret kedua kakinya untuk naik ke atas. Salah satu yang bisa membuat Eliana sejenak melupakan persoalan “gaun pengantin” yang orang tuanya bicarakan adalah dengan mengikuti kegiatan organisasi. Setidaknya dia bisa melarikan diri sebentar.

***

Hari H pelaksanaan acara pementasan nasional yang bertemakan “pagelaran untuk Indonesia” yang sejak tiga bulan yang lalu dinanti-nanti oleh Eliana akhirnya tiba juga. Dengan semangat dan rasa bahagia yang begitu besar, Eliana mengemasi barang-barangnya untuk dibawa ke kampus. Selama tiga hari ke depan, dia akan menginap di kampus untuk mengontrol semua aktivitas pagelaran tersebut. Mama yang sedari tadi menemaninya berkemas seolah-olah tak rela melihat anaknya akan meninggalkannya.

“kamu beneran gak bisa pulang ya Na?? bentar aja sayang…”

Rengek Mamanya dengan suara agak serak. Eliana berhenti sejenak lalu melihat kea rah Mamanya.

“Mama…. Eliana Cuma tiga hari kok di kampusnya. Setelah itu Eliana ambil dispen tiga hari buat istirahat di rumah. Ya….??”

Tetapi kalimat itu sama sekali tak membuat Mama lega. Wanita itu tetap saja merasa berat melihat ana semata wayangnya tak akan di rumah selama tiga hari.

“kalo gitu, Mama dan papa bakal jenguk kamu ya…? Mana kuat Mama gak ngeliat kamu……”

Mau tak mau dan harus mau Eliana mengiyakan permintaan mamanya itu. meskipun kadang dia merasa, dia butuh kebebasan mengurusi kehidupannya sendiri.

“oke Ma…. Eliana berangkat dulu ya..? mobilnya Eliana bawa, pasti Eliana akan butuh itu. aku sayang Mama… dada….”

Setelah mengecup kening Mamanya, gadis berusia dua puluh tahun itu lantas masuk mobil dan melaju bersama pengguna jalan yang lain. akhirnya selama tiga hari dia akan terbebas dari paksaan Mamanya untuk memikirkan gaun pengantin dan calon suami, terlebih paksaan untuk menemui Ardi yang kini makin rajin berkunjung ke rumahnya. Ooh…. Senangnya!!!

Sore itu sesampainya di kampus, Eliana langsung menyiapkan panggung dan beberapa ruangan yang akan dipakai pementasan. Seluruh panitia telah hadir dan ikut membantu.

“El…???”

Eliana segera mendekati Kak Anto yang memanggilnya.

“ya Kak..???”

“ini ketua Ikatan Mahasiswa Seni Indonesia yang bekerja sama dengan kita. Beliau yang akan mengkoordinir semuanya dari pihak IMSI.”

Eliana melihat seorang lelaki bertubuh kurus dan pendek untuk ukuran cowok disamping Kak Anto yang tinggi. Awalnya Eliana ingin tertawa melihat dua tubuh yang kontras berjejer begitu lucu. Tapi demi menjaga attitude antar lembaga, dia hanya tersenyum dan membalas jabatan si lelaki.

“Eliana..”

“Sandi..”

“baiklah… gimana semua sudah siap???”

Tanya kak Anto membuyarkan lamunan Eliana ketika melihat Sandi yang begitu lucu.

“ready!!”

Jawab Eliana singkat seraya pamit untuk meninggalkan tempat.

Malam itu menjadi malam paling sibuk yang pernah Eliana lalui. Daripada dia merasa terbebani dengan telpon dari Mama , Papa dan Ardi, dia matikan hp dan bekerja dengan maksimal. Besok acara pertama akan diadakan talk show tentang kesusastraan. Dia dan beberapa panitia lain harus mendekor ruangan talk show. Siangnya akan dilakukan bazaar buku dan pertunjukan seni dari beberapa negara, kali ini panitia hanya membantu karena ini acara dari IMSI. Tapi sebagai tuan rumah, Eliana dan yang lain sama sekali tidak menyepelekan kegiatan apapun. Bagi Eliana, bekerja professional bukanlah tuntutan dan kewajiban lagi. Namun sudah menjadi panggilan hati yang harus dilakukannya sepenuh hati.

***

Acara talk show berlangsung dengan baik. Semua berjalan sesuai dengan run down yang Eliana buat dan tak ada kemoloran waktu yang serius. Namun setelah acara talk show ternyata ada sedikit perubahan dari IMSI.

“kami dari IMSI memohon untuk waktunya agak diluangkan demi kesiapan dari IMSI sendiri. Terserah panitia mau dipakai apa.”

Kata Sandi, ketua IMSI. Eliana sedikit kaget, karena acara yang sudah dia susun harus diubah dengan jangka waktu yang relative singkat seperti ini.

“tapi Mas Sandi, tentu tidak mudah mengubah acara yang sudah kita sepakat sejak awal..”

“kami benar-benar mohon maaf, Dik. Tapi dari pihak kami ada beberapa yang tidak siap melakukan pertunjukkan.”

Eliana menghela napas. Untungnya dia selalu memiliki plan B dan plan C bila terjadi hal yang tidak diinginkan seperti ini.

“Oke… aku akan mengeluarkan pemain cadangan untuk mengisi kekosongan. Aku harap, gak ada perubahan jadwal semendadak ini…”

Akhirnya Eliana bergegas memberitahu pemain cadangannya untuk segera beraksi mengisikekosongan panggung dalam acara bazar kali ini. Sebenarnya dia agak kesal dengan sikap mas Sandi yang seenaknya sendiri mengganti jadwal. Tapi dia harus mentolerir apa yang sedang terjadi. Mungkin saja Mas Sandi dan yang lain memang belum siap.

Setelah acara selesai, saatnya panitia istirahat. Bagian konsumsi segera membagi makanan panitia dan beberapa orang peserta yang ikut acara ini dari awal sampai akhir.

“Eliana…. Ada keluarga kamu diluar.”

Eliana pun langsung berlari ke luar Aula begitu teman-temannya memberitahukan berita itu.

“Eliana sayang……”

Mama langsung memeluk anak gadisnya itu dengan erat. Papa dan Ardi yang mengantarnya juga tersenyum bahagia seolah baru bertemu anak yang telah dipisahkan selama bertahun-tahun.

“mama semalaman gak bisa tidur mikirin kamu, sayang. Kamu kok keliatan gak sehat gini… kamu pasti capek banget ya…??

“enggak Ma… Eliana baik-baik aja kok…”

Jawab Eliana sambil tersenyum melihat Mamanya begitu khawatir.

“Eliana….???”

Namun Eliana dan keluarganya harus menghentikan acara “kangen-kangen-an”nya begitu Mas Sandi memanggilnya.

“oh… maaf.”

Sahut Mas Sandi setelah mengetahui Eliana bersama keluarganya.

“kenapa Mas? Sebentar ya…”

Mas Sandi mengangguk lalu segera meninggalkan Eliana dan keluarganya.

“siapa dia, Na??”

Tanya Papa sesaat kemudian.

“dia itu ketua ikatan mahasiswa seni Indonesia, Pa. yang kerjasama sama fakultas Eliana. Kenapa Pa???”

“kecil banget…… buat ukuran cowok.”

Eliana juga berpikir seperti itu.

“kamu jangan naksir cowok itu loh ya… Mama gak mau nantinya calon suami kamu harus pakek sepatu yang lebih tinggi atau naik kursi untuk menandingin tubuh ideal kamu. Oke…? Mending sama ardi aja, tingginya udah pas. Semuanya juga udah pas…”

Kali ini Eliana menghela napas panjangnya yang berat. Sepertinya Ardi tidak hanya over acting selama dia tak ada di rumah. Mungkin saja lelaki ini menyihir kedua orang tuanya. Lihat saja, kini Ardi Nampak begitu bahagia dan sok meang seperti itu dengan wajahnya yang sedikit terangkat. Menyebalkan!!

“mulai hari ini Mama nyuruh Ardi buat jagain kamu. Dan mama akan mengirimi kamu makanan dan keperluan yang lain, gak boleh nolak!! Oke…??”

Sedikit berlebihan menurut Eliana. Tapi bisa apa kecuali menuruti Mamanya. Dia hanya tak suka dengan Ardi yang sebentar lagi akan selalu bertemu dengannya. Oh… ini pasti menjadi moment paling menyebalkan sedunia.

Setelah cukup lama menemui keluarganya, Eliana mengantar mereka sampai parkiran dan melihat kedua orang tuanya kembali ke rumah. Lalu gadis itu segera ke ruang aula untuk mempersiapkan yang lainnya untuk acara nanti malam. Di depan pintu Aula, Eliana melihat Mas Sandi mondar-madir tak menentu sambil sesekali melihati hpnya. Merasa penasaran, Eliana mendekati lelaki itu.

“kenapa, Mas?? Tadi mau bicara sama aku??”

“ohh.. Eliana??”

Sahut Mas Sandi sedikit panik.

“iya El….. tapi udah beres kok. Aku ijin pergi sebentar ya? Ada yang perlu aku selesaikan.”

Eliana mengangguk lalu membiarkan lelaki itu berlalu di depannya. Sebenarnya Eliana sedikit aneh dengan sikap Mas Sandi sore ini. Pertama, awalnya lelaki ini ingin bicara padanya. Kedua, tiba-tiba saja dia tak jadi bicara malah keliahatan panic sekali. Ketiga, bukankah Mas Sandi itu kuliah di Jakarta dan tidak mengenal kota Jogja? Mengapa kini ia seolah-olah ada kepentingan lain di kota ini? Atau jangan-jangan sebenarnya orang ini adalah penduduk tetap Jogja, hanya saja menempuh pendidikan di Jakarta? tunggu dulu, bukan kah Kak Anto pernah bercerita kalau Mas Sandi itu orang Malang? Pertanyaan-pertanyaan itu bukan malah membuat Eliana menemukan jawabannya. Yang hadir malah kebingungan yang berujung pada sakit kepala sebelah. Oh… Tuhan!!!

***

“mama dan Papa tadi nitip salam buat kamu, Na. kamu baik-baik aja kan sayang???”

Ardi!! Lelaki paling menyebalkan yang pernah Eliana kenal. Bagaimana tidak? Lelaki itu menganggunya saat keadaan begitu rumit dengan perubahan jadwal dan pemain drama yang ternyata kurang. Namun Ardi tetap memaksa menemuinya hingga berteriak akan menunggunya seharian. Eliana pun terpaksa menemui orang aneh itu dan tidak berkata apa-apa kecuali ucapan terima kasih.

“Na.. acaranya sampek kapan sih?? Kamu nanti sakit loh…”

Peduli amat!! Itu yang ada di benak Eliana sekarang. Namun dia tetap diam, menunjukkan ini bentuk protesnya.

“kok diem aja sih, Na….”

Kali ini gadis itu menghela napas panjang. Ardi selalu saja tak pernah bisa mengerti keadaannya. Daripada memperpanjang semuanya, lebih baik Eliana meminta lelaki itu cepat pulang.

“mending sekarang kamu pulang deh.Masih banyak yang harus aku urusin.”

“aduh Na.. pesan Mama kamu tuh banyak banget. Gak bisa dong kalo ketemuannya singkat gini.”

“ya udah buruan Mama bilang apa buat aku????”

Dia pun mulai emosi.

“em….. oh ya.. ini Mama kamu nyuruh aku bawain gaun ini buat kamu. Kata beliau, kamu pasti akan membutuhkannya…”

Jawab Ardi sambil mengeluarkan kotak yang lumayan besar berisikan gaun. Mama memulainya lagi!!! Batin Eliana malas. Tanpa basa-basi, diterima saja kotak itu. dan dia bergegas naik tangga agar Ardi berhenti cari-cari alasan untuk menahannya lebih lama.

“Na… kok aku ditinggal sih..???”

Tanpa mendengar ocehan Ardi, Eliana tetap melangkah dan meng-handle acaranya kembali. Acara kurang sehari lagi. Dia harus lebih bersemangat untuk menyelesaikannya dengan sempurna.

“karena personilnya kurang, Eliana akan menggantikan perannya sebagai peran utama.”

Setibanya di Aula, betapa kagetnya Eliana ketika namanya diumumkan oleh Mas Sandi kalau dia akan menjadi pemeran utama Drama.

“apa? Tidak bisa!! Ini tak ada konfirmasi. Tolong Mas Sandi, mas harus koordinasi dengan saya dulu sebelum memberikan keputusan.”

Sahut eliana setengah berteriak. Spontan beberapa orang disitu sekaligus Mas Sandi juga menoleh padanya.

“begini El…. Kami….”

“tidak bisa. Kerjasama ya kerjasama, tapi bukan begini caranya. Pergantian jadwal ini sudah membuat saya dan teman-teman yang lain pusing. Apalagi perubahan pemain dan melibatkan diriku seperti ini? Aturan macam apa ini???”

Eliana yang merasa dipermainkan, keluar ruangan begitu saja tanpa menghiraukan orang-orang yang terus melihatnya dan berharap dia tak selelah ini. Namun semua sudah terlanjur, gadis itu sudah keluar dan pergi entah kemana. Mas Sandi yang memberikan keputusan kilat itu kini merasa benar-benar bersalah. Akhirnya rapat dihentikan dan panitia kembali pada pekerjaannya masing-masing.

***

Tiga jam lagi pementasan drama dimulai. Namun pemain utama wanita masih belum ada penggantinya. Eliana yang diharapkan datang untuk menyumbang ide pun kabur entah kemana. para panitia, pemain dan Mas Sandi jadi gusar. Acara puncak ini tak mungkin dibatalkan. Akan banyak orang penting yang melihatnya secara live nantinya. Tapi tanpa kehadiran pemain wanita juga akan terasa begitu hambar.

Akhirnya Mas Sandi tak bisa tinggal diam. Diambilnya sebuah kotak berisikan gaun pemeran wanita dan dia keluar ruangan. Semua orang melihatnya heran, namun karena tak ada ide, lelaki itu dibiarkan sesukanya.

Setelah berkeliling fakultas yang notabene tidak dia ketahui, akhirnya dia bisa menemukan orang yang dia cari. Eliana!!!

“saya dan teman-teman IMSI tidak ada niatan mempermainkan acara kamu, El. Terlebih membuat Divisi acara kelelahan. Kami hanya tak ada pilihan karena pemainnya kurang.”

Eliana yang awalnya melihat panorama senja yang indah membalikkan badannya menghadap Mas Sandi.

“seharusnya Mas sudah menyiapkan sejak awal. Jadi semuanya tak serba mendadak seperti ini.”

Bantah Eliana, masih tetap emosi.

“aku minta maaf. Tapi memang ini yang sedang terjadi. Karena banyak hal, semua jadi seperti ini. Aku mohon Eliana….. bantu kami. Bantu aku…”

Eliana berpikir sejenak. Benar apa yang dikatakan Mas Sandi, mungkin inilah keadaan yang mau tak mau harus dia selesaikan. Toh dia juga pemain drama yang tak bisa diremehkan kredibilitasnya, mengapa tawaran ini harus ditolak? Akhirnya Eliana mengiyakan tawaran main Mas Sandi.

“oke. Tapi dengan satu syarat, lain kali jika kita bekerjasama lagi, jangan seperti ini. Merepotkan!!!”

Mas Sandi tersenyum lalu mengangguk pasti.

Waltu kurang dua jam lagi. Eliana dan pemain yang lain bergegas berdandan dan bersiap-siap. Namun ada masalah kecil yang membuat Eliana dan beberapa orang panik.

“gaunnya tidak muat untuk tubuh Eliana yang semampai.”

Kata Ana cemas.

“aku ada gaun.. tolong ambilkan di kotak itu.”

Pinta Eliana. Ana pun mengambil kotak yang diminta Eliana itu dan membukanya.

“gaun apa, Na?? ini baju biasa….”

Eliana terperanjat, kaget bukan main melihat bukan gaun yang ada di kotak pemberian Ardi tadi.

“apa?? Lalu??? Oh Tuhan…”

“sebentar… aku lapor dulu ke Mas Sandi…”

Ana keluar ruang rias dan memberitahu masalah itu pada Mas Sandi yang masih melihat-lihat ruangan drama.

“Mas Sandi, ada masalah.”

“ada apa??”

“gaun yang harus dipakai Eliana, tidak muat.”

“apa??”

Mas Sandi pun terlihat sangat kaget, sedangkan waktu kurang satu jam lagi. Tiba-tiba saja lelaki itu berlari keluar gedung dan entah pergi kemana. Ana hanya bisa melihatnya dan menunggu, apa yang akan terjadi setelah ini. Akhirnya gadis itu kembali ke ruang rias tanpa membawa apa-apa, bahkan kepalanya makin pusing.

“bagaimana kata Mas Sandi?”

Tanya Eliana cemas.

“dia nggak bilang apa-apa Na…”

Eliana makin panik. Apa yang bisa dia kerjakan dalam waktu 45 menit ini? Mustahil kalau dia menyuruh Ardi membawakan gaunnya. Jarak dari kampus ke rumahnya memakan waktu 25 menit itu pun kalau ngebut. Jika tidak bisa menghabiskan waktu 30-35 menit. Akhirnya Eliana menyerah. Apapun yang terjadi untuk drama, rasanya dia ingin menutup mata saja.

Semua panitia dan pemain drama cemas, gelisah bahkan ada yang sudah menyerah. Drama kali ini ini akan begitu hancur tanpa adanya pemeran wanita. Masing-masing dari mereka menyalahkan diri dan marah-marah. Eliana pun hanya bisa terdiam, menahan kepalanya yang mendadak begitu pusing. Ingin pingsan saja rasanya.

“Eliana………..!!!”

Tiba-tiba saja seorang lelaki memanggil namanya dengan keras, terkesan tergesa.

“Mas Sandi???”

Eliana terperanjat melihat lelaki itu bermandikan peluh sambil menenteng sebuah bungkusan.

“waktu kurang sepuluh menit. Masih ada waktu untuk ganti baju kan??”

Sahutnya sambil memberikan bungkusan itu pada Eliana. Tanpa banyak mulut, Eliana bergegas ke ruang ganti dan membuka bungkusan tadi. Ternyata sebuah gaun yang begitu indah. Warna biru muda yang dipadu dengan pink lembut yang senada dengan aksesoris berupa kalung dan gelang di dalamnya. Eliana sempat mengagumi gaun itu untuk beberapa saat sebelum dia keluar dan segera bersiap-siap.

Panitia dan pemain yang lain akhirnya bisa bernapas agak lega dengan perjuangan Mas Sandu mendapatkan gaun indah tersebut. saat pementasan pun, panitia masih harap-harap cemas. Tapi para pemain memerankan perannya dengan sempurna. Tak terkecuali Eliana yang baru seharian menghapal naskah dua hari yang lalu. Namun itulah yang menjadi pertimbangan mengapa Mas Sandi menunjuknya secara spontan untuk memerankan peran vital ini. Eliana adalah gadis cerdas yang memiliki kemampuan tinggi dalam menghafal dan memainkan karakter.

***

Acara telah berakhir. Semua undangan dari seluruh nusantara sudah diantar ke bandara untuk pulang. Sebagian panitia pun sudah pulang setelah berbenah ruangan. Keluarga Eliana sudah menunggu putrinya untuk segera diajak pulang. Terutama Mama yang begitu tak sabar melihat Eliana. Sementara Eliana sendiri sibuk merapikan beberapa berkas dan peralatan yang masih berserakan. Dia terlihat sangat sibuk, bahkan gaun yang dipakai untuk drama pun belum diganti. Masih menempel indah di tubuhnya.

“Eliana…. Bagus sekali tadi mainnya. Perfect!! Tau begitu aku tak perlu memasukkanmu ke dalam jajaran panitia. Masuk ke pemain saja. Lebih cocok!”

Kak Anto memberinya dua acungan jempol. Eliana hanya tersenyum, bangga. Ternyata kemampuannya dalam drama masih begitu bagus meski telah lama tak diasah.

“great, Eliana!! Makasih banyak ya…? Tanpa kamu, tentu acara ini tak akan pernah sempurna.”

Begitu pula Mas Sandi yang berada di sebelah Kak Anto.

“ahh.. biasa saja mas. Iya sama-sama. Oh ya, bajunya??? Kapan Mas Sandi akan kembali ke Jakarta???”

“ambil saja. Itu hadiah buat kamu. Lagian, ukurannya pas kan???”

Eliana Nampak bingung. Sebelum sepatahpun bisa terucap dari gadis itu, Mas Sandi sudah berlalu sambil menenteng tasnya yang besar yang semakin membuat lelaki itu terlihat kecil. Eliana tertawa. Entah mengapa untuk pertama kalinya dia tak ingin melepas gaun yang menempel di tubuhnya kali ini. Rasanya begitu bahagia, seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah dari orang tuanya.

Masih dengan senyum dan gaun yang cantik, Eliana menemui keluarganya. Mama dan Papa sempat terkesima melihat putrinya menjelma menjadi Ratu tercantik.

“Na?? kamu cantik sekali… gaun siapa ini, sayang???”

Tanya Mamanya penasaran. Eliana hanya tersenyum dan segera masuk ke mobil.

“Eliana?? Jawab pertanyaan Mama, sayang. Dari Ardi???”

“Mama….? Bukan, dari seorang pangeran. Sudah ah… Eliana mau tidur.”

Mama dan Papa saling berpendangan. Merasa ada yang tak beres dengan anak semata wayangnya itu.

Keesokan harinya, Eliana kuliah seperti biasa. Hatinya masih sedikit berbunga-bunga karena kejadian kemarin. Dia sendiri juga tak tahu mengapa. Dia hanya ingin menikmati perasaannya ini sendiri tanpa harus mencari sebenarnya apa yang terjadi padanya.

“kayaknya si eneng seneng banget hari ini. Kenapa???”

Tanya Vanya, teman sekelasnya sore dipenghujung waktu itu.

“gak pa-pa kok….”

“gara-gara si Ardi ya…”

Goda yang lain.

“idih amit-amit. Kayak gak ada cowok lain aja di dunia ini.”

“hahaha… gimana kalo malem ini kita jalan-jalan? Udah lama gak jalan-jalan nih..”

“oke deh….”

Pukul lima sore, mereka bertiga, Eliana, Vanya dan Tata pergi ke mall untuk makan malam dan sedikit berbelanja. Dulu, ketika semester satu dan dua mereka masih sering jalan bersama seperti ini. Namun sejak Eliana masuk ke beberapa organisasi dan membuat gadis itu menjadi super duper sibuk, kegiatan seperti ini seolah terlupakan.

Setelah makan dan menemani Vanya yang hobby Shopping memborong beberapa baju, kini saatnya Eliana turun ke lantai bawah untuk melihat-lihat majalah. Saat turun dari escalator, betapa kagetnya Eliana melihat sesosok lelaki yang baru-baru ini membuatnya berbunga-bunga.

“Mas Sandi???”

Yang sedang dilihatpun kini sedang memandangnya sambil memamerkan senyumnya. Tanpa basa-basi, Eliana menghampiri Mas Sandi dan menyambut jabat tangan lelaki itu.

“sendirian aja???”

“iya… teman-teman sedang rekreasi keliling kota Jogja katanya.”

“kenapa nggak ikut?”

“emmm nanti harus kembali ke Jakarta. jadi gak bisa ikut. Kamu sendirian???”

“enggak kok. Sama temen-temenku. Ya udah ya mas, aku lanjutkan dulu.”

Mas Sandi tersenyum lalu mempersilahkan Eliana untuk meneruskan belanjanya. Lelaki itu masih melihati Eliana dari jauh dan sesekali tersenyum. Kekaguman dan pesona yang dipancarkan Eliana saat bermain drama kemarin masih begitu kuat diingatannya. Membuatnya kadang tertawa sendiri.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Itulah peribahasa yang cocok untuk Eliana sekarang. Sejak pagi hingga petang ini, dia berharap Mas Sandi belum kembali ke Jakarta dan bertemu denganya seperti tadi. Dan ternyata mimpinya itu terkabul begitu cepat. Ooh.. senangnya!!!

Sepulangnya dari mall, Eliana kembali mengagetkan kedua orang tuanya.

“kamu ini kenapa sih sayang?? Mama jadi takut sendiri liat keanehan kamu. Kamu gak pa-pa kan?????”

Tanya Mamanya cemas.

“aku fine-fine aja kok Ma….. Mama tenang aja. Oh ya, gaun yang ku pakek kemaren udah di laudry kan? Aku gak mau itu rusak sedikitpun.”

Benar-benar aneh!! Seharusnya Mama dan Papa senang melihat Putri semata wayangnya kini menyukai gaun dan mau membuka-buka tumpukan majalah dikamarnya. Tapi mereka hanya merasa aneh. Mungkinkah anaknya sedang jatuh cinta? Tapi pada siapa? Sedangkan sikap Eliana masih biasa-biasa saja pada lelaki yang sering mendekatinya. Apa yang terjadi dengan anaknya???

***

Beberapa hari Eliana sempat senang dan bahagia sekali ketika melihat majalah-majalah pernikahan yang Mama berikan. Namun akhir-akhir ini dia merasa agak malas. Bukan karena majalah itu sudah bosan dia lihat. Mama masih rajin membelikannya. Tapi yang jadi masalah, sosok yang membuatnya senang telah lenyap dari pandangan matanya. Sandi!! Ya, siapa lagi kalau bukan lelaki itu. seharusnya Eliana punya nomornya sehingga tidak pernah sebingung ini ketika rindu stadium akut menyerangnya tiba-tiba. Namun saat bekerja sama kemarin, otaknya tak sempat memikirkan hal itu. dan inilah jadinya, tiap hari kerjaannya hanya memandangi gaun pemberian Mas Sandi.

“Na…. ada Ardi nih… keluar kamar dong. Kasian dia udah nunggu setengah jam”

Apalagi kalau Mama sudah membahas tentang Ardi. Rasanya Eliana ingin tertidur lebih lama saja dan bangun ketika Mas Sandi kembali ke kota ini untuk menemuinya. Tapi apakah mungkin Mas Sandi akan menemuinya meskipun lelaki itu datang ke kota ini??? Lelaki itu hanya memberinya sebuah gaun, bukan menyetakan apa-apa dan juga bukan menandakan indikasi apa-apa. Mungkin saja Mas Sandi memang orang yang pemurah hati sehingga mudah memberikan hadiah.

“Eliana…..”

Panggil Mamanya lagi.

“Iya Ma….? Eliana capek banget Ma…. Eliana gak mau ketemu siapa-siapa dulu.”

Mama dan Papa yang sedari tadi berada di depan pintu kamar Eliana sontak kaget mendengar ucapan anaknya. Mereka menjadi makin bingung. Kemarin anaknya begitu ceria dan bahagia entah mengapa. Kini berubah menjadi murung dan sedih dan lagi-lagi Mama dan Papa tak tahu apa penyebabnya.

“kenapa Tante???”

Ardi yang sedari tadi menunggu akhirnya ikut dalam perbincangan kedua orang tua Eliana di depan pintu kamar gadis itu.

“tante gak tahu, nak Ardi. Sejak acara kemaren, dia berubah. Yang awalnya jadi senang liat kebaya sekarang malah murung. Beda banget sama Eliana biasanya.”

Ardi terdiam sejenak. Otaknya sedang berputar untuk menemukan jawaban atas kegundahan hati Mama.

“Em…. Mungkin Eliana memang menginginkan pernikahan tante. Aku siap jika memang harus menikah di usia ini. Aku akan cari kerja sambil kuliah untuk menghidupi kehidupan kami. Kasian Eliana, Tante.”

Mama dan Papa memandangnya dengan tak percaya. Bagaimana mungkin mereka akan melepaskan Eliana untuk lelaki muda yang belum jelas masa depannya? Selama ini mereka memang mengharapkan Eliana untuk menikah lebih dulu. Tapi apakah harus dengan Ardi? Mungkinkah Ardi dapat membahagiakan Eliana?? Mungkin orang tua Eliana memang setuju jika anak gadisnya bersama Ardi. Namun bukan untuk menjadi suami, apalagi sekarang. Di saat mereka masih belum mantab menjalani hidup.

“bagaimana Tante??”

“emm….. Ardi…… Tante dan Om, belum bisa memberikan keputusan. Karena Eliana sedang istirahat, lebih baik kita semua istirahat ya… kayaknya udah malem juga…”

Akhirnya Ardi menyerah melihat kebingungan orang tua Eliana. Tapi lelaki itu tetap akan melancarkan aksi dan asumsinya. Menurutnya, tidak ada kegundahan yang diderita seorang wanita begitu dalam kecuali memikirkan seseorang. Dan dia yakin, Eliana sedang memikirkan kepastian dan keseriusan dari dalam dirinya. Inilah saatnya Ardi untuk memberikan jawaban gembira pada Eliana.

***

Bersambung........

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun