Mohon tunggu...
Permana Sidik
Permana Sidik Mohon Tunggu... profesional -

Seorang TKI yang sedang bekerja di Riyadh Saudi Arabia. Tidak mengerti politik. Badminton lover. I like reading and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Si Rambut Gondrong dan Si Rambut Cepak

4 Oktober 2016   20:29 Diperbarui: 4 Oktober 2016   20:35 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebuah pengalaman yang mudah-mudahan bermanfaat dan bisa di jadikan inspirasi oleh kita semua.

#####

Saya seorang pekerja di salah satu perusahaan, lebih tepatnya buruh pabrik di perusahaan spare part motor yang ada di kota saya. Saya belum terlalu lama bekerja di perusaan tersebut. Bisa di bilang baru beberapa bulan saja.

Suatu hari dengan alasan sedang di kejar target produksi, atasan menyuruh saya untuk kerja lembur. Sebetulnya saya sudah menolaknya tapi atasan saya tersebut tetap meminta dan bisa dibilang sedikit memaksa saya agar mau lembur. Dengan terpaksa dan sedikit takut karena saya masih karyawan baru, akhirnya saya menurutinya juga.

Sebenarnya alasan saya tidak mau lembur waktu itu dikarenakan teman saya sedang cuti pulang kampung. Biasanya kalau saya lembur sampai tengah malam, saya pasti menginap di kontrakan teman saya tersebut. Kenapa saya harus menginap di kontrakan teman saya tersebut, karena rumah saya yang letaknya cukup jauh dan harus melewati pesawahan pesawahan yang sepi. Saya bukan takut setan, hantu atau sejenisnya tapi saya lebih takut rampok atau begal yang kadang berani membunuh.

Hari itu saya sedang masuk shift B. Jadwal kerja shift B dari jam dua siang sampai jam sepuluh malam. Dikarenakan lembur itu saya baru meninggalkan pabrik jam satu malam. Awalnya saya ragu untuk pulang ke rumah. Saya sempat berpikir mau menunggu saja di pabrik sampai pagi. Tapi pada akhirnya saya memutuskan tetap pulang ke rumah.

Di perjalanan saya merasa sudah tidak tenang. Selain jalanan yang sudah sepi, tentu saja saya takut akan hal seperti yang saya tulis di atas. Saya sudah ancang-ancang hal apa yang akan saya lakukan kalau tiba-tiba di tengah jalan ada yang memberhentikan motor saya.

Setengah perjalanan pun berlalu. Hampir sekitar setengah jam lagi menuju rumah saya. Satu pesawahan sepi sudah saya lewati. Hati saya merasa plong. Alhamdulillah tidak ada apa-apa. Beberapa kampung juga sudah saya lewati sampai akhirnya pesawahan kedua harus saya lewati. Kembali jantung saya berdegup kencang. Ketakutan kembali menyeruak dalam diri saya.

Hampir lima ratus meter pesawahan kedua saya lewati dan tiba-tiba saja motor saya berhenti. Setelah saya tengok jarum penunjuk bensin, ternyata bensin motor saya habis sama sekali. Sial saya lupa mengeceknya tadi. Saat itu keringat dingin sudah membasahi tubuh saya. Saya bingung apa yang harus saya lakukan. jarak ke perkampungan penduduk sama jauhnya antara Mundur ke belakang atau pun maju ke depan.

Akhirnya dengan perasaan takut luar biasa. Saya pun mendorong motor saya menuju perkampungan terdekat di depan yang jaraknya juga hampir lima ratus meter.

Belum seratus meter saya mendorong motor. Tiba-tiba saja ada motor lain dari arah belakang mendekat. Pikiran negatif sudah menyelimuti kepala saya. Saya berpikir saat itulah hari terakhir dari motor saya atau hari terakhir dompet saya bersarang di saku celana saya. Saya berpikir jika satu orang akan saya lawan saja. Tapi jika dua orang saya lebih baik menyerahkan semuanya. Karena saya tahu kemampuan saya tak akan sanggup jika harus melawan dua orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun