Mohon tunggu...
Didik Teguh R
Didik Teguh R Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bunga Bunga Cengkih (2)

27 April 2017   22:04 Diperbarui: 28 April 2017   07:00 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

NUTUR


Brrr… hawa dingin masih menusuk kulit tubuh. Tapi lihatlah, tangan tanganmungil tekun memungut bunga bunga cengkih yang jatuh dari tangkainya, setelahsemalaman terpapar hujan, atau digoyang angin lembah pegunungan Kamulyan,Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Bunga cengkih berserak di tanah humus. Mubadzir jika tak dipungut. Makanya, penghuni Dusun Sembir, Blado menyebutnya Nuturalias memungut. 


Pemilik kebun juga tak pernah marah. Sebuah kearifan lokal begitu terpelihara,kini jelas nyaris punah. Saat lahan lahan kebun sudah dikapling kapling. Nutursemacam bentuk rasa peduli pada sesama. Sekaligus menengahi jurang kesenjangansocial, antara pemilik kebun dan kaum tani miskin. Nutur, salah satu solusihimpitan kutukan ke tak berdayaan. Pemiskinan structural, warisan kolonial yang melindas lindas penghuni kaki gunung Kamulyan. Dan, tanpa jeda dilanggengkan orde lama plus orde baru.


Tradisi Nutur bunga cengkih seolah jadi jembatan peradaban, penghalang upaya memecah kelas social, antara proletar dan borjuasi. Juga membantu pemilik pekarangan dan kebun, tanpa biaya serupiahpun. Pekarangan dan kebun bersih otomatis. Saling memberi dan saling memahami antar warga dusun.


Bocah bocah jarang beralas kaki, tapi tak pernah dengki. Kerap berbaju lusuh dan kumal, maklum sisa lungsuran saudara sekeluarga atau tetangga. Dipaksa alam untuk gigih. Lebih rajin ketimbang para pegawai kecamatan dan kabupaten, yang tiap bulan digaji berlebih. Lebih disiplin ketimbang buruh batik atau pekerja tekstil di Pekalongan kala itu. Bocah ingusan memang kudu rajin. Yang tak mau beranjak ke kebun, bolehlah tak dapat jatah nasi jagung lauk sambal tempe saat sarapan. Teror lapar nyata nyata menggugah semangat.


Tak hanya bunga cengkih, daun cengkih yang berubah warna kecoklatan  pun kami punguti, masuk ke dalam karung karungbekas. Jadi rutinitas tiap pagi, sembari berebut sapu lidi. Tanpa disuruh,bocah bocah dusun berebut menyapu dedaun cengkih. Ajang berburu bunga dan dauncengkih itu sampai matahari meninggi. Mungkin sisa budaya jaman batu, berburu dan meramu

. Tetap lestari sampai jaman Jokowi. Lihat saja, penganutnya terusberanak pinak di kota kota. Serupa pemulung atau tukang rongsok. Sambil bermimpi mobil murah ramah lingkungan ala Es Em Ka.  Meski, ditutupi  slogan retoris revolusi mental ala Jokowi. Hehe he.


Maklum, kala itu, jarang anak anak sekolah. Ini pelosok desa, Bos ! Meski diTanah Jawa. Entah, tak jelas, masuk peta NKRI atau Papua Nugini. Semua jalandusun berbatu berbatu. Tak ada listrik, apalagi PDAM. Dimana tenaga bocah bocah kecil lebih berharga membantu ayah bunda di ladang dan kebun. Kalaupun sekolah, toh Bapak ibu gurulah yang bakal repot. 

Kadang, ibu gurulah yang sibuk antarjemput bocah bocah liar yang lebih suka berburu bunga cengkih dan buah kopi. Tak jarang, tiga bulan sekali nomboki SPP yang tak dibayar wali murid, saking miskinya kaum tani. Pastilah petugas statistik pusing mencatat angka buta huruf dan IPM yang ajaib. Heem.....


Para guru selalu rela, pasrah menerima beras jatah berkutu. Bahkan, meskijatahnya kerap kali dikentit para pejabat Dinas. Atau, gaji tanggal muda yangselalu tak utuh. Kena beragam potongan. Lalu, keluarga keluarga guru kelabakan ditengah bulan. Menumpuk pinjaman diakhir bulan. Benar benar pendekarpendidikan !. Tau kah kamu ? semua itu terbayar lunas alunan  syahdu hymne guru, saat menatap kibaran sang saka merah putih di Senin pagi…. 


Itulah nasib alumnus Sekolah Pendidikan Guru yang berjibaku di SD SD kala itu. Berseragam Korpri lusuh, tapi begitu memuliakan profesi guru.  Ikhlas !. Tentu saja. Patuh dan takzim pada penilik sekolah. Sungguh, tak pernah ada ujuk rasa menuntut hak. Mimpi pun pasti tak berani. Itu subversif ! Maklum, tangan kekuasaan rezim Soeharto kuat membelenggu. Meski kini, semua pasti ada hikmahnya. Maklumlah, tiap kampong pastilah ada yang namanya Hikmah. He he he.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun