Mohon tunggu...
Dhelano Roosel
Dhelano Roosel Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Agama dan Pilkada DKI: Kegagalan Pendidikan Politik di Indonesia

23 Februari 2017   06:18 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:32 1781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilihan umum kepala daerah merupakan salah satu bentuk pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pemilihan umum ini memberikan hak pilih pada masyarakat untuk menentukan kepala pemerintahan secara langsung. Proses pemilihan kepala daerah di Indonesia juga sebenarnya telah mengalami perubahan sepanjang sejarah berdirinya Indonesia. Penggunaan sistem pemilihan langsung oleh rakyat baru diadakan pada tahun 2005 ketika Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 telah efektif dilaksanakan. Sebelum berlakunya undang-undang tersebut, kepala daerah dipilih oleh DPRD yang memungkinkan pihak legislatif mempunyai kekuatan politik yang lebih kuat dibandingkan eksekutif. Menghilangkan hak pengangkatan kepala daerah oleh DPRD dapat mewujudkan sistem check & balances yang merupakan prinsip dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Oleh karena itu, sistem pemilhan langsung oleh rakyat merupakan sistem pemilihan yang dianggap paling demokratis di Indonesia.

Demokrasi merupakan salah satu alat untuk menyelesaikan konflik dalam pemerintahan di Indonesia. Banyaknya perbedaan kepentingan pada kelompok masyarakat, terutama masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak ras dan budaya, dapat mengakibatkan konflik yang melibatkan kekerasan dan dapat memecah belah bangsa. Dalam hal ini, demokrasi dapat dikatakan sebagai resolusi konflik damai yang ditawarkan kepada masyarakat Indonesia. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah juga merupakan salah satu cara penyelesaian konflik antar masyarakat yang memiliki kepentingan dalam pemerintahan di daerah. Tulisan ini ingin membahas pemilihan kepala daerah di Indonesia saat ini yang justru menimbulkan konflik antar kelompok masyarakat dikarenakan isu agama.

Saat ini, pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta menjadi sorotan publik dikarenakan adanya kontroversi yang melibatkan salah satu calon. Kasus penistaan agama menimbulkan gerakan sosial yang dilakukan oleh umat islam di Indonesia dalam skala besar akhir-akhir ini. Isu agama tersebut terpaksa menjadi topik perdebatan yang mempengaruhi suara masyarakat dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Tidak hanya berhenti sampai disitu, hasil persidangan yang menyatakan Basuki Tjahaja Purnama sebagai terdakwa dan hak angket yang dibuat oleh DPR untuk memberhentikan Ahok membuat masyarakat semakin berfokus pada isu agama di pemilihan kepala daerah DKI Jakarta.

Pembahasan isu agama dalam pemilihan kepala daerah mungkin sudah menjadi hal yang biasa di Indonesia. Pemimpin yang memiliki agama yang sama dengan konstituennya akan memahami metode dalam menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan agama konstituen tersebut. Tidak hanya itu, para tokoh agama yang memiliki banyak murid atau pengikut juga akan tertarik untuk memilih calon kepala daerah yang memiliki kesamaan agama. Pada daerah yang memiliki unsur budaya dan agama yang kuat, agama yang dianut oleh para calon kepala daerah akan memengaruhi preferensi pilihan masyarakat.

Pada kasus pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta, isu agama yang muncul di antara masyarakat menurut saya sudah bisa dikatakan tidak sehat. Hal ini dikarenakan banyak masyarakat yang mulai mengaitkan Ahok dengan komunis dan tenaga kerja asing dari cina. Isu ini sudah sangat meluas sehingga menyebabkan spanduk anti komunis tersebar di mana-mana termasuk Kota Depok. Menurut saya, opini masyarakat tersebut sangat tidak mendasar dan menjadi bukti bahwa pendidikan politik masyarakat, dalam hal ini Jakarta dan sekitarnya, masih rendah. Pesta demokrasi yang seharusnya menjadi ajang perdamaian para pemilik kepentingan justru memecah belah masyarakat.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ajang pemilihan kepala daerah seharusnya menjadi alat untuk menimbulkan perdamaian di antara masyarakat dan bukan justru menimbulkan kebencian antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Isu agama seharusnya tidak boleh menjadi satu-satunya fokus dalam ajang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Sayangnya, hal ini tidak terlihat dalam pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta, isu agama yang bergulir tersebar di dunia maya dan menyebarkan kebencian. Berbagai simpatisan islam yang memiliki akun media sosial memberikan tanggapan yang sangat pedas terhadap Ahok dan juga PDIP yang merupakan partai yang mengusung calon gubernur tersebut.

Salah satu pendapat yang menarik perhatian saya adalah tulisan dari organisasi islam yang cukup besar di Indonesia. Dalam tulisannya, mereka mengecam Ahok sebagai orang kafir dan menuduh aparat negara sebagai alat para penguasa. Tidak hanya itu, tulisan tersebut juga mengecam kapitalisme demokrasi dan juga sekulerisme yang dianggap oleh mereka diterapkan di Indonesia. Pendapat ini sangat tidak objektif dan dapat membuat opini yang salah di kalangan masyarakat. Tulisan tersebut menyatakan bahwa Ahok dan para penguasa menggunakan aparat negara sebagai alat untuk menahan aspirasi dari umat islam. Pernyataan tersebut tidak dapat dibuktikan dan menurut saya tidak benar. Aparat negara yang mereka maksud telah menjalankan tugas mereka sebagai pengabdian terhadap negara dan telah menjalankan tugas tersebut sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia. Hal ini membuat pernyataan yang ditulis oleh organisasi islam tersebut tidak berdasar pada fakta yang ada.

Organisasi yang berideologikan islam ini juga menyatakan bahwa sistem kapitalisme-demokrasi yang diterapkan di Indonesia merupakan sebuah permasalahan yang dapat memecah belah bangsa. Mereka mengklaim bahwa umat islam dirugikan oleh kapitalisme-sekular yang membuat masyarakat islam di Indonesia harus hidup dalam kemiskinan. Organisasi tersebut menginginkan adanya pemerintahan yang didasarkan oleh syariat islam dan meminta para umat islam untuk bersatu mewujudkan hal tersebut. 

Menurut saya pendapat ini salah dan tidak pantas untuk dipublikasikan dalam sebuah tulisan. Anggapan tentang demokrasi yang mereka anggap segai bagian dari kapitalisme ini adalah bentuk pemerintahan Indonesia.Demokrasi telah digunakan di Indonesia sejak pemilu pertama pada tahun 1955, dan meskipun mengalami banyak perubahan, demokrasi telah menjadi bentuk pemerintahan yang disetujui oleh masyarakat. Pendapat yang mengecam demokrasi tersebut sama saja dengan mengecam fondasi negara Indonesia. Tidak adanya demokrasi di masa lampau akan mengakibatkan banyak masyarkat daerah dan juga minoritas yang ingin melepaskan diri dari Indonesia. Apabila para penganut agama islam sejak dahulu kala menganggap derajat mereka lebih tinggi dibandingkan dengan penganut agama lain, maka Indonesia tak akan bisa bersatu.

Keinginan organisasi tersebut untuk menjadikan Indonesia sebagai negara islam juga perlu dikritik. Mereka menyatakan bahwa umat islam perlu bersatu untuk menegakkan agama islam di Indonesia, menolak sekularisme dan kapitalisme. Menurut saya, keinginan mereka untuk menghilangkan demokrasi yang mereka anggap kapitalis ini justru dapat menimbulkan perpecahan di antara masyarakat. Ideologi islam tidak akan mampu diterima oleh seluruh kalangan masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat partai-partai islam yang tidak pernah memenangkan pemilu di Indonesia. Demokrasi-lah yang berhasil mengakomodasi kepentingan semua golongan dan akhirnya digunakan hingga saat ini. Memperhatikan hal-hal tersebut, keinginan organisasi islam ini tidak akan menyelesaikan konflik di antara masyarakat, namun justru memecah belah masyarakat Indonesia. Sangat disayangkan apabila organisasi islam ini terus menyebar pendapat mereka dan akhirnya menimbulkan kebencian di kalangan masyarakat.

Menanggapi isu agama di Indonesia, masyarakat harus bisa menerima informasi secara bijaksana. Informasi yang mudah didapatkan harus dibedakan antara yang merupakan fakta dan juga opini. Penerimaan informasi juga harus dibedakan antara yang faktual dan berita hoax. Masyarakat dapat menerima informasi secara mudah namun memerlukan pengetahuan yang baik untuk mencerna berita secara objektif. Terkait dengan isu politik dan agama yang ada dalam Pilkada DKI, masyarakat belum mampu mencerna informasi dengan baik dan akhirnya justru menyebarkan informasi hoax yang menimbulkan perpecahan. Isu politik yang ada dalam Pilkada DKI dikesampingkan dan justru mengutamakan isu agama. Hal ini juga dilakukan oleh DPR RI yang ribut dengan hak angket dan bukan permasalahan dalam lingkup nasional. Permasalahan hukum kepala daerah di DKI Jakarta seharusnya tidak perlu diributkan oleh DPR RI karena telah sesuai regulasi dan peraturan yang ada. Pembentukan hak angket ini hanya membuang waktu dan sumber daya di DPR.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun