Mohon tunggu...
Ade Aryanti Fahriani
Ade Aryanti Fahriani Mohon Tunggu... Freelance Researcher -

Seorang hamba Allah pemakmur bumi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Skripsi dan Idealisme Abu-abu

22 Juni 2017   14:40 Diperbarui: 22 Juni 2017   15:16 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Semester ini memang agak terasa “panas” jika dibandingkan semester-semester sebelumnya. Perpustakaan yang menjadi ruang tersunyi di kampus, tetiba ramai dipenuhi mahasiswa tingkat tiga. Pojok ruangan yang berisikan tumpukan jilid-an tebal menjadi spot teramai yang diubek-ubekpara mahasiswa “senior” ini. Sebut saja rak tumpukan skripsi dari generasi ke generasi. Bagi mereka, rak lusuh yang berdebu ini tak ubahnya sebuah “pencerahan” atas kegalauan dan kebimbangan dalam mencari “ilham” topik penelitian. Yah begitulah skripsi effectyang dapat mengubah semua mahasiswa menjadi “rajin” seketika.

Skripsi memang menjadi “ritual” wajib bagi mahasiswa dalam meraih gelar kesarjanaan. Berbagai cara dan upaya ditempuh bagi pejuang-pejuang skripsi ini. Mulai dari meminta “fatwa” kepada para dosen, berburu wejangan dari “sesepuh kampus”, “bersemedi” di perpustakaan, mengkaji kitab-kitab skripsi para pendahulu, berselancar di dunia maya, hingga tak lupa juga mempersiapkan “sesajen” untuk dewan penguji. Tingkat kesibukan dan kejenuhan dari skripsi effectitu berkorelasi dengan tipe apakah mahasiswa itu. Ada tipe mahasiswa apa adanya yang mengambil topik sekenanya, ada tipe mahasiswa adanya apa yang tergantung “proyek” dosen pembimbing, ada tipe mahasiswa oportunistis yang ngikut tema penelitian teman lainnya, dan yang terakhir adalah tipe mahasiswa idealis yang mengambil topik penelitian “berbeda” dari kebanyakan.

Sebagai mahasiswa yang aktif di organisasi kampus, membuat saya “ber-mazhab-kan” mahasiswa idealis. Bagi saya, penelitian skripsi itu harusnya bermanfaat luas, bukan hanya kitab tebal yang berakhir di perpustakaan lalu tertimbun debu peradaban. Saya sadar penelitian yang bermanfaat itu bukan penelitian yang sekenanya, maupun cuma ikut-ikutan teman. Spirit idealis mendorong saya untuk membuat penelitian yang bervisi ke depan, orisinil, dan tentunya bermanfaat bagi umat.

Saya pun mengajukan sebuah topik penelitian kepada dosen pembimbing. Sebuah topik yang akan mengupas kebijakan kesehatan kekinian dalam era JKN. Mungkin bagi sebagian mahasiswa topik ini tergolong “berat”, tapi spirit idealis berhasil “membakar’, membuat saya percaya diri untuk menggeluti topik ini. Namun, jauh panggang dari api, berharap dosen pembimbing menyetujui, malah kenyataanya beliau tak merestui. “Kamu jangan ambil topik penelitian ini, ini susah, ambil topik penelitian yang biasa saja, kan banyak. Biar kamu-nya enak saya juga enak membimbing. Penelitian itu jangan dipersulit dengan tema yang membuat mu rumit!!” begitulah kata dosen pembimbing utama saya.

Saya pun serasa berada diantara persimpangan jalan, antara mengikuti idealisme atau dosen pembimbing yang tidak mau direpotkan dengan tema penelitian yang rumit. Disamping itu waktu pun terus berjalan, mendorong saya segera memutuskan topik penelitian atau saya terancam menunda kelulusan satu semester lagi. Akhirnya saya berusaha “berdamai” dengan idealisme ini dengan menurunkan kriteria topik penelitian dan mengambil jalan tengah yang disetujui oleh dosen pembimbing saya. Saya pun memilih topik penelitian yang berkenaan dengan persepsi pasien terhadap obat generik yang sering kali dipandang obat kelas bawah. Tentunya hal ini akan berdampak pada kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan pemerintah di era JKN kini yang mayoritas menggunakan obat generik.

Lalu tibalah waktu sidang proposal bersama dewan penguji. Sudah menjadi hal yang wajar ketika sidang, dosen pembimbing menjadi “pembela” peneliti. Namun, ternyata hal itu tidak berlaku pada saya, dosen pembimbing utama saya malah berbalik kubu menjadi penguji, “membantai” skripsi yang telah kami sepakati sebelumnya. Untungnya saya telah mempersiapakan mental baja untuk “pembantaian” ini. Namun, ketika nilai sidang dipublikasi, dosen pembimbing utama saya malah memberikan nilai yang jauh dari harapan saya, bahkan dibawah nilai yang diberikan penguji maupun kebanyakan nilai teman-teman angkatan saya. Dengan nilai ini saya pun terancam mendapatkan nilai skripsi terendah di angkatan saya. Jujur ini lebih membuat saya downdaripada “dibantai”, tapi apalah daya skripsi must go on!.

Hari demi hari pun saya jalani untuk melakukan penelitian ini seorang diri. Jujur, setelah menjalaninya saya pun tersadar bahwa memang topik yang saya ambil ini lebih berat daripada penelitian teman saya kebanyakan. Saya harus berurusan dengan validitas instrument, mencari ratusan responden, hingga bolak-balik dengan jarak yang tidak dekat setiap harinya untuk mencapai lokasi penelitian. Saya pun kemudian mengemukakan kelelahan ini pada dosen pembimbing saya yang kedua, beliau hanya berucap, “Ya begitulah penelitian de, kan kamu sendiri yang ingin penelitian ini, konsekuansinya ya memang begini. Udah… jalani saja dengan sebaik-baiknya., kamu mampu kok.”

Jleeb!!Ya, bukankah penelitian ini memang pilihan yang saya ambil?, Begitu pula konsekuensinya harus saya tanggung sendiri. Sejenak saya pun berpikir, apakah keputusan saya dalam menggeluti peneltian ini murni karena idealisme untuk “menelurkan” karya yang bermanfaat? Ataukah cuma sekedar terbakar ego untuk menunjukan bahwa saya “berbeda” dengan mengambil jalan yang lebih rumit daripada kebanyakan teman saya?. Kadang antara semangat idealisme dan ego diri itu beda tipis. Mungkin inikah yang disebut dengan idealisme abu-abu, antara pandangan idealis ataukah hanya sekedar semangat ego yang membakar diri.

Pada akhirnya, penelitian ini pun berhasil saya lewati. Namun dengan hasil yang kurang memuaskan dan di luar ekspektasi. Hipotesis penelitian saya mutlak tertolak, artinya semua variabel yang saya harapkan korelasinya sebagai seorang peneliti tak menunjukan hubungan yang berarti. Disini saya merasa apakah bisa skripsi saya bermanfaat, bahkan dengan semua usaha dan pengorbanan yang saya lakukan sampai ini. Meskipun demikian, skripsi ini berhasil menghantarkan saya untuk layak mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan masyarakat.

Pasca kelulusan, saya pun mencoba mengajukan artikel penelitian ini ke sebuah redaksi jurnal mahasiswa. Alahmdulillah, jurnal saya diterima dan dipublikasikan secara nasional. Terlebih lagi setelah publikasi itu, ada beberapa orang yang berkorespondensi dengan saya. Mereka tertarik dengan penelitian ini dan meminta izin untuk dipakai untuk menambah referensi penelitian mereka, sebab topik penelitian saya memang tergolong jarang dan sedikit sekali referensi penelitian sebelumnya. Setidaknya ini cukup membuat saya merasa bahwa skripsi saya bernilai dan bermanfaat bagi orang lain. Bukan sekedar berakhir menjadi kitab tebal yang berdebu di perpustakaan.

Skripsi ini membuat saya banyak belajar tentang proses pendewasaan diri. Ketika semangat muda dan pandangan idealis “membakar” diri, seharusnya saya juga bisa mengambil keputusan secara jernih. Tidak semua ide yang kita pandang baik juga diterima baik oleh orang lain. Terlebih lagi jka orang itu adalah orang yang lebih berilmu daripada kita. Disini saya belajar arti berkompromi dengan idealisme dan juga keinginan orang lain. Saya juga ditempa menjadi pribadi yang siap jatuh bangun, sebab perjuangan skripsi masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan perjuangan yang harus saya lewasi pasca kelulusan, yaitu dunia kerja. Meski dengan hipotesis tertolak, jerih payah saya terbayarkan ketika skripsi saya dapat dimanfaatkan orang lain secara luas. Saya pun semakin yakin bahwa “Proses tak pernah mendustai hasil”.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun