Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

SM Padang Sugihan, Usainya Pertelingkahan Gajah dan Manusia

25 April 2017   10:57 Diperbarui: 25 April 2017   22:00 1456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suaka Marga Satwa Padang Sugihan yang terletak di Kecamatan Muara Padang dan Muara Sugihan di Banyuasin-Palembang (dok.pri).

Selamat datang di Bandar udara internasional” sesaat hening “Sultan Syarif Kasim II” kembali hening “maaf, bandar udara internasional Sultan Mahmud Badaruddin II”. Saya mengernyitkan dahi saat mendengar pengumuman dari awak kabin dari sebuah maskapai pesawat nasional yang menerbangkan saya dari Jakarta menuju Palembang. Seorang pramugari yang hampir setiap hari menyambangi Pekanbaru dan Palembang bisa saja salah sebut, begitu juga dengan saya yang acapkali tidak bisa membedakan jenis gajah asia dan afrika. Kisah salah sebut nama bandara oleh pramugari mengawali perjalanan menuju Kabupaten Banyuasin-Sumatra Selatan untuk menyambangi Pusat Latihan Gajah di Suaka Margasatawa Padang Sugihan.

Perahu cepat yang dipakau menuju SM. Padang Sugihan (dok.pri).
Perahu cepat yang dipakau menuju SM. Padang Sugihan (dok.pri).
Perahu cepat dengan 1 mesin berkekuatan 200 PK membelah sungai Musi menuju arah timur. Beberapa kali badan perahu ini terguncang hebat saat berpasan dengan perahu yang lain. Juru mudi melajukan perahu cepat rerata 50 km/jam seperti yang saya lihat di GPS, namun saat perairan tenang bisa mencapai 60 km/jam. Tujuan kali ini adalah menuju Suaka Margasatwa Padang Sugihan yang terletak di 2 kabupaten yakni Ogan Komering Ilir dan Banyuasin.

Dari perahu bisa melihat kawanan gajah dari dekat (dok.pri).
Dari perahu bisa melihat kawanan gajah dari dekat (dok.pri).
Perjalanan menuju SM.Padang Sugihan bisa melalui darat, tetapi dengan jarak tempuh yang lebih jauh dibandingkan lewat sungai. Dari dermaga di dekat Jembatan Ampera, banyak perahu cepat yang bisa disewa untuk menuju ke sana. Waktu tempuh berkisar 1,5 – 2 jam, dan tergantung dengan kecepatan kapal dan lalu lintas sungainya. Sepanjang perjalanan mata akan di suguhi air sungai yang berwarna kuning kecokelatan, hutan gambut, rawa-rawa, dan beberapa titik sudah menjadi lahan sawit. Beberapa perkampungan juga nampak berjajar di tepi sungai dengan rumah panggung dan jamban apungnya.

Tidak terasa 2 jam berlalu dan sampai di sebuah dermaga kecil di Padang Sugihan. Sepintas saya tidak percaya, ini bukan Palembang tetapi Afrika seperti yang biasa saya lihat di kanal televise berbayar yang menayangkan film dokumenter alam liar. Dari dekat saya melihat padang yang luas dan dikejauhan nampak hutan yang lebat, yang menarik adalah kawanan gajah yang berlarian bebas. Gajah Sumatra, salah satu spesies endemik dengan nama ilmiah Elephas maximus sumatranus.

Para pawang sedang duduk di bawah pohon akasia di pusat pelatihan gajah (dok.pri).
Para pawang sedang duduk di bawah pohon akasia di pusat pelatihan gajah (dok.pri).
Saya langsung dikenalkan dengan pak Jumiran. Dia adalah kepala para pawing gajah di Pusat Latihan Gajah. Sebelum mengenalkan gajah-gajahnya, dia menceritakan rekam jejak karirnya sebagai pawang gajah. Sudah 30 tahunan dia bergulat dengan gajah, dari mulai di Way Kambas-Lampung hingga di Sepokat-Lahat. Dari menangkap gajah liar, menjinakan, hingga melatihnya adalah pekerjaan dia berkaitan dengan gajah.

Menyusuri sebuah jembatan kayu lalu naik di sebuah panggung, lalu pak Jumiran menunjuk kawanan gajang yang sedang makan di tepi anak sungai Musi dan berkata. “di sana ada 30 ekor gajah, dimana ada 24 gajah dewasa dan 6 yang masih anak-anak. Baru saja ada yang baru lahir 1 ekor. Sasaran ke depan adalah meningkatkan jumlah populasi gajah menjadi 10% di tahun 2019”.

Seorang pawang menunjukan gancu, sebuah alat untuk mengemudikan gajah (dok.pri).
Seorang pawang menunjukan gancu, sebuah alat untuk mengemudikan gajah (dok.pri).
Dalam benak saya bertanya, mengapa kawasan ini justru menangkap gajah liar dan dijinakan, bukankah seharunya dibiarkan bebas di alam liar. Sembari duduk dibawah lambung perahu yang dibalik tetapi dibawah pohon Akasia kami berdiskusi. Pak Jumiran menjelaskan sejarahnya pelatihan gajah ini. Dahulu gajah liar banyak yang masuk dalam perkampungan dan lahan pertanian penduduk. Terjadi konflik antara manusia dan gajah. Gajah menjadi ancaman sekaligus terancam. Untuk mensiasati itu maka kita bertindak bagaimana agar kedaua-duanya tidak saling merugikan.

Secara alami gajahi memiliki kemampuan ekolokasi dalam migrasi atau perpindahan tempat. Gajah memiliki jalur khusus yang akan dilewati dalam waktu-waktu tertentu. Gajah juga memiliki wilayah kekuasaan tempat dia mencari makan, tinggal dan kawin. Manusia acapkali masuk dalam wilayah teritori gajah, berada dijalurnya bahkan merubah lansekap wilayah gajah menjadi pemukiman dan perkebunan. Gajah yang merasa terdesak atau kehabisan makanan akan masuk dalam area penduduk. Di situlah konflik manusia dan gajah dimulai.

Sangat susah jika harus berkonfrontasi dengan gajah dan risiko keselamatan menjadi taruhan. Solusi terbaiknya adalah gajah melawan gajah. Beberapa gajah liar ditangkap, lalu dijinakan dan dilatih. Gajah dilatih untuk melakukan apa yang pawang perintahkan. Tujuan awalnya adalah untuk menghadapi gajah-gajah liar yang keluar jalur atau memasuki lahan penduduk. Selain untuk melawan gajah liar, gajah di pusat pelatihan juga dilatih beragam atraksi seperti mengalungkan karangan bunga, mengerek bendera, duduk, main bola. “kami belum behasil melatih gajah untuk menggambar dan menulis seperti di Way Kambas” kata pak Jumiran. Saya hanya berseloroh “kalau bisa jangan dilatih motret dan main komputer ya pak, nanti saya kehilangan pekerjaan”. Gelak tawa, mengakhiri diskusi sembali menikmati air kelapa  muda yang disediakan pak Camat Muara Padang dan Sugihan.

Gajak kecil ini seolah ingin bermain-main dengan menghalangi gajah dewasa yang hendak lewat (dok.pri)
Gajak kecil ini seolah ingin bermain-main dengan menghalangi gajah dewasa yang hendak lewat (dok.pri)
Tetiba saya dipanggil seorang pawang yang bernama Setiono. Saya diajak naik gajah. Sebuah kesempatan langka saya bisa menaiki gajah di habitat aslinya. “Ini namanya Jimy, umur 26 tahun dan dia jantan” pak Setiono menjelaskan spesifikasi kendaraan berkaki empat yang dia tunggangi. Sembari duduk di punggung Jimy, dia menceritakan suka duka menjadi pawang gajah.

Butuh waktu yang lama agar gajah kenal dengan pawangnya. Hampir 10 tahun pak Setiono mengajari Jimy agar mau menuruti perintahnya. Di sini da 40 pawang dan masing-masing mendapat jatah 1 – 2 ekor gajah untuk dipelihara, dirawat dan dilatih. Kami harus sabar dan hati-hati. Gajah sangat pekat terhadap lingkungan sekitarnya dan kami harus selalu waspada. Gajah bisa saja mengamuk saat dia merasa terusik atau sedang memasuki masa birahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun