Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Senandika Rindu di Lembah Napu

10 September 2015   15:49 Diperbarui: 10 September 2015   15:49 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Puncak Bukit di lereng utara lembah Napu."][/caption]

Cokelat warna rumput yang terbakar sinar matahari. Udara dingin dibawah teriknya sang surya. Kulit yang bersisik karena udara yang kering. Berdiri di atas ketinggian 1200 mdpl bak kuali raksasa berdiri megah di Sulawesi Tengah. Lembah Napu, demikian nama yang diberikan pada lansekap indah yang saya kunjungi dari perjalanan Palu menuju Poso.

Sungai Lariang yang konon terpanjang di bumi celebes mengalir deras tak terbendung. Berhulu di Tawaelia dan berhilir di Sela Makasar. Lembah napu sebagian besar terdiri dari dari padang rumput dan sekeliling lembah berupa hutan yang lebat khas dataran tinggi. Jika di Jawa ada Lembah Bromo, di NTT ada padang Rumput Gunung Mutis, di Papua ada Lembah Baliem, maka Sulawesi punya banyak lembah yang indah.

[caption caption="Akses jalan menuju lembah Napu, berkelak-kelok dengan lansekap yang memanjakan mata."]

[/caption]

Setelah melewati jembatan lengkung berwarna kuning di Kota Palu, arah kendaraan bertolak menuju kabupaten Sigi. Butuh waktu 2 jam perjalanan untuk bisa menyentuh lembah Napu. Perjalanan yang sangat indah, karena mata aka dimanjakan dengan pesona hutan lebat di Taman Nasional Lore Lindu. Jalan aspal yang mulus, namun dibeberapa sisi ada yang harus berjingkat karena sudah terkelupas mengarahkan kemudi mobil menuju tengah hutan yang lebat.

Sepintas mata saya meyakinkan logika saya jika sudah tidak ada peradaban lagi dibalik Taman Nasional Lore Lindu. Hutan semakin lebat, namun tiang-tiang listrik di tepi jalan masih saja berjajar. Sebuah indikator di sana ada kehidupan. Hampir 1,5 jam melintasi lebatnya hutan dan tak bertemu dengan para pelintas. Rasa sepi kadang tak tertahan lagi, tetapi ditemani 4 sisir pisang seharga Rp 10.000,00. "satu sisir 3ribu, jika 4 sisir 10 ribu" kata penjual pisang di tepi jalan.

Jalanan tiba-tiba berubah menjadi bebatuan dan menurun tajam. Sejenak saya meminta supir untuk menginjak rem dan berhenti. Mata saya yang sudah terkantuk karena kemarin lebih dari 6 jam berkendara membuat badan ini mata rasa dan kantuk tak terkira. Sekarang saya benar-benar terbelalak, di depan saya sebuah peradaban. Seolah tak percaya usai melintasi hampir 2 jam di Hutan Lore Lindu, kini menjumpai perkampungan.

[caption caption="Petani Lembah Napu."]

[/caption]

Mobil putih ini berdiri di ujung mangkok raksasa di tengah Sulawesi. Saatnya menuruni bibir mangkok menuju tengah telaga raksasa yang berwarna kuning kecokelatan. Sebuah keajaiban bentang alam saya temukan, dan sebuah keberuntungan bisa menginjakkan kaki di sini. Lembah Napu yang sebelumnya hanya sebuah fiksi, kini menjadi realita jika ini bukan mimpi.

[caption caption="Sepanjang jalan hanyalah savana dan savana yang luas."]

[/caption]

Saya berlari seperti anak kecil yang ingin memeluk ibunya yang dari jauh melambaikan tangan. Bukit-bukit mungil bermunculan dan berkarpetkan rerumputan yang menguning. Semilir angin menggoyangkan bunga-bunga graminae bak tarian masal. Saya berdiri sendiri di tengah savana, emosi yang membuncah tak terkira melihat imaji nyata di depan mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun