Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Memuliakan Tanaman Lokal

21 April 2016   16:56 Diperbarui: 21 April 2016   20:02 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Buah hasil pemuliaan yang memiliki sifat unggul seperti di Thailand (dok.pri)"][/caption]Siang itu Pak Slamet tertawa, bisa saja menertawakan saya atau menertawakan nasibnya. Sudah beberapa tahun ini jambu metenya tak seproduktif dulu saat awal-awal berbuah. Lama-lama hasilnya menurun. Pandangan kecut dia layangkan pada jambe mete milik lahan sebelah yang hasilnya memang tidak seberapa, tetapi tetap ajeg sepanjang tahun. Dia baru menyadari, jambu mete hibridanya mulai impoten, sedangkan jambu mete lokal tetangganya tua-tua keladi.

Kisah Pak Slamet sepertinya berbanding terbalik dengan yang terjadi di Negeri Gajah Putih. Tanaman unggul begitu melimpah dan semakin produktif saja. Kadang memang benar, rumput tetangga kadang lebih hijau, begitu juga dengan buah tetangga lebih ranum. Tak ada buah yang tidak enak, yang tidak enak saat membayar lembaran bath saja.

Logika sederhana diajarkan petani lokal dari Sangiran-Sragen Jawa Tengah tentang budi daya tanaman transgenik. Saya di bawah naungan gubug beratap ilalang mendengar keluh-kesahnya tentang lahan pertaniannya yang carut-marut tidak karuan. Dulu yang lahannya penuh dengan tanaman lokal, kini sudah bertranformasi dengan tanaman transgenik, akibatnya mimpi indah awal tidur menjelang bangun muncul mimpi buruk.

Perumpamaan sederhana dia mengisahkan. Seorang anak yang tinggal di kota, diajari bertani dalam lahan yang didesain seperti sebuah desa. Anak tersebut mahir bertani layaknya orang desa. Suatu saat anak tersebut dikirim di sebuah desa yang nyata dan disuruh bertani di sana. Awalnya dia bersemangat dan begitu produktif, lama-lama tidak tahan dengan lingkungan barunya. Sebuah pilihan, kalah oleh lingkungan atau tetap bertahan dengan beradaptasi. Berbeda dengan anak-anak desa yang lahir dan besar di desa, sudah pasti sudah tahan banting karena sudah terbiasa.

[caption caption="Durian thailand yang begitu merona di mata pecintanya. Benar, buah tetangga lebih ranum padahal kita banyak buah lokal tetapi belum dioptimalkan (dok.pri)."]

[/caption]Suatu hari saat Orde Baru, pemerintah gencar mengenalkan jambu mete hibrida. Tanaman ini dengan segala keunggulannya seperti: cepat berbuah, tahan terhadap hama, dan buahnya besar-besar. Mimpi indah akan mete yang sebesar jempol ada di angan-angan. Maka mulailah diganti jambu mete lokal dengan hibrida, dan serentak menanam semua. Panen raya pun dimulai, semua berpesta karena mete yang melimpah.

Pasar merespons berbeda terhadap pesta tersebut. Seketika harga mete di pasaran anjlog. Konsumen lebih menyukai mete lokal karena lebih gurih dan enak. Pesta pun tak berakhir manis saat menengok jambu mete di pekarangan rumah sudah ditumbangkan beberapa tahun yang lalu. Pesta-pesta berikutnya masih terasa manis, lambat laun mulai hambar karena produksi mete hibrida tak melimpah seperti dulu lagi karena mulai menua. Mete lokal yang jauh lebih tua tetap saja berbuah walau kecil tetapi tetap ada sepanjang tahun.

Sama kisahnya dengan petani yang membudidayakan kelapa hibrida yang semakin goyah dengan produksinya yang semakin menurun. Kelapa-kelapa lokal yang masih menjulang tingga sepertinya tertawa melihat kelapa hibrida yang santannya semakin mengering. Tanaman transgenik atau introduksi dari luar ternyata tidak setangguh tanaman lokal. Teori evolusi yang bisa menjadi bahan koreksi. 

Setiap organisme yang sudah teradaptasi dengan lingkungannya akan tetap bertahan apa pun kondisinya. Ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, tanaman ini pelan-pelan menyesuaikan diri hingga ada seperti ada sekarang. Dasar sifat manusia yang serakah, yang menginginkan semua harus sesuai keinginan acap kali merecoki hukum alam. Rekayasa manusia terhadap tanaman menciptakan varietas baru yang secara waktu belum teruji. Varietas baru hanya unggul pada awalnya, selanjutnya membutuhkan waktu yang lama untuk adaptasi.

Memang benar, ilmu pengetahuan akan melahirkan sebuah perubahan. Namun, kadang lupa jika alam ini berbeda dengan hitung-hitungan di atas kertas buatan manusia. Alam lebih selektif dan mahir dalam memilih, sedangkan manusia menciptakan masih dengan segala kekurangan dan kelemahannya.

Pelajaran hebat dari seorang petani tentang evolusi dan adaptasi. Tanaman lokal, baik sayur atau buah saatnya tak lagi dipandang sebelah mata. Walaupun tanamana lokal hasilnya tidak memuaskan, urusan daya tahan jangan ditanya. Lebih baik mengupayakan tanaman lokal agar optimal, daripada mengganti dengan tanamam jadi-jadian. Namun, kembali pada sebuah pilihan saat pasar dan industri menuntut lain dan tidak ada pilihan lagi saat harus mengganti tanaman.

Sebuah permenungan, negara tetangga kita Thailand tetap bangga dengan tanaman lokalnya. Mereka tak semata-mata menanam, tetapi menempatkan tanaman sebagai sesuatu yang penting bak seorang raja. Tanaman dimuliakan, dari yang biasa menjadi luar biasa. Sebenarnya kita bisa, tetapi kenapa tidak dilakukan?

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun