Mohon tunggu...
dewi laily purnamasari
dewi laily purnamasari Mohon Tunggu... Dosen - bismillah ... love the al qur'an, travelling around the world, and photography

iman islam ihsan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sensasi 'Life In' di Desa-desa Pulau Lombok

9 Agustus 2011   12:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:57 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aku belum pernah ke Afrika … namun saat menonton film Babies, begitulah suasana desa Segenter. Daerah padang rumput yang kering (karena ini musim kemarau). Sumber air bersih juga sangat jauh, ketika akan shalat di masjid (yang dibangun pemerintah) aku harus tayamum : karena tak ada air setetespun. Mereka berladang dan beternak sapi. Namun, inilah karunia terbesar bagi Indonesia : ternyata pohon besar masih tumbuh dan masih memberikan kehijauan di desa kering ini. Tak salah bila kepulauan Nusantara dijuluki Jamrud Katulistiwa. (desa Segenter yang gersang, walau begitu tetap ada pepohonan : indahnya zamrud katulistiwa) Siapa tak kenal keindahan alam Lombok, pulau persis di Timur Bali yang telah mendunia. Namun, tak semua tahu atau berminat melongok kondisi sosial budaya dari penduduk Lombok. Begitupun dengan kehidupan sehari-hari dari penduduk yang tinggal di permukiman tradisional seperti desa Senaru, desa Bayan, desa Sembalun, desa Sade, desa Rembitan, dan desa Karang Bayan. Aku : Dewi Laily Purnamasari, ikut melakukan kuliah kerja lapangan  bersama Tim ITB pada tahun 1991, selama dua minggu ‘life in’ di Pulau Lombok. Saat itu aku seorang mahasiswi Arsitektur ITB semester tiga. (rumah tradisional desa senaru dan segala isinya : bersatu dengan alam prinsip hidup penduduk setempat) Kini, (setelah dua puluh tahun berlalu) Aku melongok kembali Lombok yang indah dengan kacamata seorang Arsitek dan  peneliti di LSM Fahmina Institute. Tentu, sebagai seorang wisatawan domestik yang tergelitik untuk menelusuri kembali jejak kenangan saat masih ‘muda’ usia 20-an he3 … (sekarang Aku sudah berumur 40 tahun loh!). Yuk! Mulai … Permukiman tradisional memang menarik untuk dikunjungi. Namun, aku bertanya dan merenung. Apakah penduduk di permukiman itu tak akan mengikuti kemajuan jaman ? Akankah mereka tetap dengan tradisi lamanya ? Atau bagaimana sebaiknya mengembangkan sebuah permukiman tradisional yang tetap dapat memajukan penduduknya, baik dari segi pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya ? (tenun cantik khas Lombok di hasilkan para pengrajin di desa Sukarare : aku terpesona kerja terampil perempuan yang begitu tekun menenun, satu lembar kain ada yang sampai tiga bulan pengerjaannya loh!) Bila ingin mendapatkan tenunan asli langsung dari pengrajin, datang ke desa Sade. Desa ini berada di Lombok Selatan dengan permukiman yang khas. Aku sangat tertarik dengan bentuk arsitektur lumbungnya. Bentuknya seperti tumpukan padi yang baru dipanen. Aku beranjak menuju desa Rambitan, sebuah desa yang juga memiliki masjid unik, yaitu masjid kuno Rambitan. Desa berikutnya adalah Karang Bayan, yang menurut cerita dulu tanah seluas 80 ha ini dimiliki oleh I Gusti Ngurah Rai. Penduduknya campuran dari suku Sasak dan Bali. Tanahnya subur dan dekat dengan kota Mataram.Aku mulai dari melongok Lombok di bagian Utara, berada di kaki Gunung Rinjani (3775 m) sangatlah menyenangkan. Udara segar karena dari sini aku bisa memandang ke arah laut. Lokasi masih berupa hutan dengan perkembangan fisik (lan dan bangunan) yang masih terbatas. Jumlah dusun di desa Senaru ada lima yaitu : Senaru, Pal, Lendang Nyambuk, Telaga Lau, dan Dasan Waru. Penduduk desa Senaru hampir tak mengenal sekolah serta menutup diri terhadap pengaruh dari luar. Mereka sangat ketat mempertahankan nilai-nilai tradisi lama. Keindahan justru terpancar dari kesederhanaan dan kemampuan mereka beradaptasi dan mencintai alam sekitarnya. (Inilah yang membuatku salut dan selalu rindu akan kebersahajaan yang mereka miliki). Tiga sejenis bangunan yang ada adalah rumah, berugak, dan lumbung, serta kandang hewan peliharaan. Tambahan bangunan khusus adalah tempat menari, tempat pandai besi, dan tempat bermain anak. Masih di kaki Gunung Rinjani yang sangat menawan, di atasnya terdapat kawah yang terkenal Sagara Anak. Desa Bayan, adalah desa berikutnya yang menarik perhatianku. Mengapa ? Di sini terdapat sebuah masjid kuno, berdinding kayu dan ayaman bambu, beratap rumbia dan dihiasi momolo, beralas tanah, dan pondasi batu kali. Masjid yang berdiri di tengah-tengah sebuah dataran yang tinggi, masih di kelilingi pepohonan besar dan kebun-kebun. Aku sangat tertarik dengan tempayan air yang berada di dekat pintu masuk masjid. Di situlah penduduk akan berwudhu sebelum masuk masjid. Di dalam masjid terdapat bedug dan empat tiang utama yang dihiasi ragam khas yang unik. Oya … sekeliling masjid juga terdapat makam kuno dari para tokoh desa. (kenangan 20 tahun yang lalu : mahasiswa ITB KKL Lombok jurusan Arsitektur, Senirupa, Biologi, Geologi, dan Lingkungan) Gerbang menuju puncak Gunung Rinjani adalah desa Sembalum. Kondisi alam berupa lembah yang dikelilingi gunung dan bukit, tanahnya subur, udaranya dingin. Aku mengigil kedinginan ketika terbangun di dini hari. Iiihhh … airnya seperti dari kulkas. Aku berwudhu dan shalat di tengah keheningan alam. Subhanallah … Desa Sembalun sudah berkembang berkat pemuda dan pendatang sebagai agen pembaharu hasil pendidikan mereka di luar daerah. Desa Sembalum sudah memiliki alat-alat telekomunikasi modern seperti parabola, televisi, telepon, dan radio. Sesuatu yang unik di desa ini adalah peninggalan berupa benda-benda pusaka (Al Quran yang ditulis tangan di atas kulit unta, tenunan berumur ratusan tahun, dan perangkat perkawinan tradisional). Ada juga makam tua yang ternyata adalah makam yang berhubungan dengan para pendahulu mereka orang-orang yang datang dari pulau Jawa (kerajaan Majapahit). (lumbung adalah bangunan khas Lombok yang unik dan menarik, bahan alami dan cara pembuatan yang mematuhi aturan turun-temurun dari nenek moyang membuatnya bernilai arsitektur tinggi) (desa Sembalun Lawang memiliki potensi pertanian bawang putih, namun rumah di desa ini banyak yang tidak lagi beratap rumbia atau ilalang. rumah penduduk di kaki gunung Rinjani ini berubah menjadi seng dan telah dilengkapi peralatan modern seperti televisi dan parabola, wow ...) NB : iseng-iseng nih ... tebak mana foto penulis 20 tahun yang lalu ? kalau bisa tebak hebat! he3 ...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun