Mohon tunggu...
dewidarma
dewidarma Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Matematika: Sejauh Mana Logika Mampu Menuntun Manusia pada Kebenaran?

1 Desember 2009   07:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:07 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_31886" align="alignleft" width="205" caption="Sampul depan DVD"][/caption]

Bagaimanakah realita dari sudut pandang seorang mahasiswa jurusan matematika yang percaya bahwa tidak ada satu pun fenomena yang terjadi secara kebetulan? Bahwa segala sesuatu terjadi berdasarkan sebuah model, sebuah skema yang mengikuti teori logika matematika? Seorang mahasiswa yang percaya bahwa esensi dari alam raya bersifat matematika, bahwa ada arti yang tersembunyi dibalik sebuah realita? Ia percaya bahwa untuk memahami rahasia dibalik realita sehari-hari, manusia perlu mengerti rahasia dibalik angka.

Deskripsi di atas adalah isi dari  interupsi mahasiswa tersebut pada sebuah kuliah umum seorang profesor matematika bernama Arthur Seldom di universitas Oxford pada tahun 1993. Kuliah umum dibuka dengan sebuah film yang menggambarkan bagaimana di tengah desingan peluru Ludwig Wittgenstein menemukan ide yang tertulis dalam bukunya Tractacus Logico-Philosophicus. Sebuah buku yang mencoba mencari tahu, mungkinkah manusia mengetahui kebenaran? Wittgenstein kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada satu kebenaran pun di luar matematika, lebih tepatnya logika matematika yang mampu memberikan kepastian yang menihilkan perasaan manusia.

Profesor Seldom sebaliknya mempertanyakan keampuhan matematika untuk mengerti segala hal karena akan selalu ada batas tertentu yang tidak bisa ditembus, yang dalam bahasa fisikawan Heisenberg menjadi teori ketidakpastian. Betul bahwa manusia mencoba mengerti fenomena jatuhnya salju, bagaimana pertumbuhan salju mengikuti hukum alam atau bagaimana memahami keindahan dan harmoni dalam pola gerak kupu-kupu; tapi mampukan manusia memprediksi sebuah hurricane? Mampukah manusia memahami keindahan dan harmoni dalam sebuah sel kanker yang membelah diri sedemikian cepat untuk menghancurkan tubuh yang sehat? Haruskah hidup selalu memiliki arti? Bisakah segala sesuatu terjadi hanya karena kebetulan? Dalam usaha mencari arti hidup itu.... kebenarankah yang dicari ataukah ini adalah manifestasi dari ketakutan terdalam manusia? Adakah hukum alam yang mengatur keberadaan empat orang yang di masa datang akan saling berkaitan di sebuah jalan di Oxford hampir pada saat yang bersamaan?

Percakapan antara profesor dan mahasiswa tadi mengisi perdebatan yang mengasikan sepanjang film berjudul Oxford Murders yang dibintangi oleh Elijah Wood dan John Hurt. Mereka berdua ditantang untuk mengungkapan rangkaian pembunuhan yang terjadi di Oxford : mengikuti logika matematikah atau sekedar sebuah kebetulan belaka?

Saya menyukai dan suatu waktu dulu pernah terpesona pada matematika. Tapi saya sampai pada poin bahwa tidak segala sesuatu perlu dijelaskan dengan model pembuktian matematika yang ketat. Seringkali saya merasa bahwa dalam beberapa kasus matematika telah digunakan tidak pada tempatnya. Sejak dulu saya tidak percaya dan tidak mengerti (bukan karena hasil tes IQ yang berkisar pada angka 90) pada model tes IQ yang memberikan angka pada kemampuan intelejensia seseorang. Saya juga tidak percaya (tanpa bukti matematis) pada kecenderungan untuk melogiskan perilaku konsumen karena bagi saya dibalik interdependensi manusia dengan lingkungannya, masih tetap ada ego, ada sesuatu yang unik pada setiap individu yang tidak bisa diintervensi. Bukankah setidaknya ada dua kemungkinan untuk mengisi angka berikutnya dalam deret 2, 4, 8,....: bisa 16 atau 10? Kalau matematika pun memberikan kemungkinan yang berbeda, bukankah manusia adalah mahluk yang lebih kompleks untuk bisa dimengerti, untuk bisa diatur polanya? Pemodelan apa pun yang berkaitan dengan manusia menurut saya hanyalah sebuah usaha penyederhanaan, pencarian mayoritas yang tidak mengindahkan adanya minoritas. Kalau dalam matematika ada aksioma, yang bisa menerima kebenaran tanpa pembuktian, bisakah itu terjadi dalam hidup manusia sehari-hari?

Mengetahui sampai batas mana matematika diperlukan untuk menuntun pada kebenaran tidaklah mudah. Matematika selalu mencoba menerangkan segala sesuatu dalam sebuah fungsi, dengan angka. Dalam matematika, keberhasilan diukur dari kemampuan untuk memodelkan sebuah permasalahan secara logis; dalam hemat saya (yang bisa saja salah karena saya tidak mendalami matematika secara kusus) bahkan matematika mencoba mematematiskan hal yang tidak (atau belum?) terjangkau pemikiran dengan sebuah fungsi acak (random). Hal yang akhir-akhir ini malah membuat saya muak dan ingin berteriak : mengapa manusia tidak bisa menerima keadaan bahwa ada hal yang tidak bisa, tidak perlu atau pun tidak mungkin untuk dijelaskan dengan angka? Melenceng sedikit dari tema tentang matematika, bahasa jerman sebenarnya memberikan peluang untuk hal-hal yang tak perlu/tak ingin dijelaskan ini. Ketika saya bertanya mengapa “warum”, ada jawaban “darum” yang bisa diterjemahkan bebas sebagi “hanya karena”. Herannya, saya sering kehabisan kata-kata dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal karena pada umumnya orang Jerman selalu bertanya “mengapa” bahkan untuk sesuatu yang saya tujukan untuk bercanda.

Bercermin pada diri sendiri, sepertinya akan sulit bagi orang yang terbiasa dengan metode matematis untuk menerima keadaan ‘beginilah adanya’ dalam kehidupan sehari-hari. Meski pun saya dapat menerima konsep bahwa ada hal-hal yang tidak perlu/tidak mungkin diketahui sebab-akibatnya, dalam kehidupan sehari-hari saya harus mengakui bahwa itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Saya baru menyadari bahwa keterpesonaan saya pada matematika telah mempengaruhi cara saya berpikir, cara saya bertindak dalam relasi personal saya dengan sekitar. Kadang ketika dihadapkan pada sebuah keputusan, saya secara tidak sadar telah membuat model ‘seandainya’. Bagaimana bila...., bila...,konsekuensinya...dan lain-lain. Saya selalu menuntut penjelasan sampai ke intinya, yang pada beberapa kasus mungkin tidak bisa dicapai karena begitu banyak faktor yang mempengaruhi suatu kejadian. Seperti ada adrenalin untuk terus..terus..menyingkap apa yang menurut saya sebagai kebenaran. Persis seperti karakter ilmu pengetahuan : Manusia tidak puas untuk mengerti tentang atom dan terus bergerak untuk mengetahui apa yang membentuk atom dan pada akhirnya mencoba mengungkap rahasia alam semesta. Ada suatu keasikan tersendiri dalam proses penelitian ilmu pengetahuan alam yang bisa membawa si peneliti begitu terhanyut dalam penelitian dan membuka kemungkinan untuk lupa pada konteks penelitian itu dengan kondisi sosialnya. Mungkin juga, ketika menyadari kondisi sosialnya, dia dihadapkan kepada sebuah ketidakberdayaan yang membuat frustasi. Di tempat saya bekerja, kami harus membayar 1 juta EURO per tahun hanya untuk membayar listrik. Berulangkali saya bertanya pada diri sendiri, apakah uang sebesar ini memang harga yang pantas untuk sebuah ilmu pengetahuan sementara di belahan dunia yang lain, masih ada kelaparan? Saya tidak bisa menjawabnya, mungkin karena periuk nasi saya ada di sini. Ini adalah salah satu contoh sederhana bahwa segala hal tentang manusia selalu ada bagian yang subjektif, tergantung kondisi personal dan sosial seseorang.

Kembali ke film di atas, di akhir cerita digambarkan bagaimana si mahasiswa hanya bisa menerawang ketika tanpa disadarinya justru kata-kata yang ke luar dari mulutnyalah yang memulai rangkaian peristiwa sepanjang film tersebut. Mungkin ini hanyalah ilustrasi dalam sebuah film, tapi bukankah ini benar : ketika kata-kata diucapkan, ketika kata-kata dituliskan dan kemudian didengar dan dibaca orang lain, kita tidak pernah tahu, tidak pernah bisa mengukur secara pasti bagaimana kata-kata ini akan mempengaruhi si pendengar, si pembaca? Dalam hal ini saya sangat yakin, bahwa matematika tidak perlu digunakan untuk mencari tahu, tetapi nikmati saja kejutan-kejutan yang mungkin terjadi. Saya berhayal, pada saat menjelang ajal-lah kebenaran tentang hidup baru bisa dipahami secara utuh.

Karlsruhe, ditulis tanggal 12 Juli 2009

NB: Tulisan ini berasal dari website pribadi www.darmadewi.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun