Wajahnya nampak mengeras dan tatapannya nampak geram ketika membaca sesuatu yang ada di layar ponselnya. Tak menunggu pertanyaanku, ia berkata jika ia merasa kesal dengan komentar-komentar netizen yang menyangkutkan berbagai hal dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Responnya sama dengan yang kurasakan, konten negatif itu menyedot energi positif, juga berhasil membuat kesal dan marah bagi pembacanya. Sejauh ini aku mencoba mengabaikannya, tapi bagaimana dengan mereka yang sulit menghindarinya dan terpapar konten negatif itu setiap harinya?
Konten-konten negatif itu merebak seperti ilalang yang tumbuh subur saat musim penghujan. Ia seolah-olah hadir sebagai sebuah opini dan suara, baik perorangan maupun perwakilan. Namun, jika diperhatikan dengan seksama, banjirnya konten negatif itu seolah-olah punya misi tertentu, sebuah niatan yang tidak benar, yang bisa memicu keresahan dan kecurigaan di  masyarakat.
Konten-konten negatif tersebut merebak pesat dengan memanfaatkan celah dan peluang yang ada dalam meningkatnya penetrasi internet di Indonesia. Dengan kemudahan mendapatkan ponsel pintar dan akses internet yang semakin cepat, maka semakin banyak yang terhubung dengan media sosial dan situs berita.
Kepemilikan ponsel pintar tersebut sayangnya kurang dibarengi dengan sikap dan perilaku pemiliknya yang bijak. Banyak yang merasa bebas dan tenang berpendapat dengan sekenanya, berbahasa kasar mengabaikan kesopanan bahkan melontarkan ujaran kebencian di ranah media sosial.Â
Dengan akun anonim mereka merasa aman dan berbicara dengan mesin, padahal ujaran kebencian itu menggema di dinding-dinding internet, bahkan kemudian memantul dan menggelinding semakin liar ke segala arah.
Sama halnya dengan ujaran kebencian, hoax juga terus bermunculan. Kurangnya kesadaran menyaring informasi di kalangan masyarakat juga membuat hoax tetap berjaya. Hoax tersebut menyebarkan kecemasan, kecurigaan, dan pertentangan.
Apa beda hoax dan ujaran kebencian? Hoax lebih merujuk ke informasi yang direkayasa sehingga seolah-olah benar. Ada juga yang menyebutnya fake news. Hoax diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 28 ayat 1, "Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan...."
Keduanya, hoax dan hate speech, sama-sama merupakan konten negatif, informasi yang bertujuan menyebarkan perasaan negatif bagi pembacanya. Menurutku hoax dan ujaran kebencian itu semacam teror psikologi dan mental, dimana mereka tidak menyerang lewat senjata fisik, melainkan kata-kata.
Mereka memprovokasi pembaca konten negatif itu untuk saling berselisih dengan sesamanya. Ketika kemudian para pembacanya terpengaruh, mereka bisa jadi tertawa puas karena tujuannya terlaksana.