Mohon tunggu...
Dewa Gilang
Dewa Gilang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Single Fighter!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menggugat Pilkada DKI: Cermin Rendahnya Moral Berdemokrasi

23 September 2012   05:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:53 3692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siang hari, Kamis, 20 September 2012, Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli baru saja sampai di posko pemenangan Foke-Nara di Jalan Diponegoro 61, sesaat setelah hasil hitung cepat yang memenangkan Jokowi-Ahok. Kedatangannya langsung disambut oleh sekitar 20 orang, yang langsung mengikuti Foke masuk ke dalam untuk rapat di ruang VIP.

Sumber Tribunnews.com mengungkap bahwa ia sempat menghitung orang-orang yang masuk ke ruang VIP, dan tak lebih dari 20 orang. Mereka terdiri dari berbagai kalangan, dari TNI, DPR dan konsultan. Diakuinya, suasana di dalam ruangan itu, 30 menit menjelang jumpa pers, suasana cukup tegang.

Sumber itu juga mengungkap adanya beberapa masukan kepada Foke untuk menanggapi hasil hitung cepat yang memposisikan dirinya sebagai pihak yang kalah. Yang mengejutkan ialah adanya masukan yang menyarankan agar Foke tidak menerima hasil Pilkada DKI Jakarta putaran kedua dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, masukan itu ditepis Foke. Secara mengejutkan, seperti diketahui bersama, Foke menyatakan "legowo" dan menerima kekalahan sementara dirinya. (Tribunnews.com, Jumat, 21/09/2012).

Entah benar-tidaknya kabar sumber Tribunnews tersebut, kini beredar kabar bahwa kubu Foke telah menyiapkan gugatan untuk diajukan kepada MK terkait Pilkada DKI Jakarta. Dikabarkan, bahkan, kubu Foke telah menunjuk pengacara kondang, yang juga seorang Kompasianer, Yusril Ihza Mahendra untuk mendampingi kubu Foke pada saatnya nanti.

Media online, Okezone.com, 22 September 2012, menurunkan berita perihal tersebut. Dari pengamatan saya, setidaknya, ada dua berita yang menguatkan indikasi akan adanya ajuan gugatan terkait Pilkada Jakarta kepada MK. Dan pada kedua berita itu, nama Yusril disebut-sebut akan mendampingi kubu Foke-Nara.

Pada berita bertajuk "Alasan Foke Tunjuk Yusril Hadapi Sengketa Pemilukada", misalnya, dikutip pernyataan dari juru bicara Yusril, Jurhum Lantong, bahwa penunjukkan Yusril sebagai kuasa hukum pasangan Foke-Nara hanya untuk mengantisipasi adanya sengketa Pilkada. Lebih lanjut Jumhur menuturkan, untuk materi gugatan sendiri sudah disiapkan secara umum, namun belum bisa diajukan karena menunggu hasil pengumuman KPU DKI Jakarta.

Jika benar bahwa kubu Foke akan mengajukan gugatan terkait Pilkada DKI Jakarta kepada MK, maka gugatan itu seakan melengkapi berbagai gugatan terkait hasil Pilkada di seluruh Indonesia. Bisa dipastikan, hampir di setiap Pilkada di Indonesia, pihak-pihak yang menelan kekalahan akan mengajukan gugatan kepada MK. Namun dari beberapa gugatan yang masuk kepada MK, hanya beberapa saja yang tercatat pernah disetujui oleh MK, yang juga menganulir kemenangan pihak tergugat.

Fenomena maraknya gugatan Pilkada di Indonesia, sangat jelas mencerminkan akan betapa rendahnya moral berdemokrasi di negara ini. Secara konstitusional, mereka -pihak yang kalah- memang dibenarkan untuk mengajukan gugatan, namun secara moral berdemokrasi sangat jelas menunjukkan bahwa betapa pihak yang kalah -selama ini- memang tak siap untuk kalah.

Pilkada atau Pemilu sejatinya hanyalah sebuah pertarungan dengan embel-embel politik. Karenanya, layaknya sebuah pertarungan, akan menghasilkan pihak yang diposisikan menang-kalah. Pertarungan juga menyisakan nilai-nilai sportivitas. Di mana yang menang tak jumawa, yang kalah menerima dengan legowo. Intinya, kualitas pertarungan bukan dinilai dari menang-kalah belaka, melainkan bagaimana nilai-nilai sportivitas itu dijunjung tinggi.

Mencermati maraknya berbagai gugatan Pilkada, maka pemerintah harus meninjau ulang adanya Pilkada di Indonesia yang dilaksanakan secara langsung. Selain, banyak membutuhkan biaya, Pilkada juga menyisakan "dendam" politik, kisruh di kalangan bawah hingga unsur-unsur yang justru mencederai demokrasi itu sendiri. Harapan diselenggarakn Pilkada untuk mendidik politik masyarakat-pun agaknya hanya "impian" di tengah hari belaka.

Hanya satu yang tersisa dari Pilkada, yaitu buramnya potret pendidikan politik bagi masyarakat dan rendahnya moral berdemokrasi di Indonesia.

Salam berang-berang.

Selamat menikmati hidangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun