Mohon tunggu...
Devia Nalini Sheera
Devia Nalini Sheera Mohon Tunggu... lainnya -

Banyak hal yang perlu diluruskan, jadi temani aku untuk memahaminya..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nusantara: Kemala yang Terpendam

11 Agustus 2013   02:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:27 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Prolog: Kepunahan manusia memasuki peradaban baru
Akibat letusan Gunung Toba dan Zaman Es berakhir merupakan siklus alam dimana bumi melakukan pembersihan sehingga populasi manusia mengalami kepunahan. Persebaran manusia kembali memasuki zaman baru setelah ditandai dengan bencana alam meletusnya Gunung Toba pada sekitar 75.000 tahun lalu. Pada masa itu terjadilah proses pendinginan aerosol dan dikenal dengan sebutan memasuki Zaman Es (pleistocene) yang kemudian melahirkan dugaan para pakar tentang kondisi alam masa itu: daratan Asia Tenggara dengan Nusantara bagian barat merupakan satu daratanKepulauan Papua pun menyatu dengan Australia. Karena itu, pada masa yg sama itulah persebaran manusia lebih mudah dimungkinkan hanya dengan perahu cadik mengingat Laut China Selatan kering bahkan lautan itu menjadi perairan yang dangkal. Maka akibat zaman es, manusia di dunia mulai bergeser dari daerah dingin ke daerah panas untuk menunjang keberlangsungan mereka. Insting. Dan berakhirnya Zaman Es diduga sekitar 20.000-10.000 tahun lalu dengan masa pelelehan yang juga cukup memakan waktu lama, yakni sekitar 6.000 tahun lalu.

Pada masa akhir zaman es dan pasca letusan Gunung Toba serta letusan seluruh gunung api di Sunda Land (Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi) mengakibatkan kondisi alam di tanah ini subur dan memiliki kandungan sumber daya alam yang berlimpah seperti berbagai bahan tambang mineral yang bernilai seperti emas. Maka karena kondisi ini pun manusia mulai menetap di dataran Sunda Land yang tidak lagi menjadi satu daratan yang utuh karena es yang mulai mencair menenggelamkan beberapa pulau. Juga akibat letusan gunung api pun menjadi penyebab tidak lagi utuhnya daratan Sunda Land.
Mulailah dari Kalimantan
Saya memulai perjalanan ini dari Februari 2012. Langkah kecil itu dimulai dari tanah bernama Semantun, Kecamatan Permata Kecubung, Kabupaten Sukamara, Provinsi Kalimantan Tengah. Dimulai dengan catatan kecil berjudul Belajar pada Dayak: Memahami Alam Semesta Agar Kita Mengenali Jiwa Manusia dan Tuhan Sang Maha Pencipta. Sebuah catatan tentang kearifan lokal Bangsa Indonesia yang hampir saja terlupakan karena sebuah kejadian berdarah bernama Tragedi Sampit beberapa tahun lalu. Kejadian yang menggemparkan dunia itu menjadi luka yang tak terobati bagi sekelompok komunal Kalimantan yang dikenal dengan sebutan Dayak oleh bangsa kolonial Belanda.

Terlepas dari sebuah sebutan komunal Kalimantan, pernahkah terlintas mengapa bangsa kolonial Belanda memberikan sebutan Dayak pada mereka? Belanda memang pandai sekali dalam bidang agitasi dan propaganda. Sudah semestinya kita mengakui itu. Mengapa tidak? Sebutan Dayak diberikan karena pengaburan bangsa kolonial Belanda akan kehebatan dan kebesaran komunal Kalimantan. Sama halnya pemberian nama sebutan Inlander yang bermakna Budak kepada Pribumi. Pun pemberian sebutan Dayak pada Komunal Kalimantan pun bertujuan sama.

Bangsa kolonial Belanda menginjakan kakinya di Tanah Nusantara berbekal akal yang brilian. Bukan hanya sekadar mengeksploitasi sumber daya alam Nusantara, bahkan menjarah ilmu pengetahuan yang diwarisi para leluhur Bangsa Indonesia serta menelanjangi mental penerus Bangsa Indonesia dengan berbagai rangkaian cerita sejarah yang mereka tuliskan tentang para Leluhur Nusantara. Iya, yang lebih telak lagi adalah adanya pembelokan Sejarah Nusantara oleh para Bangsa kolonial Belanda.

Mulailah dari sebutan Dayak. Mengapa diberikan nama itu? Terngiang di telinga kita tentang lagu di masa Taman Kanak-Kanak (TK) dulu: Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarung laut Samudera. Tiada takut, tiada gentar. Ombak menerjang, sudah biasa. Hei, itu bukan sekadar lagu isapan jempol! Itu tentang sejarah bibiografi para Leluhur Bangsa Indonesia. Dahulu, pada zaman para Leluhur Bangsa Indonesia, khususnya di Kalimantan, daratan yang banyak memiliki air telah menjadi sebuah kebiasaan bagi anak-anak membuat sebuah kapal layar.

Jika dibayangkan pada masa sekarang di Jepang, anak-anak sudah pandai membuat robot, tapi dahulu di Kalimantan anak-anaknya telah pandai membuat kapal layar sendiri. Maka tidak heran, jika anak-anak di Kalimantan yang mulai beranjak besar (ABG) telah mampu mengarungi laut lepas seorang diri dengan kapal layar buatan tangan mereka sendiri. Jangankan laut lepas, pegunungan dan hutan belantara sudah mereka jelajahi dengan berjalan kaki berhari-hari. Mungkin jika kondisi kita terlahir pada kondisi yang sama, maka kita pun akan melakukan hal yang sama. Ini bisa dikatan dengan sebutan tuntutan kebutuhan karena kita hidup tergantung pada alam.
Lahirnya Budaya
Ketergantungan para Leluhur Bangsa Indonesia akan alam mengkondisikan mereka untuk lebih memahami alam dengan benar. Karena itu kita mengenal daftar aturan yang kemudian dilegalkan melalui kesepakatan musyawarah komunal dengan sebutan Adat. Aturan itu hukumnya saklek atau mutlak. Hal itu dibuat karena para Leluhur Bangsa Indonesia telah mempelajari dan memahami alam dengan benar. Bukankah hukum mutlak akan berlaku jika ada faktor ketergantungan?

Manusia dan alam tidak dapat terpisahkan. Keduanya saling berhubungan. Tetapi faktor ketergantungan hanya berlaku pada manusia. Artinya, keberadaan alam tidak tergantung pada manusia. Hal itu dikarenakan keberlangsungan alam tidak memberikan dampak yang menguntungkan bagi alam itu sendiri. Sebaliknya, keberlangsungan alam akan menjadi dampak yang berarti bagi manusia. Dan dengan alasan itu alam diciptakan oleh Allah untuk manusia. Allah Maha Mengetahui, sehingga Dia ciptakan alam beserta isinya lebih dulu untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Berdasarkan pemahaman itu, para Leluhur Bangsa Indonesia mempelajari alam semesta agar diketahui cara bagaimana menjaga alam demi keberlangsungan manusia. Para Leluhur Bangsa Indonesia telah memikirkan keberlangsungan manusia karena mengingat alam tetap pada bilangan konstan memenuhi angka sempurna. Sedangkan bilangan manusia tidak dapat dikatakan konstan karena terus bertambah, maka kebutuhan manusia akan alam pun akan bertambah. Karena itu akan ada kondisi dimana ketidak-seimbangan alam semesta akan terjadi. Pun keharusan menjaga keseimbangan alam agar tetap pada angka sempurna wajib diberlakukan dalam aturan adat oleh para Lelehur Bangsa Indonesia.

Menjaga keseimbangan alam, maka sudah mutlak diperlukan upaya menjaga keseimbangan manusia dengan manusia. Maka para Leluhur pun memberlakukan aturan keluarga. Aturan keluarga dimulai dari sebuah rasa kebersamaan dalam suatu kondisi yang sama yakni sama-sama membutuhkan alam. Maka keseimbangan kebutuhan sesama manusia dengan alam diatur secara kebersamaan bernama keluarga. Di Kalimantan mengenal sebuah tempat bernaung dengan sebutan Rumah Bentang. Filosofi Rumah Betang yang bermakna pesan moral kebersamaan itu melahirkan keluarga. Hal itu pula digambarkan oleh bangunan Rumah Betang yang tidak memiliki ruang bilik atau kamar-kamar. Dan biasanya Rumah Betang ini dihuni oleh 5 sampai 7 kepala keluarga. Bisa terbayang kebersamaan seperti apa yang tercipta dalam satu atap Rumah Betang itu?! Kebersaman dan persatuan telah menjadi sifat dan implementasi kehidupan para Leluhur Bangsa Indonesia.

Melihat bentuk bangunan Rumah Betang di Kalimantan yang dahulu bernama Tanjung Nagara. Dan memiliki arti daratan yang banyak memiliki air sudah barang tentu bangunan rumah akan dibuat panggung atau berkaki untuk menghindari luapan air. Selain untuk menghindari luapan air, alasan mengapa bangunan Rumah Betang dibuat pangung atau berkaki tinggi hingga mencapai 5 meter lebih itu adalah untuk menghindari ancaman binatang buas seperti babi hutan, dan binatang buas lainnya. Juga menghindari kemungkinan ancaman dari perompak atau kelompok orang yang bisa saja merenggut jiwa penghuni atau anggota keluarga. Selain itu, tangga Rumah Betang yang bisa dilepasdan dipasang pun merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya ancaman dari luar. Dan bicara ancaman dari luar terhadap anggota keluarga pun berkaitan dengan alasan mengapa Rumah Betang tidak memiliki bilik-bilik kamar. Rupanya hal ini untuk memudahkan Kepala Keluarga menjaga atau memantau jumlah penghuni Rumah Betang yang bisa mencapai tujuh kepala keluarga itu.

Aturan yang berlaku itu diwariskan secara turun temurun yang manusia kekinian mengenalnya dengan nama Budaya. Maka kita bisa melihat bagaimana para Leluhur Bangsa Indonesia berpikir keras untuk menjaga keseimbangan alam semesta dengan menetapkannya berbagai aturan yang bersifat sakral atau tidak boleh dilanggar. Karena sudah jelas jika ada yang melanggar maka hal itu akan merusak keseimbangan alam semesta dan akan berdampak pada keberlangsungan manusia. Namun dengan adanya persebaran manusia di Nusantara, aturan sakral bernama budaya tadi mengalami perubahan. Mengapa demikian? Jika kita sudah memahami alasan mengapa para Leluhur Bangsa Indonesia membuat aturan sebagai upaya menjaga keseimbangan alam semesta maka kita akan mengerti mengapa Budaya awal yang dibawa para Leluhur Bangsa Indonesia dari daratan Kalimantan harus mengalami perubahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun