Mohon tunggu...
Destri Mairoza
Destri Mairoza Mohon Tunggu... Guru - Starting Point in Writing

Nama lengkap Destri Mairoza dengan panggilan Roza, kelahiran Nagari Taruang-taruang pada tanggal 3 Mei 1987. Saat ini bekerja sebagai pengajar di SMAN 1 Bukit Sundi Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ambisi Orangtua, Anak Menderita

10 Januari 2020   22:44 Diperbarui: 10 Januari 2020   22:55 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melihat beberapa kejadian yang viral di sosial media, salah satunya video kejadian dimana seorang Ibu memaksa anaknya yang kira-kira berusia sekitaran siswa SD untuk belajar Matematika. Yah, namanya juga anak-anak, di dalam pikirannya saat ini belum lah bisa seratus persen fokus kepada pelajaran. Dunianya saat ini masih dominan bermain. 

Diawali dengan pertanyaan hitungan dari Ibunya, kelihatan si bocah agak kebingungan menjawab sehingga beberapa kali dia menjawab dengan jawaban yang salah. Paksaan demi paksaan yang disertai hardikan dari si Ibu, membuat si bocah merasa takut dan terlihat tertekan. Dia terus menjawab apa yang ditanya ibunya sambil juga terus terisak mengeluarkan air mata. Tapi dia juga tak kunjung menemukan jawaban yang benar. Sampai akhirnya si Ibu terus memarahinya yang mengakibatkan si bocah mulai memukul-mukul kepalanya menggunakan tangannya sendiri. 

Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Mungkin dia berteriak memohon agar berhenti belajar, atau mungkin saja dia menganggap dirinya terlalu bodoh sehingga tidak mampu menjawab pertanyaan dari Ibunya. Atau mungkin saja dia merasa sangat terintimidasi karena tindakan orang yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung.

Entah dari mana video tersebut berasal, namun yang perlu dilihat adalah cara seorang Ibu mengajar anaknya sangatlah tidak patut untuk ditiru. Kesan pemaksaan sangat terlihat jelas. 

Padahal bagi anak-anak mereka belum bisa dipaksakan untuk belajar. Mereka diarahkan untuk belajar sambil bermain agar mereka tidak merasa bosan.

Lain cerita di sebuah SMA. Saat pengumuman juara kelas di akhir semester, terlihat raut wajah kecewa dari salah seorang Ibu dan raut wajah sedih dari anaknya. 

Bukan karena si anak tidak menjadi peringkat kelas, tapi karena dia hanya mendapatkan peringkat ketiga di kelasnya. Biasanya dia mendapatkan peringkat kedua, tapi kali ini sahabatnya yang menggantikan posisinya itu.

Apa yang terjadi setelah liburan?

Si anak tadi mulai menjauhi sahabatnya karena menurutnya sahabatnya telah merebut posisinya dan membuat ibunya kecewa akan pencapaiannya. 

Apakah anak ini salah? Tidak. Dia sama sekali tidak salah. ambisi orang tuanya lah yang membuat dia jadi membenci seseorang hanya karena peringkat kelas. 

Raut wajah kecewa yang diperlihatkan ibunya membuat dia merasa bersedih karena telah mengecewakan orang tuanya. Ditambah lagi anggapan sang Ibu yang seolah-olah menyalahkan sahabatnya atas prestasinya yang turun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun