Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mata Sabrina

22 Februari 2017   11:12 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:30 3129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matanya sebiru telaga. Tenang, meneduhkan. Hidungnya seperti lereng bukit. Mungil, meruncing. Bibirnya semerah buah cherry. Membuat kumbang berlomba mengecupnya. Rambutnya hitam sebahu. Jika tertiup angin mirip anak ombak. Tubuhnya sedikit kurus, tak kurangi jelita parasnya.

Sabrina, begitu panggilannya. Hampir semua orang di kota itu mengenalnya. Aku pernah bertemu dengannya. Di sebuah warung kopi. Senyum Sabrina hadir di sela-sela kepulan asap tembakau. Ia hanya memandang ke arah jendela. Di mana di sana tidak ada titik-titik hujan, tak ada anak-anak kecil bermain, tak ada guguran daun, tak ada kendaraan lalu lalang. Hanya dinding bangunan yang terpisah sungai kecil.

Ia melipat kedua tangan, menopang dagu. Tatapnya beralih pada bangku kosong di depan meja. Ia menatapnya begitu lama, nyaris tak mengedipkan mata. Seperti menantang waktu beradu sepi. Siapa lebih lama menahan sendiri. Sabrina memenangkannya. Waktu mengajaknya beranjak, laki-laki paruh baya mematikan lampu, menutup warungnya.

Aku mengikuti kemana kakinya melangkah. Seperti seorang ayah mengawasi anak gadisnya. Hatiku terus memerintah untuk memperhatikannya. Hingga tubuhnya tertelan kabut malam, mataku tak menyerah.

“Kau masih mengikutiku?”

Perempuan itu menghentikan langkah, menengadah.

“Aku menunggu hujan turun.”

Mendung mengepung. Titik-titik air genangi setiap sudut. Hujan kemudian turun, basahi pipi Sabrina. Ia biarkan getir menggantung pada dagunya sebelum tiap bulirnya pecah di jalanan.

“Apa tangis perempuan merupakan tontonan asyik bagi kaum pria?”

Perempuan itu menarik seluruh rambutnya, mengikatnya dengan karet gelang. Lehernya jenjang, seperti batang bambu muda. Sinar bulan membuatnya bercahaya. Aku ingin menyentuhnya.

“Aku tidak sedang menguntit apalagi menonton tangismu. Aku lalui jalan ini untuk pulang.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun