Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Penulis - Hanya orang biasa

Hidup ini indah kalau kita bisa menikmatinya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tangisan Bintang 20: Masak Kamu Gak mengenalku?

26 September 2011   06:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:36 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“ Dimana kenanya, Dewa?”

“ Papua, sore ini baru dibawa ke Jakarta.” Kuangsurkan koran yang kubaca tadi buat Delfi. Dia menerima dan membacanya. Seketika wajahnya berubah kelam lagi. Kontan dia mengemasi barang barangnya.

“ Kita pulang, Dewa. Aku harus menjenguknya.”

“ Fi, bertenang, Fi. Sore ini kita gak bisa berbuat apa apa.”

“ Kenapa Dewa ngomong begitu ?”

“ Disitu tertulis Chandra Handi Iswandi salah satu manajer perkebunan Sunprice, dia terkena malaria dalam rangka mengecek perkebunan, jadi ini termauk kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja diurus oleh perusahaannnya, ditanggung penuh oleh perusahaannya. Kita gak tau ke rumah sakit mana Sunprice akan memasukkan Wandi. Kita juga gak tau penerbangannya jam berapa.

Delfi kontan terdiam.

“ Bantuin donk, Dhan !” Cherina menggoyang lenganku.

“ Nolong sih sudah pasti, tapi harus tunggu pasiennya tiba di Jakarta baru bisa cari tau informasinya. Nanti malam kubell adiknya. Adiknya pasti tau. Janji deh, besok kukasi tau kamu, Fi.”

Sisa sore ini Delfi hanya duduk bengong aja. Gak bergairah lagi ngobrol dengan Cherina.Padahal tadi keduanya sibuk banget ngomongin mode, kosmetika dan dandanan. Jano dan May masih di kebun bersama Alsen. Jam 5 kami permisi pulang.

“ Aku gak usah ikut ya, aku pengen istirahat di rumah aja.” kata Alsen.

Delfi mengangguk. Kami mengucapkan terima kasih atas suguhan duriannya yang begitu banyak dan enak. Orang tua Alsen kelihatan sudah biasa menghadapi sikap diamnya Delfi. Mereka cuek aja saat Delfi pergi tanpa permisi.

Aku yakin Delfi sudah biasa berlakon dalamcerita sedih, tapi kebingungannya kali ini tampaknya bukan hasil aktingnya. Ini murni kecemasan seorang manusia. Murni kecemasan seorang kekasih atau teman lama.

Kuturunkan Delfi di depan rumahnya.

“ Dewa, kalau udah dapat kabar cepat kabari aku ya.” Pinta Delfi.

“ Pasti !” aku menjalankan mobilku langsung pulang.

“ Buat apa sih orang menanam buah merah ?” tanya Cherina di perjalanan.

“ Itu sekarang lagi jaditrend bisnis di Papua. Buah merah nama latinnya Pandanus Conoideus kabarnya bisa mengobati berbagai macam penyakit parah seperti kanker, stroke, jantung koroner dll. Sampai barang loyo pun kabarnya bisa diobati. Tanaman ini kabarnya hanya bisa hidup di Papua. Satu buah katanya berharga ratusan ribu rupiah.”

“ Wah, berarti Wandi ini ambisius juga. Ambisius berarti mengejar sesuatu yang perfek. Aku gak yakin dia mau menerima Delfi kembali andai dia tahu masa lalu Delfi.”

“ Perfeksionis memang menghendaki kesempurnaan dalam segala hal. Tapi itu urusan mereka. Aku kan cuman disuruh mencari Wandi. Urusan jadian atau engganya itu sudah bukan urusanku.”

“ Kadang kadang kamu egois juga ya...” Sindir Cherina.

“ Ya iyalah. Sebagai Motivator kan tugasku cuman memberi motivasi. Soal mau menjalankan apa yang kusarankan atau engga, itu terserah mereka. Kita kan gak bisa memaksakan kehendak harus begini harus begitu. Tapi, tenang ajalah...Di atasku masih ada cupid yang mengatur mereka. Biar Cupid yang memutuskannya.”

Cherina tersenyum mendengar kata kataku. Anak anak ketiduran. Mungkin kecapean.

Jam 11 malam aku baru berhasil mendapat berita dari adiknya Wandi. Katanya abangnya akan di masukkan ke Rumah sakit Ternama. Aku mengucapkan terima kasih dan mengabarkan hal itu pada Delfi. Delfi mengatakan besok pagiakan menjenguk Wandi.

“ Dewa besok pagi ada waktu ?” tanya Delfi.

“ Ada. Buat Delfi selalu tersedia waktu. Asal jangan lewat jam 12 malam aja...” Aku berjanji pada diriku sendiri tak mau pulang terlalu malam. Membuat istri menunggu nunggu sungguh aku tak tega.

“ Engga kok,Bentar doank. Aku cuman minta Dewa nemenin Fi menjenguk Wandi. “

Aku terdiam sejenak. Wah, ini gampang gampang susah. Kalau Wandi memaki Delfi kayak di penjara dulu, aku bisa kena getahnya.

“ Bisa engga, Dewa ?”

Aku tak punya pilihan lain. “ Bisa. Selalu bisa...”

“ Makasih, Dewa. Met malam .” Delfi menutup telpon. Aku menatap hapeku. Duh,besok drama yang mengharukan atau menyedihkan, ya ?

Pagi ini pagi pagi sekali Delfi sudah menelpon. Dia memintaku menjemputnya karena dia malas menyetir. Katanya semalam dia gak bisa tidur gara gara memikirkan Wandi. Aku mengantar kedua anakku ke Sekolah baru menjemputnya. Wajah Delfiterlihat kuyu. Dia menggulung rambutnya hingga gak mirip Delfi. Mungkin inilah cara dia supaya jangan dikenali fans-nya di rumah sakit.

Sampai di RS kami menanyakan kamar perawatan Wandi. Kami diberitahu Wandi dirawat di ruang yang sangat pribadi. Hanya tamu yang dikenal baik yang boleh menjenguknya.Sengaja kukatakan Delfi Chatiana yang menjenguk untuk memudahkan urusan. Ternyata nama Delfi masih menjual. Terbukti kami langsung diijinkan masuk.

Wandi terbaring diatas ranjang pasien. Malaria Tropika merupakan penyakit yang ditimbulkan akibat gigitan Anopheles Maculitus. Penderitanya seperti demam, tapi merasakan kesakitan yang luar biasa pada tulang tulangnya. Tubuhnya menggigil dan kesadarannya menghilang. Saat kami datang, Wandi mengigau mengucapkan beberapa kata yang tak jelas, salah satu yang paling jelas di ucapkannya adalah Lusi.Ternyata Wandi masih mengingatnya.

“ Wan, Wandi ! Ini aku datang menjengukmu...” panggil Delfi.

Aku berdiri agak jauh menatap adegan ini.Ada beberapa kemungkinan yang terjadi: 1. Wandi sama sekali gak sadar akan kehadiran Delfi, situasi aman terkendali. 2. Wandi sadar dan membentak, memaki, serta menyuruh Wandi pergi. Ini aku harus turun tangan. 3. Wandi setengah sadar alias berhalunisasi, posisi Delfi sementara aman.

Dari hasil pendalaman terhadap karakter Wandi seperti yang diceritakan Delfi, aku menaksir karakater Wandi ini agak egois, ambisius, pemarah, gampang tersinggung, gampang meledak. Aku harus berhati hati terhadap ledakan kemarahannya.

Syukurlah, dugaan pertama dan ketiga yang tepat. Meski Delfi sudah berdiri sangat dekat dengan wajah Wandi, Wandi masih terus meracau mengucapkan kata kata tak jelas. Delfi mengambil tisue buat mengelap kringat yang bercucuran di dahi Wandi. Wajah Wandi ikut dilapnya. Didekatkan wajahnya dan mengecup pipi Wandi dengan lembut. Wandi tidak memberikan reaksi. Delfi mengambil tangan Wandi, digenggamnya dan dibawa ke dadanya.

“ Wan, ini aku. Aku datang, Wan...Aku menjengukmu. Kamu masih ingat aku kan, Wan ?”

Wandi memang menatap Delfi, tapi sepatahpun tidak memberikan jawaban. Igauannya menghilang. Sekarang Wandi kayak orang kedinginan. Setelah itu keletihan yang luar biasa akan menderanya. Inilah serangan demam malaria yang datang setiap 3-4 jam. Kalau orang yang staminanya gak kuat, bisa meninggal dibuatnya.

“ Masak kamu gak mengenalku, Wan ? Aku Delfi, teman baikmu semasa SD dan SMP. Kita pernah pacaran, Wan. Terakhirkita janjian mau kabur naik kreta. Wan, aku Delfi. Kalo kamu marah karena aku membiarkanmu ditangkap polisi, itu karena terpaksa, Wan. Waktu itu akuharus kabur, tak bisa kembali untuk menolongmu. Pahamilah kesulitanku. Andai bisa kembali pasti aku akan menolongmu.Tapi aku gak bisa kembali, Wan. Kalau aku kembali, pasti ibuku menyiksaku. Pahamilah kesulitanku, Wan...” Delfi mulai terisak. Aku iba mendengarratapannya.

“ Wan, aku tahu aku bersalah padamu. Kamu dipenjara gara gara aku lari. Tapi itu ulah ibuku, bukan aku. Kalau kamu marah, bentaklah aku, makilah aku karena aku egois tak menolongmu, tapi itu sangat terpaksa, Wan! Ngomonglah, Wan. Jangan diam saja. Kamu minta apa saja agar aku bisa menebus dosaku , pasti kupenuhi, Wan.Wan, Wandi... bicaralah padaku. Jangan diam saja, Wan.... Aku semakin tersiksa kalau kamu diemin kayak gini...”

Aku terharu mendengar tangisannya. Kudekati Delfi. Kupegang bahunya. Pelan pelan kulepaskan tangannya dari tangan Wandi. Aku membimbingnyaduduk di kursi.

“ Fi, Wandi tidak mendengar kata katamu. Dia terkena demam malaria yang akan menyerang kesadarannya setiap 3-4 jam. Kesadarannya hilang, Fi. Dia bukan tak mau menjawab, tapi tak mendengar omonganmu, juga gak tau kehadiranmu. Kamu omong apa saja gak kedengaran sama dia. Tunggu masa inkubasi penyakitnya berakhir baru dia sadar akan kehadiranmu.”

Delfi menatapku dengan tatapan kosong, “ Berapa lama baru dia sadar, Dewa ?”

“ Kata Dokter kondisi seperti ini sudah 3 hari. Mungkin besok atau lusa baru demamnya hilang. Tapi untuk sembuh total mungkinmakan waktu berbulan bulan. Sabar ya, Fi..” hiburku.

Delfi mengangguk. Dia berdiri, menarik kursinya mendekati Wandi dan duduk dissamping Wandi. Diambilnya tangan Wandi, digenggamnya dengan erat. Dibawanya tangan Wandi ke dada, dielusnya, lalu dibawanya tanganWandi ke wajahnya, dibelainya wajahnya dengan tangan Wandi. Duh, benar benar adegan yang sangat mengharukan.Aku berharap Wandi sadar dan melihat apa yang dilakukan Delfi.Pasti dia tersentuh andai melihatnya. Pasti sikapnya melunak. Tapi sayang, Wandi tetap gak sadarkan diri.

Kudekati lagi Delfi “ Fi, kita pulang dulu ya. Biarkan dia beristirahat dengan tenang. Entar kalau dia sudah sadar baru kita kembali lagi.”

Delfi mengangkat kepalanya pelan sekali seakan akan malas mngalihkan perhatiannya dari Wandi. “ Dewa pulang sendiri aja, ya. Fi mau disini menemani Wandi. Fi ingin ketika Wandi sadar, wajah yang pertama dilihatnya adalah wajah Fi...”

Aku menatap Delfi. Aku ingin menatap sampai kedalaman hatinya. Kamu sedang menebus dosa atau sedang mengobarkan cintamu yang sudah terpendam lama, Fi ? Tampaknya sekarang cinta yang bicara. Tapi aku takut sekali. Andai wajah pertama yang dilihat Wandi itu membuatmu terluka, karena dia masih emosi, masih mengingat luka lama, kamu bisa seperti merpati yangpatah sayap, Fi. Tapi biarlah cupid yang menentukannya. Kuanggukkan kepala. Aku keluar. Sampai diluar aku ketemu adiknya Wandi. Kukatakan agar jangan mengganggu Delfi.Adik Wandi oke oke saja. Adik Wandi ini mungkin lebih muda 2-3 tahun dari Wandi. Dari gayanya aku tahu dia sudah punya istri.

Aku langsung ke kantor.Aku disambut hangat oleh teman temanku. Semua menanyakan perkembangan selanjutnya. Kuceritakan apa yang terjadi. Semua mendoakan semoga yang terbaik yang akan terjadi buat Delfi. Apapun yang terjadi, kasus ini sudah kuanggap selesai. Sebagai Dewa Cinta tugasku menyelesaikan masalah, bukan menentukan endingnya. Endingnya mau sad or happy, itu sepenuhnya bergantung pada nasib pasangan yang mengalaminya.

Bersambung..

http://www.leutikaprio.com/produk/10041/novel/1109273/rahasia_malam_pengantin_serial_dewa_cinta/11092022/deri_prabudianto

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun