Mohon tunggu...
Deni Mildan
Deni Mildan Mohon Tunggu... Lainnya - Geologist

Geologist | Open Source Software Enthusiast | Menulis yang ringan-ringan saja. Sesekali membahas topik serius seputar ilmu kebumian | deni.mildan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rama yang Tidak Bergeming

3 Agustus 2019   14:24 Diperbarui: 7 Agustus 2019   09:25 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: baranews.co

Sarah bergegas menuju dapur. Bunyi siulan ketel pertanda air mendidih melengking tinggi memecah kebisuan dalam rumah. Ia segera mengangkat ketel dan menuangkan isinya ke dalam dua cangkir berisi bubuk kopi khas gayo favoritnya. Aroma arabika seketika memenuhi ruangan. Ia tidak pernah menambahkan gula. Rasa kopi yang sebenernya hanya akan muncul jika diminum tanpa tambahan apapun, pikirnya. Lagipula konsumsi gula berlebihan memperbesar potensi diabetes.

Uap wangi masih mengepul saat kedua cangkir ia letakkan di meja kerja suaminya. Sarah kemudian merapatkan stool merah jambu ke arah meja lalu duduk di atasnya. Sesaat ia menghirup aroma kopi yang baru saja dibuatnya sebelum diletakkan kembali ke atas meja. Rama tidak bergeming. Pandangannya tertuju ke tumpukan kertas yang ada di atas meja.

"Kamu tahu!? Kamu adalah pria terbaik yang pernah aku temui, Rama. Aku tidak pernah menemui sosok pria yang begitu santun, perhatian, dan berwibawa sepertimu," ujar Sarah sambil menyilangkan kaki. "Kamu mungkin ingat saat kuliah dulu kamu sering dijuluki suami idaman oleh banyak mahasiswi. Kenyataannya itu memang benar. Itulah sebabnya aku tidak menolak saat kamu menyatakan diri ingin menikah denganku," lanjutnya.

"Kamu punya karir yang bagus. Kondisi finansial keluarga kita stabil. Meskipun sampai sekarang kita masih belum punya anak kamu tidak pernah khawatir. Kamu selalu tampil sebagai sosok suami yang menenangkan jiwaku yang kadang cemas dengan keadaan kita". Sinta menyeruput kopi yang mulai mendingin dari dalam cangkir. Rasa pahitnya seolah memberikan dorongan bagi Sinta untuk terus menumpahkan isi hatinya.

"Tapi setelah kejadian kemarin semua jadi berbeda, Rama. Kamu yang biasanya tenang tiba-tiba buas seperti binatang. Tangan yang biasanya hangat memeluk itu seketika jadi senjata yang melukai. Tidak ada lagi kata-kata lembut. Yang keluar dari mulutmu cuma umpatan," Sinta mengelus lebam di sekitar pipi kirinya.

"Apa maksud semua itu?" lanjutnya. "Apa kamu sebenarnya merasa tidak bahagia dengan pernikahan kita? Apa kamu tidak bahagia karena aku tidak bisa memberikan keturunan? Kalau memang iya kenapa kamu malah lari dan berselingkuh dengan wanita lain?" Sarah menghela nafas setelah meredakan nada bicaranya yang semakin tinggi.

"Kamu tidak akan pernah bisa menjawabnya, aku tahu. Lagipula isi hatimu yang sebenarnya sudah terungkap kemarin malam. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan". Sarah menghabiskan kopinya, beranjak dari stool merah jambu lalu memegang kedua pundak Rama dari belakang.

"Semua kegilaan ini membuatku lapar. Mungkin aku akan memasak tumis ayam kecap kesukaannmu". Tangan kiri Sarah lantas memegang kepala Rama sementara tangan kanan mencabut pisau dari lehernya. Darah berlumuran membasahi lantai. Rama tidak bergeming. Pandangannya masih tertuju ke tumpukan kertas yang ada di atas meja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun