Aroma Pemilihan Presiden 2019 semakin kental terasa dan menurut saya semakin jelas dari manuver Politik yang dilakukan Jokowi pada senin 4 September 2017 lalu. Manuver Politik yang banyak menarik perhatian publik dan media massa adalah. Pertemuan Jokowi dan relawan Pro jokowi (Projo), di sport mall kelapa Gading, Jakarta Utara. Dalam pertemuan tersebut Jokowi mengatakan tahun politik akan dimulai pada 2018. Pada september 2018 bakal ada penetapan calon Presiden dan Wakil Presiden 2019. Masalah Kampanye adalah urusan para relawan seperti Pro Jokowi (Projo).
Bahkan Jokowi Pun mengingatkan para relawannya, tahapan Pilpres 2019 sudah akan dimulai satu tahun dari sekarang. Penetapan Capres dan Cawapres sudah dimulai september 2018 mendatang.
Menurut saya, tentu saja langkah Jokowi seperti seolah ingin memulai kinerja mesin Politik pendukung dirinya menuju pilpres 2019 mendatang. Dan tentu saja itu merupakan sebuah langkah yang sangat prematur. Kenapa saya katakan prematur? Karena sebagai Presiden yang sedang menjabat, seharusnya Jokowi lebih memperioritaskan janji-janji kampanyenya dan konsep nawacita ala Jokowi yang belum tercapai sepenuhnya.
Apalagi jarak antara Pilres 2019 Â dengan saat ini masih tergolong jauh rentang waktunya. Tentu saja ini merupakan sebuah manuver Politik. Karena elektabilitas Jokowi yang diperkirakan akan terus menerus menurun, adalah alasan mengapa Jokowi terlalu cepat tatap Pilpres 2019. Apalagi Jokowi adalah capres Pertahana. Karena secara etika Politik, terlalu cepat membicarakan kampanye adalah hal yang sangat tabu bagi capres Pertahana seperti Jokowi.
Jika kita flashback ke masa lalu. Fenomena Boomingnya popularitas Ahok sempat terjadi. Bahkan digadang-gadang Ahok adalah calon Gubernur yang tak ada lawan tanding yang seimbang. Bahkan karena sangking populernya Ahok. Elektabilitas ahok pada tahun 2015 lalu sempat menembus angka 60 persen.
Dikala itu banyak yang memprediksi Ahok akan menang dengan mudah. Karena dengan modal Elektabilitas 60 persen dan popularitas diatas angka 90 persen. Ya, ahok memang sangat populer dikala itu. Dari Sabang sampai Merauke tahu siapa ahok, dan pemberitaan media kepada ahok pada masa itu cukup positif. Dengan menampilkan beberapa hasil kerja Ahok yang digadang-gadang akan merubah wajah Ibukota seperti Negara Singapura.
Akan tetapi saya dikala itu tidak yakin Ahok dapat menang dengan mudah. Padahal hampir mayoritas teman saya adalah pendukung fanatik Ahok. Dan banyak dari mereka memprediksi Ahok akan menang. Kenapa saya tidak yakin? Karena dikala itu elektabilitas Ahok menembus angka 60 persen karena belum ada calon Gubernur selain Ahok yang deklarasi secara resmi dan sungguh-sungguh.
Meskipun bursa calon Gubernur DKI pada tahun 2015 lalu sudah mulai marak. Akan tetapi nama-nama yang masuk pada bursa tersebut, seperti Risma, Ridwan Kamil dan Sandiaga Uno masih memiliki elektabilitas yang jauh dibawah Ahok. Rendahnya elektabilitas calon penantang Ahok tersebut diKarenakan belum ada deklarasi resmi dan serius dari tokoh-tokoh yang mengisi bursa Calon Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Jadi pada intinya yang buat elektabilitas Ahok berjaya diangka 60 persen adalah, karena belum ada calon Gubernur penantang Ahok yang deklarasi secara resmi. Sehingga dikala itu suara rakyat belum terpolarisasi. Coba bandingkan ketika calon penantang Ahok mulai deklarasi pada September 2016 lalu. Ketika Agus-Silvy dan Anies-Sandi deklarasi. Perlahan tapi pasti elektabilitas Ahok tergerus karena suara rakyat telah terpolarisasi ke Agus-Silvy dan Anies-Sandi.
Dipeghujung putaran kedua suara Ahok pun terus tergerus mentok diangka 40-42 persen. Berdasarkan angka tersebut saya berpendapat. Dari 60 persen massa pendukung ahok pada 2015 lalu. Ada sekitar 20-22 persen yang bisa berubah dengan adanya calon penantang dari pertahana. Sedangkan angka 40-42 persen adalah pendukung fanatik Ahok yang tidak mungkin bisa dirubah pandangan politiknya apapun yang terjadi.