Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menelusuri Kekuatan Dahsyat di Balik Kasus Florence

31 Agustus 2014   15:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:00 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kasus Florence yang menghina masyarakat Yogyakarta di salah satu media sosial online mencuat dengan sangat cepat. Kasus ini bermula dari kekesalan terhadap antrian yang sangat panjang di SPBU karena kelangkaan BBM. Seperti yang bisa ditemui di kasus-kasus serupa yang melibatkan media sosial online, kekesalan tersebut dilampiaskan dalam bentuk pernyataan sebagai ekspresi kebebasan individu dengan anggapan bahwa media sosial online adalah wadah yang tepat untuk ekspresi individualisme(1) dan memberikan ruang yang leluasa untuk sikap-sikap anarkisme individualis(2).

Sebelum melangkah lebih jauh sejenak penting kiranya untuk membahas kasus ini dari sisi individualisme. Menurut sudut pandang individualisme, setiap tindakan individu merupakan bentuk upaya individu tersebut untuk mewujudkan kepentingannya atau setidaknya individu tersebut menuntut haknya untuk mewujudkan kepentingannya terlebih dahulu. Alasan mendasar dari individualisme sebagian bisa ditelusuri dari salah satu pembenaran egoisme etis(3) yang melekat padanya yaitu bahwa yang paling mengetahui dengan baik keinginan individu adalah individu itu sendiri dan pemaksimalan keinginan individu adalah hal terbaik dibandingkan dengan pemaksimalan kepentingan kelompok.

Sering dalam wilayah publik, kepentingan untuk mewujudkan individualisme harus berbenturan dengan kepentingan bersama atau kolektifisme. Hasrat untuk mengekspresikan eksistensi harus tersandung dengan peraturan dan kekuatan kolektif. Pertanyaan filosofis, “manakah yang membentuk individu, individu dalam wujud eksistensinya atau masyarakat dengan kekuatan sosial kelektifnya?” masih menjadi perdebatan di wilayah filsafat, terutama eksistensialisme.

Kembali ke kasus Florence, keinginannya untuk mengekspresikan eksistensinya dalam konteks kekesalannya terhadap penanganan penjualan BBM di Yogyakarta harus berhadapan dengan kolektifisme warga Yogyakarta. Di kasus ini kolektifisme publik(4) yang menunjukkan kekuatan dahsyatnya tampak seperti kolektifisme horisontal yaitu bentuk kolektifisme tanpa melalui ikatan formal atau struktur hirarki kepemimpinan yang kekuatannya bersumber pada kekesalan publik sebagai respon terhadap kekesalan individu yang runtutannya menunjukkan pola kausalitas posteriori(5).

Persoalannya adalah apakah kolektifisme publik dalam kasus ini murni kolektifisme horisontal? Setiap orang pasti tahu bahwa pola struktur sosial di Yogyakarta masih menampilkan pola struktur hirarki sebagai perwujudan dari status Yogyakarta yang istimewa yang menjadi kepanjangan historis dari riwayat kerajaan. Meskipun dalam struktur pemerintahan politik arti penting dari struktur hirarki sosial politik ini telah mengalami perkembangan korektif dan memasukkan unsur-unsur demokrasi tetapi dalam wilayah bangunan sosial, struktur hirarki ini masih kental mewarnai masyarakat Yogyakarta. Dan dari sini bisa ditarik kesimpulan hipotetis bahwa kolektifisme vertikal sebagai bentuk kolektifisme dengan struktur ikatan formal yang bercirikan struktur hirarki kepemimpinan memainkan perannya sendiri dalam wilayah kognitif publik. Singkat katanya, hinaan pada orang Yogyakarta tidak hanya ditujukan pada orang Yogyakarta saja tetapi pada sistem struktur sosial “istimewa” yang dipertahankan selama ratusan tahun dan hal ini sebaiknya yang harus disadari oleh pihak luar.

Hipotesis ini bisa ditegaskan dengan membandingkannya dengan kasus serupa di wilayah lain yang memiliki struktur sosial berbeda. Sayangnya penulis tidak memiliki referensi kasus serupa untuk masyarakat dengan sistem sosial yang berbeda untuk mencari jawaban apakah intensitas respon publik pada wilayah yang hanya memiliki struktur kolektifisme horisontal akan memunculkan kekuatan yang sama. Mungkin penulis lain bisa melakukan perbandingan ini dalam rangka upaya menjawab pertanyaan diatas.

Keterangan:

(1) Individualisme: Individualisme adalah posisi moral, filsafat politis, ideologi atau pandangan sosial yang menekankan pentingnya nilai individu. (sumber: Wikipedia).

(2) Anarkisme individualis mengacu pada beberapa aliran pemikiran di dalam gerakan anarkis yang menekankan pentingnya kehendak individu terhadap segala faktor penentu eksternal seperti kelompok, masyarakat, tradisi dan sistem ideologi. (sumber: Wikipedia).

(3) Egoisme etis (atau disebut egoisme saja) adalah posisi etis normatif dimana agen moral layak melakukan tindakan yang sesuai dengan kepentingan dirinya sendiri. (sumber: Wikipedia)

(4) Kolektifisme adalah pandangan filosofis, politis, agama, ekonomi atau sosial yang menekankan saling keterkaitan antar manusia.(sumber: Wikipedia)

(5) Kausalitas posteriori: Hubungan sebab akibat empiris.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun