Mohon tunggu...
Dedy Armayadi
Dedy Armayadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Simpel dan sayang anak

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tangis Dahlan yang Tak Terlupakan

25 April 2014   00:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:14 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya masih belum bisa melupakannya. Melihat seorang pejabat menangis. Karena diangkat menjadi menteri. Berbeda dengan rekan-rekannya. Saat konfrensi pers itu, selepas diwawancarai Presiden, dibelakang terlihat calon-calon menteri sumringah. Senyum merekah di bibir mereka.

Logis memang. Siapa pun yang diberi jabatan akan tersenyum bahagia. Sebaliknya, menjadi aneh bila orang dikasi jabatan justru menangis.

“Teman-teman di PLN lagi semangat-semangatnya,” katanya terbata-bata. Entah bagaimana perasaan dia ketika itu. Perusahaan Negara yang ia benahi. Dengan penuh totalitas. Gairah dan kebahagiaan. Ditengah perjalanan, tiba-tiba, ia mesti mengikuti perintah Presiden. Untuk jadi menteri BUMN.

Dan di CEO Note’s terakhir lalu ia menuliskan salam perpisahan. Judulnya menyayat hati: Kasih Tak Sampai. Saking menariknya, tulisan itu saya baca berulang-ulang kali. Di situ terungkap bahwa rencana desas-desus akan diangkat menjadi menteri sudah ia dengar. Maka ia bersiap untuk melarikan diri. Kebetulan anaknya kala itu tengah mendapatkan perhargaan dunia di eropa. Alasan yang tepat sebenarnya. Untuk menghindar.

Namun kala itu Presiden tak mau kehilangan sosok potensial. Ia dicekal. Tidak boleh ke luar negeri. Bukan karena sedang mengalami masalah. Tetapi karena mesti menerima jabatan. Menjadi seorang menteri.

Disaat barang-barang telah masuk ke bagasi. Urusan imigrasi selesai. Dan tinggal menunggu terbang, takdir ternyata tidak bisa dihindari. Hari itu ia tidak boleh ke luar negeri.

Di perjalanan pulang hatinya gundah. Pikirannya melayang. Di Bengkulu, Kalimantan, Papua, di seluruh nusantara. Ia terpikir tentang proyek-proyek yang telah ia bangun bersama timnya. Ia teringat timnya yang bekerja teramat kerasnya. Yang sedang semangat-semangatnya. Untuk menunjukkan kepada publik. Bahwa PLN tidak boleh lagi jadi ban belakang. Tidak boleh lagi dikenal sebagai perusahaan nomor wahid dicaci maki di muka bumi.

Istrinya di eropa pun tak kalah gundahnya. “Mamak harus segera pulang,”bunyi sms dari seorang wartawan. Istrinya memang punya panggilan sayang diantara kalangan wartawan group miliknya: mamak.

Dulu, disaat akan diangkat menjadi Direktur Utama PLN. Mamak beserta anak-anaknya menangis berjamaah. Setelah berjuang hidup-mati di operasi ganti hati, keluarga berat mengijinkannya untuk kembali bekerja keras. Sampai-sampai anaknya bersumpah: tak akan menginjakkan kakinya di Kantor PLN selama ia menjabat jadi Direktur Utama.

Tetapi ia kemudian berhasil meyakinkan. Kepada keluarga, istri dan anak-anaknya. Hidup yang hanya sekali ini. Pun setelah berjuang membesarkan perusahaannya. Lalu diuji dengan penyakit mematikan. Ini lah saatnya dirinya mengabdikan diri. Bermanfaat bagi bangsa dan negaranya.

Maka, saat kemudian, ia berdiri di atas podium. Saat ia berpidato dalam acara perkenalan sebagai peserta konvensi. Pertama kali ia ucapkan terima kasih. Kepada istrinya yang telah memberikan ijin. Ia meminta istrinya berdiri. Ia perkenalkan. Kebetulan istrinya menggunakan pakaian berwarna biru-Demokrat. Mungkin itulah pertanda dukungan istrinya. Untuk berbakti kepada negeri. Menjadi Presiden Republik Indonesia. Entah bagaimana perasaan istrinya kala itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun