Mohon tunggu...
Chinintya Widia Astari
Chinintya Widia Astari Mohon Tunggu... Penulis - Pecandu Insight

Seorang pembaca dan penulis ulung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Semua Pasti Berbeda

26 Mei 2017   23:08 Diperbarui: 27 Mei 2017   12:16 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Untuk kita semua yang masih meneriaki kata "kami mayoritas!" dengan nada mengecilkan pihak lain

Untuk kita semua yang berharap di hormati tanpa menghormati

Untuk kita semua yang masih belum bisa menerima bahwa perbedaan itu nyata dan ada

Perkenalkan, saya adalah seorang anak yang terlahir sebagai bagian dari mayoritas dan selalu berada di lingkungan para minoritas. Saya hanya ingin sedikit bercerita pengalaman saya menjadi seorang minoritas.

Saya terlahir sebagai seorang Muslim, kedua orang tua saya tentulah seorang Muslim. Keluarga Ayah saya, yang saya tahu sampai detik ini semua beragama Muslim. Keluarga Ibu saya tidak semuanya beragama Muslim, kami beragam. Saya memiliki saudara beragama Kristen dan Katolik, sampai detik ini alhamdulilah kami masih menjalin hubungan rukun dan tentunya saling menghormati. Ketika Natal saya dan keluarga datang menghampiri kerabat yang merayakan natal, kami berkumpul dan makan bersama. Saat lebaran tiba, kerabat yang tidak merayakan lebaran juga datang dan mengucapkan selamat hari raya lebaran. Hubungan kami sangat baik, tidak ada masalah. 

Saat saya kecil dan belum mengerti bahwa saya dan saudara saya berbeda keyakinan, saya hanya berpikir bahwa sepertinya kami berbeda. Saya melihat salib di taruh di ruang tengah, ada berlembar kertas kecil berbentuk persegi panjang yang kini saya tahu berisikan ayat-ayat Alkitab, ada gambar-gambar yang saat itu sama sekali tidak saya pahami. Namun yang saya tahu pasti, saya tidak memilikinya di rumah. Semakin bertumbuh besar saya mulai memahami bahwa kami menganut agama yang berbeda, dan tidak menjadi masalah. 

Saya bersekolah di TK umum dan berisikan anak-anak dengan latar belakang yang berbeda-beda. Saya bersekolah di SD hingga SMA sekolah pembauran dengan Yayasan Buddha dan kini saya berkuliah di Univerisitas Katolik di Jakarta. Seingat saya, saat saya SD candaan yang kami lontarkan hanya sekedar memanggil nama orang tua dan mengejek suku tanpa ada pihak yang tersakiti, tidak ada yang mempermasalahkan kepercayaan yang kita anut, seolah hal tersebut memang tabu untuk dibicarakan. Walau sekolah saya adalah sekolah pembauran, namun sebagian besar siswa di sekolah tersebut beragama Buddha dan orang-orang keturunan Chinese. 

Sejak SD, ketahuilah, saya bersahabat dengan mereka. Mereka yang kurang diterima keberadaanya. Saya mendengar cerita dari sudut pandang mereka, mengapa ada sebagian dari kelompok mereka membenci orang-orang yang disebut sebagai pribumi. Tak lain karena luka lama yang tak perlu diperjelas, semua sudah tahu maksudnya. Dari cerita yang saya dengar, saya melihat ada rasa tidak percaya, takut dan usaha untuk melindungi diri. Walau begitu, nyatanya saya bisa bersahabat dengan mereka, bahkan hingga saat ini.

Saya bersekolah di tempat dengan siswa beragama Muslim yang bisa dihitung jari. Walau kami minoritas, potong kurban Idul Adha dilakukan dan dibagikan pada orang-orang yang kurang mampu dan dilakukan setiap tahunnya. Buka puasa bersama, pesantren bersama yang diikuti oleh pendalaman Agama bagi Agama lainnya dan pihak Yayasan yang membagikan parsel untuk guru yang merayakan Lebaran juga kami laksanakan. Di tempat saya sekolah juga terdapat 2 mushola yang dapat digunakan oleh seluruh warga sekolah yang ingin beribadah, kami juga tidak dilarang untuk izin keluar kelas melaksanakan sholat ketika pelajaran berlangsung. Guru yang beragama Muslim menghukum siswa laki-laki yang didapati tidak menjalankan sholat di sekolah. Sedikit lucu, terdengar seperti budaya sekolah Muslim pada umumnya, namun itu semua juga terjadi di tempat saya menimba ilmu.

Mereka, siswa yang bukan beragama Muslim tidak pernah memandang sinis kami para minoritas di sekolah. Mereka mengucapkan "selamat hari lebaran" ketika kami merayakan hari lebaran, mereka ikut berbahagia atas hari besar umat Muslim. Begitu indah perbedaan kami. 

Beranjak kuliah, saya kembali menjadi seorang minoritas, kali ini jauh lebih parah dari sebelumnya. Jarang sekali saya menemukan orang-orang beragama Muslim. Saya tergabung dalam paduan suara kampus yang 99% adalah non muslim. Waktu itu, ketika saya dan teman-teman pengurus paduan suara mengadakan rapat menginap keluar kota, saya begitu terharu karena mereka menanyakan apakah saya sudah beribadah ketika mereka tahu saat itu adalah waktunya saya beribadah "De! Gak solat?? Solat dulu sana ih" atau teman-teman SMA yang berkata senang mendengar saya semakin rajin beribadah. Saya merasa di dukung dan diingatkan, oleh mereka yang kita sebut sebagai minoritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun