Kita kembali dihebohkan dengan masalah doa yang dibaca oleh Tifatul Sembiring di gedung DPR/MPR. Dari acaranya, jelas ini adalah acara resmi kenegaraan sehingga silang sengketa yang terhadi, khususnta dengan doa yang dibaca oleh Tifatul, karena diakui atau tidak telah membuat sebagian anak anak bangsa ini tidak nyaman.
Doa tentu bukanlah retorika politik, untuk kehati hatian ke drpan MUI dimohon memberi Sikap keagamaan terhadap doa Tifatul, tentu saja sesuai prinsip prinsip, adab dan berbagai aspek doa menurut Islam.
Dalam pansangan saya, menyebut "Pemimpin yang takut pada-Mu" tanpa anak kalimat pun maksudnya sudah jelas, yakni tidak takut kpd yg lainnya, penambahan anak kalimat "bukan takut kepada partai, berarti sebagai penghususan dari takut itu. Jika benar sebagai penghususan, hal yang penting dari maksud doa itu, bgmn jk dikabulkan kita diberi pemimpin yang tdk takut kepada partainya, tetapi ternyata dia takut kepada cukong, relawannya, pendukungnya, aliran, istri, atau selingkuhannya ? Ini tentu menjadi problematik.
Menurut hemat saya, dengan doa Matsurit "Allahumma inni as alukal huda, wattuqoo, wal afafa walghina, atau terjemahannya, atau dengan tambahan bagi kami, rakyat dan pemimimpin pemimoin kami, sdh cukup tidak perlu memberi embel embel sehingga doa terkesab lebay itu dan menohok sebagian anak anak bangsa.
Namun bagainanapun juga sata sanfat yakin MUI lebih kompeten dalam memberikan pendapat keagamaan tetkait doa itu. MUI dapat bekerja sama termasuk dengan ahli mikro ekspresi sehingga dapat membetikan pendapat keagamaan secara kebih tepat. Hal ini sangat penting untuk dilakukan, sebab kita tahu, bahwa Doa adalah Ruhnya ibadah.
Semoga siapapun yang terlibat dalam acara kenegaraan, apalagi berkedudukan sebagai pemimpin, seyogyanya benar benar menunjukan sikap kenegarawanannya.