Mohon tunggu...
Darusman S.Sn
Darusman S.Sn Mohon Tunggu... -

Satu Nusa Satu Bangsa satu Bahasa kita Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Isu Gender Dalam Permberdayaan Masyarakat

5 Maret 2013   06:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:18 2949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengintegrasian Gender dalam Pembangunan telah menjadi kebutuhan untuk mendorong terwujudnya kualitas hidup manusia yang lebih baik.  Hal ini menjadi kebijakan pemerintah Indonesia melalui INPRES No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender.  Pengarus Utamaan Gender  adalah sebuah proses teknis dan politis yang membutuhkan    perubahan pada kultur atau watak organisasi, tujuan, struktur, dan pengalokasian sumberdaya untuk memastikan perempuan dan laki-laki menikmati  manfaat pembangunan secara adil dan merata.  Penerapan PUG di berbagai bidang dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan, sekaligus menjamin mutu kehidupan seluruh anggota masyarakat (Amanah, 2009).

Salah satu akar masalah meningkatnya degradasi hutan dan lahan adalah kemiskinan masyarakat setempat yang seringkali berkorelasi dengan tingkat pendidikan yang rendah. Menempatkan basis ekonomi, khususnya kemiskinan masyarakat yang menjadi akar masalah  peningkatan degradasi hutan dan lahan, mencerminkan cara fikir dengan nilai hirarkis dan dualisme.  Perlu dipandang bahwa kemiskinan bukan penyebab tetapi akibat  yang sequence dari sistem penegakan hukum yang lemah, koordinasi dan kolaborasi antar sektor yang lemah, dan perencanaan tata ruang yang tidak jelas, serta rendahnya akses masyarakat terhadap tanah dan sumberdaya hutan.  Apabila dikaji lebih dalam lagi dengan kerangka gender, dalam skala keluarga, tingkat kemiskinan pada masyarakat lebih dirasakan oleh kaum perempuan.

Sangat penting untuk dipahami bahwa masyarakat sekitar hutan dan DAS tidaklah homogen.  Mereka sangat beragam baik dari segi suku, ras, agama, budaya,  status sosial dan gender (relasi sosial perempuan dan laki-laki), yang  tentunya sangat mempengaruhi pola kehidupan mereka dalam pengelolaan sumberdaya alam di sekitar hutan dan DAS. Oleh karenanya studi gender perlu dilakukan untuk  mengetahui keragaman pola sosial dan kehidupan  masyarakat dilokasi proyek.  Hasil studi akan memberikan informasi kepada penyelenggara proyek yang dapat dipertimbangkan dalam memberikan pilihan intervensi  kegiatan (bentuk dan sasaran) agar tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai secara merata.Keterkaitan isu lingkungan  dan hutan dengan  isu perempuan sangatlah ert.  Dalam mitos-mitos yang berkembang di masyarakat secara budaya, perempuan sering diasosiasikan dengan alam/lingkungan.  Sebut saja perempuan diandaikan sebagai bumi, ayam, malam, bulan, dan padi.  Dalam kerangka fikir  ecofeminisme, yang berbicara tentang  adanya ketidakadilan terhadap perempuan dan lingkungan ini berangkat pertama-tama dari pengertian adanya ketidakadilan  yang dilakukan oleh manusia terhadap non-manusia/alam.  Karena perempuan  selalu dihubungkan dengan alam, maka secara konseptual, simbolik, dan linguistik ada keterkaitan  antara isu feminis dan ekologis. Kerangka kerja keterkaitan isu feminisme (kesetaraan dan keadilan gender) dengan ekologi adalah sebagai berikut :


  1. Cara berfikir dengan nilai-hirarkis, misalnya “atas-bawah”, cara berfikir yang menempatkan nilai, prestise, status sebagai yang ‘diatas” dan yang lainnya “di bawah” (dinomor duakan
  2. Nilai dualisme, misalnya bersikap oposisional (bukan saling melengkapi/komplementari), eksklusif (bukan inklusif), status dan prestise menjadi dasar dualisme ini, dualisme yang memberi nilai tinggi pada “akal”, “rasio”, “laki-laki” dan bukan pada “tubuh, “emosi”, dan “perempuan”
  3. Penekanan pada logika dan dominasi, misalnya struktur argumentasi yang membenarkan sub ordinasi.


Atas dasar pemikiran ini (hirarkis,  dualistik, dan menindas) maka harus disadari dalam memaknai “perempuan dan alam” bukan semata menyimpulkan perempuan  sebagai perawat, penjaga, dan pelestari alam, akan tetapi perlu adanya kesadaran baik laki-laki maupun perempuan bahwa hubungan kekuasaan yang tidak adil dan adanya model relasi dominasi di dalam wacana lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam akan memberikan dampak buruk pada lingkungan itu sendiri  dan secara khusus pada perempuan.

Temuan hasil studi menggambarkan relasi gender dalam pengeloaan hutan dan DAS yang masih timpang balik yang disebabkan oleh Faktor sosial budaya, yang kurang memberikan ruang pada perempuan di ranah publik.  Perempuan lebih banyak diposisikan di ruang domestik;  faktor persepsi ekonomi, yang memolakan perempuan sebagai pengatur/pengguna penghasilan suami dan suami yang mencari penghasilan /nafkah; Faktor Rendahnya tingkat pendidikan perempuan (formal & vokasi); Faktor akses dan control perempuan atas tanah dan SDA yang lebih  terbatas, berkaitan dengan harta warisan (garis laki-laki), pengetahuan tentang luasan lahan yang digarap; dan Faktor rendahnya pengambilan kepu- tusan perempuan. Faktor-faktor tersebut secara tidak sadar telah lama terinternalisasi  dan menjadi hambatan internal seperti rutinitas pekerjaan domestik, keterbatasan ekonomi, merasa kemampuan/keahlian rendah, kurang percaya diri,  tingkat kepedulian pada proyek rendah, dan miskin informasi. (Nani Saptariani, MA)

*Nani Saptariani, M.A adalah Konsultan Ahli Gender Pada Proyek Penguatan Pengelolaan Hutan dan DAS Berbasis Masyarakat (SCBFWM) Kementerian Kehutanan. www.scbfwm.org

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun