Mohon tunggu...
Darul Azis
Darul Azis Mohon Tunggu... Administrasi - Wirausahawan

Wirausahawan yang terkadang menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berpuasalah Seperti Ulat, Jangan Seperti Ular

27 Mei 2017   17:25 Diperbarui: 8 November 2017   18:13 4837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via http://www.qolbunhadi.com

Dalam menjalani ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, umat Islam dianjurkan agar dapat belajar dari ulat. Anjuran ini sangat populer di kalangan pesantren di Jawa yang diungkapan dalam pepatah, “Pasa o kaya uler, aja kaya ula.” Berpuasalah seperti ulat. Jangan berpuasa seperti ular.

Pengurus Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Azman Lathif mengatakan, ulat setelah menjalani puasa kemudian mampu mengubah dirinya secara totalitas. Dari melata dan mengganggu tanaman serta dibenci petani, berubah menjadi kupu-kupu yang membantu proses pembuahan tanaman.Dari yang semula menjijikkan, menjadi indah.

“Sedangkan ular walaupun berpuasa tetaplah menjadi ular. Meski sudah berpuasa, wujudnya tidaklah berubah. Ular hanya berganti kulit saja. Sementara wataknya sama saja.” Katanya saat mengisi ceramah jelang salat tarawih di masjid Gedhe Jumat (26/6) lalu.

Dalam kesempatan tersebut, Azman juga berkisah tentang Raja Iskandar Zulkarnain dan pasukannya yang dinukil dari buku Tasawuf Modern karya Prof. Hamka. 

Pada suatu ketika, ketika Raja Iskandar Zulkarnain dan pasukannya hendak berangkat menaklukkan suatu daerah, Ia berpesan kepada pasukannya.

“Dalam perjalanan, nanti malam kita akan melintasi sungai. Ambillah apa pun yang terinjak di sungai itu.”

Ketika malam tiba dan pasukan Iskandar Zulkarnain melintasi sungai, tampaklah bahwa prajuritnya terbagi menjadi 3 (tiga) tipe. Pertama yakni prajurit yang tidak mau mengambil apa-apa karena yakin yang diinjaknya hanyalah batu. Kedua adalah prajurit yang sekadar menurut perintah sang raja, sehingga kemudian mengambil sekadarnya saja. Sedangkan yang ketiga adalah prajurit yang mengambil banyak sekali apa-apa yang terinjak di sungai, sehingga membuat tasnya penuh dan kepayahan dalam membawanya.

“Ketika di tempat pemberhentian, Iskandar Zulkarnain bertanya apa yang didapatkan prajuritnya ketika menyeberangi sungai.’’ Azman berkisah, “Para prajurit pun membuka tasnya masing-masing, ternyata isinya intan berlian. Prajurit yang bersungguh-sungguh dan mengambil banyak, mereka pun bersuka cita. Senang sekali karena mendapatkan bekal yang sangat cukup. Yang mengambil sedikit juga senang, tapi agak menyesal. Sedangkan yang tidak mengambil apa-apa merasa sangat kecewa karena meskipun sama-sama menyeberangi sungai mereka tidak mendapatkan apa pun.”  

Menurut Azman, jika konteks cerita di atas dihubungkan dengan Ramadhan, maka akan ketahuan kita akan menjadi seperti apa setelah melewati sungai bernama Ramadhan ini. Apakah kita mampu mengambil hikmah bulan Ramadhan sebanyak-banyaknya karena saking berharganya, hanya mengambil sekadarnya, atau justru sekadar numpang lewat dan tidak mengambil hikmah apa-apa.

“Jangan kita seperti orang yang tidak mengambil apa pun dari sungai itu karena menganggap itu hanya batu. Kita akan menjadi orang yang menyesal. Bulan Ramadan ini adalah kesempatan terbaik untuk kita memperbanyak bekal, untuk perjalanan yang abadi. Perjalanan yang tiada akhir. Perjalanan yang teramat sangat panjang.” Pesannya.

Darul Azis

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun