Mohon tunggu...
Darang S Candra
Darang S Candra Mohon Tunggu... -

Denizen of Nusantara who focuses his study on the dark history of mankind. He always feels infuriated by the popular oblivion of many important past events.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konflik Arab-Israel: Asal Mula Konflik hingga Perang Enam Hari

27 Desember 2013   20:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:25 8049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13881522091986127115

[caption id="attachment_311851" align="alignleft" width="300" caption="Pasukan Israel di depan Masjid Kubah Batu (Dome of the Rock) pada Perang 6 Hari"] [/caption] Konflik Arab-Israel hingga saat ini masih menjadi isu yang dinamis. Dari segi historis, konflik Arab-Israel sendiri telah berakar cukup lama, dan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan antara aktor-aktor konflik. Tulisanini bertujuan untuk membahas asal mula konflik Arab-Israel hingga upaya perdamaian yang dilakukan pasca Perang Enam Hari. Rentang waktu yang digunakan dimulai sejak periode menjelang keruntuhan Kekaisaran Turki Ottoman hingga upaya-upaya perdamaian pasca Perang Enam Hari. Pembatasan rentang waktu hingga pasca Perang Enam Hari tahun 1967 dilakukan untuk mencegah pembahasan meluas ke konteks konflik antara Israel dengan gerakan perlawanan Palestina apabila Perang Yom Kippur, perang dan konflik di Lebanon, intifada di Palestina dan peristiwa-peristiwa penting setelah itu turut dimasukkan. Selain itu, tulisanini juga memfokuskan pembahasan dengan negara sebagai aktor utama, sehingga tidak membahas peristiwa-peristiwa pasca intifada 1987 yang sebagian besar melibatkan Organisasi Pembebasan Palestina (Palestinian Liberation Organization/PLO) serta organisasi yang berhubungan dengan PLO seperti Fatah dan Harakat al-Muqawima al-Islamiya (HAMAS).

Asal Mula Terjadinya Konflik Arab-Israel: Gerakan Zionisme dan Peran Inggris

Konflik yang terjadi antara bangsa (dan kemudian, negara-bangsa) Arab dengan bangsa Yahudi, (yang kemudian mendirikan negara Israe)l pada dasarnya merupakan konflik yang telah berakar ratusan tahun. Asal mula konflik tersebut dapat ditarik sejak tahun 1881, dengan adanya pertentangan yang terjadi antara gerakan Zionisme dengan nasionalisme Arab pada masa akhir abad ke-19. Zionisme merupakan sebuah gerakan masyarakat Yahudi yang ingin kembali dan memperoleh ‘tanah asli’ mereka. Pada masa itu, baru sekitar 565,000 rakyat Arab dan 24,000 Yahudi yang tinggal di wilayah Palestina. Pihak Zionis berpendapat bahwa tanah Palestina merupakan tanah leluhur mereka dan mereka harus menjadikan tanah tersebut rumah mereka. Pihak Zionis kemudian berintensi untuk mendirikan sebuah negara otonom yang keseluruhan atau paling tidak mayoritas rakyatnya merupakan pihak Yahudi. Namun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di daerah tersebut telah tinggal masyarakat Arab, dengan 90% di antaranya beragama Islam. Seiring dengan berjalannya waktu, wilayah Palestina semakin banyak didatangi oleh pendatang Yahudi. Hal ini mulai memunculkan konflik-konflik kecil di antara pihak Yahudi dan Arab karena terjadinya ketimpangan dan diskriminasi yang dirasakan oleh pihak Arab.

Pihak Arab yang sejak lama tinggal di wilayah Palestina tentunya tidak merasa senang mengetahui kedatangan dan intensi pihak Zionis untuk menjadikan tanah Palestina sebagai homeland bangsa Yahudi. Mereka berusaha melawan dan mencegah pihak Zionis untuk memperoleh wilayah yang lebih luas karena pihak Arab menyadari bahwa hal tersebut akan dapat mengancam eksistensi mereka di tanah Palestina. Hal inilah yang pada dasarnya memicu terjadinya konflik antara pihak Arab dengan pihak Zionis Yahudi. Pertentangan di antara kedua belah pihak tersebut nyatanya diperumit dengan kondisi bahwa pada masa itu, wilayah Palestina telah menjadi  bagian daerah kekuasaan dari Kekaisaran Turki Ottoman selama 400 tahun. Kekaisaran Turki Ottoman yang telah berkuasa lama tersebut pada dasarnya dianggap sebagai penguasa yang diskriminatif bagi rakyat yang tinggal di wilayah Palestina tersebut.

Pada awal abad ke-20, Kekaisaran Turki Ottoman mulai melemah dan kekuatan Barat mulai masuk ke wilayah Mediterania, termasuk Palestina. Ketika masa Perang Dunia I, seorang komisaris tinggi Inggris di Mesir melakukan korespondensi tersembunyi dengan salah satu pejabat Kekaisaran Turki Ottoman. Pihak Inggris meminta bantuan rakyat yang tinggal di Arab untuk menggulingkan Kekaisaran Turki Ottoman, dan sebagai imbalannya pihak Inggris akan membantu pendirian negara Arab yang independen, termasuk Palestina. Korespondensi yang direncanakan ini nyatanya berhasil menggulingkan kerajaan Turki Ottoman dan Inggris mengambil alih wilayah kekuasaan kerajaan tersebut selama berlangsungnya Perang Dunia I. Namun demikian, ternyata pihak Inggris juga membuat perjanjian lain yang bertentangan dengan korespondensi tersembunyi yang sebelumnya telah dilakukan. Menteri Luar Negeri Inggris saat itu menyusun sebuah deklarasi yang disebut dengan Deklarasi Balfour yang isinya mengemukakan bahwa pemerintah Inggris mendukung terciptanya ‘a Jewish national home in Palestine’. Deklarasi ini disusun sebagai bentuk apresiasi pemerintahan Inggris terhadap dukungan Yahudi yang dianggap esensial dalam perang melawan Ottoman. Akan tetapi, jelas bahwa deklarasi tersebut juga mendorong kegelisahan yang dirasakan oleh rakyat Arab, terutama non-Yahudi.

Setelah perang usai, Inggris dan Prancis membagi dua wilayah bekas kekuasaan Ottoman dan meyakinkan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) untuk menyetujui otoritas quasi-colonial mereka atas wilayah tersebut. Hanya saja, seiring berjalannya waktu, pihak Arab merasa kesal terhadap pihak Inggris karena dianggap tidak mampu memenuhi janji atas pendirian negara Arab yang independen. Di Palestina, situasi yang terjadi jauh lebih rumit karena Inggris turut mendukung upaya pihak Zionis untuk menjadikan wilayah itu sebagai homeland bangsa Yahudi. Hal ini mendorong terjadinya konflik antara pihak Palestina Arab dengan pihak British Mandate, dan juga Palestina Arab dengan pihak Yahudi. Konflik ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali. Konflik dan pemberontakan ini menelan banyak korban dan berlangsung selama bertahun-tahun. Seiring dengan terjadinya Perang Dunia II, pergolakan yang terjadi antara pihak-pihak tersebut akhirnya membuat Inggris  melepaskan mandatnya atas wilayah Palestina.

Pendirian Negara Israel: Perang Terbuka Pertama antara Pihak Arab-Israel

Inggris menyerahkan kekuasaan untuk menentukan masa depan wilayah tersebut kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang pada masa itu baru saja terbentuk. Walaupun solusi terbaik tidak mampu didapatkan, terdapat persetujuan umum di antara komite bahwa perlu dilakukannya pemisahan di wilayah tersebut untuk memenuhi kepentingan dan kepuasan baik pihak Yahudi maupun pihak Palestina Arab. Pada November 1947, Majelis Umum PBB mengumumkan rencana pembelahan negara menjadi dua bagian (UN Partition Plan), Yahudi dan Arab. Pihak Zionis Yahudi secara publik menyetujui rencana pembagian oleh PBB tersebut. Namun demikian, pihak Arab melihat apa yang ditawarkan oleh PBB tersebut sangat berpihak pada pihak Yahudi dan tidak adil terhadap pihak Arab sendiri. Pengadopsian rencana ini memunculkan kembali konflik di antara dua pihak. Kedua pihak sama-sama berusaha melindungi kepentingannya. Namun, karena kualitas pasukan militer Arab tidak sebaik apa yang dimiliki oleh pihak Zionis, pada 1948 pihak Zionis berhasil mengamankan kendalinya atas jatah wilayah teritorinya sesuai dengan UN Partition Plan, dan hal ini menggiring pada proklamasi pemimpin Zionis atas berdirinya negara Israel.

Kemerdekaan negara Israel dideklarasikan pada 14 Mei 1948, tepat satu hari sebelum Mandat Inggris atas Palestina berakhir. Deklarasi tersebut dilakukan oleh David Ben-Gurion, kepala eksekutif World Zionist Organization sekaligus kepala Agensi Yahudi bagi Palestina, yang dikenal dengan State of Israel. Berikut akan diberikan penjelasan mengenai sejarah terperinci, kronologis beberapa peristiwa yang terjadi sebelum dideklarasikannya kemerdekaan Israel, termasuk perang yang melibatkan Israel di tahun 1948 melawan beberapa negara Arab.

Kemungkinan terbentuknya sebuah tanah air yang berdaulat bagi Yahudi di Palestina, telah menjadi tujuan organisasi Zionis sejak akhir abad ke-19. Menteri Luar Negeri Inggris menyatakan dalam Deklarasi Balfour tahun 1917:

His Majesty's government view with favour the establishment in Palestine of a national home for the Jewish people, and will use their best endeavours to facilitate the achievement of this object, it being clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the civil and religious rights of existing non-Jewish communities in Palestine, or the rights and political status enjoyed by Jews in any other country.

Pernyataan tersebut menunjukkan dukungan pemerintah Inggris atas pendirian wilayah nasional yang berdaulat bagi komunitas Yahudi di Palestina. Pemerintah Inggris juga menyatakan bahwa mereka akan menggunakan usaha terbaik untuk memudahkan tercapainya tujuan tersebut.

Sejarah Israel setelah Perang Dunia II, menurut Daniel Pipes, sangat erat kaitannya dengan relasi antara Inggris dan komunitas Yahudi (Pipes, 2011). Seiring dengan bergabungnya Haganah dalam Irgun dan Lehi dalam suatu pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan Inggris, pada saat yang sama ribuan pengunsi dan korban holocaust Yahudi yang selamat dari Eropa melihat suatu hidup baru di Palestina. Akan tetapi, mereka ditolak di tanah yang kala itu masih berada di bawah mandat Inggris, sehingga mereka ditempatkan dalam kamp-kamp penahanan refugees oleh orang Inggris.

Pada tahun 1947, pemerintah Inggris mengumumkan akan menarik mandat terhadap Palestina dengan menyataan tidak dapat mencapai solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, dalam hal ini adalah komunitas Arab dan Yahudi. Oleh karena itu, suatu rencana pun diajukan untuk menggantikan mandat Inggris dengan suatu “Negara Independen Arab dan Yahudi” dan “Rezim Internasional Khusus untuk Kota Yerusalem” yang dikelola oleh PBB.

Sejarah Israel mencatat bahwa 29 November 1947, Majelis Umum PBB mengadopsi suatu resolusi yang merekomendasikan adopsi dan implementasi Rencana Pembangunan dari Palestina. Komunitas Yahudi pun menerima rencana tersebut, namun Liga Arab dan Komite Tinggi Arab dari Palestina menolaknya. Sehingga, pada 1 Desember 1947, Komite Tinggi Arab menyatakan mogok tiga hari dan kelompok-kelopok Arab mulai menyerang sasaran-sasaran Yahudi.

Pihak Yahudi pada awalnya dalam posisi bertahan (defensive) dalam perang sipil, namun secara bertahap beralih menjadi menyerang (offensive), hingga situasi berbalik dan Yahudi mulai berhasil menguasai wilayah. Perekonomian Palestina runtuh, dan sejumlah 250 ribu Arab Palestina diusir atau melarikan diri. Puncak kemenangan Yahudi dalam sejarah Israel pun tercapai pada 14 Mei 1948, ketika Pihak Yahudi memproklamasikan kemerdekaannya, dengan nama resmi negara Israel. Tanggal tersebut, seperti yang telah disebutkan di atas, adalah tepat satu hari sebelum Mandat Inggris atas Palestina berakhir. Pada hari berikutnya, lima negara menyerang Israel, yaitu Lebanon, Irak, Mesir Yordania, dan Suriah. Hal ini menandai meletusnya Perang Arab-Israel di tahun 1948. Arab Saudi kemudian turut mengirim suatu kontingen militer untuk beroperasi di bawah perintah Mesir. Yaman kemudian mendeklarasikan perang, namun tidak mengambil tindakan militer. Setelah setahun pertempuran dilakukan, deklarasi gencatan senjata dan perbatasan sementara yang disebut sebagai green line Yordania menganeksasi wilayah yang disebut dengan Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Kemudian negara Mesir mengambil alih Jalur Gaza. Pada akhir Perang Kemerdekaan Israel tersebut, Februari 1949, wilayah yang dikuasai Israel lebih luas dibandingkan dengan wilayah Yahudi dalam UN Partition Plan, dan hilang pula kesempatan pendirian negara Palestina yang berdaulat penuh.

Perang-Perang dan Upaya Perdamaian Konflik Arab-Israel 1948- Perang Enam Hari

Pasca berdirinya negara Israel tersebut, konflik terbuka Arab-Israel memang makin tak terhindarkan lagi. Bahkan, dalam periode 1948-1992, terjadi 63 Militarized Interstate Disputes (MIDs) alias Konflik Militer Antarnegara, dengan 18 di antaranya berbentuk Perang Terbuka (Full Fledged War) antara Israel dengan negara-negara Arab tetangganya. Perang utama yang terjadi antara pihak Arab dengan Israel pasca Perang Kemerdekaan Israel 1949 terjadi pada tahun 1956, 1967, 1973, dan 1982). Namun, antara tahun 1949-1956, tidak terjadi perang besar antara pihak Arab dengan pihak Israel. Periode tersebut lebih diwarnai oleh berbagai peristiwa penting seperti aneksasi Tepi barat oleh Yordania, pembunuhan Raja Abdullah I dari Yordania oleh kelompok teroris dari Palestina yang tidak puas dengan tindakan Yordania saat melawan Israel, kudeta terhadap Raja Farouk oleh Gamal Abdul Nasser di Mesir, SkandalLavon yang melibatkan mata-mata Israel di Mesir, dan terpilihnya David Ben Gurion sebagai Perdana Menteri Israel.

Pada tahun 1956, Amerika Serikat, Inggris, dan Bank Dunia memutus dana bantuan untuk Mesir karena negara yang dipimpin Nasser tersebut dianggap terlalu mendekat ke Uni Soviet. Hal tersebut dibalas Mesir melalui tindakan nasionalisasi Terusan Suez. Tindakan tersebut memicu deklarasi perang oleh Inggris dan Perancis terhadap Mesir. Israel turut terlibat dalam perang tersebut, dan dengan relatif mudah berhasil menginvasi serta merebut Semenanjung Sinai hanya dalam waktu 100 jam, meski kemudian mundur dari wilayah tersebut karena digantikan oleh tentara penjaga perdamaian dari PBB. Perang tersebut menunjukkan kekuatan militer Israel yang dengan mudah mampu mengalahkan pasukan Mesir yang kurang terlatih. Baik negara-negara Arab maupun Israel meningkatkan anggaran militer mereka pasca 1956 sebagai persiapan apabila kembali terjadi perang antara Arab-Israel, dan pada 1956-1966 berlangsung konflik-konflik berskala rendah seperti clash perbatasan Israel-Suriah pada 1964, perang sipil di Yaman yang diintervensi oleh Mesir (dan gagal), serangan gerilya Palestina ke Israel 1965-1966, dan pembalasan Israel ke basis Palestina di Yordania. Israel kemudian mengaplikasikan doktrin militer rapid advance in the event of war dan melakukan modernisasi besar-besaran pada sektor tank dan kekuatan udara.

Berbagai dinamika di kawasan Timur Tengah kemudian menyebabkan pecahnya Perang Enam Hari pada tahun 1967. Ambisi politik nasionalisme Arab pemerintahan Nasser, kudeta dan juga sengketa air dengan Israel di Suriah, pembentukan pakta pertahanan antara Mesir-Suriah, dan juga serangan Israel ke sebuah desa di Yordania merupakan beberapa penyebab terjadinya perang tersebut. Perang Enam Hari berlangsung pada 5-10 Juni 1967. Perang tersebut dimulai dengan serangan Mesir dan koalisi Arab (Suriah, Lebanon, dan Yordania) ke wilayah Israel. Pada awal peperangan, pasukan Arab di bawah pimpinan Mesir menguasai keadaan dan mampu mengalahkan pasukan Israel di beberapa pertempuran. Akan tetapi, pada pertengahan peperangan, kemampuan Israel mampu membalikkan keadaan denga meretaliasi serangan-serangan pasukan Arab hingga mengalahkan seluruh pasukan Arab yang menyerangnya. Keberhasilan Israel untuk mengalahkan negara-negara Arab tersebut juga dipengaruhi oleh kehebatan intelijen serta diplomasi negara tersebut. Peran lobi Yahudi di Amerika Serikat turut mempengaruhi dukungan Amerika Serikat pada Israel, meski bukan berupa dukungan militer, pada perang tersebut. Setelah Perang Enam Hari berakhir, Israel menguasai wilayah-wilayah yang tadinya dikuasai Mesir, Suriah, dan Yordania, yaitu wilayah Semenanjung Sinai, Tepi Barat (termasuk Jerusalem Timur), Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan. Namun, perhatian dunia pada perang ini kemudian berujung pada Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB nomor 242, yang berisi:

(i)  Penarikan pasukan Israel dari wilayah yang diduduki pada Perang Enam Hari

(ii) Terminasi seluruh klaim dan perilaku yang mengarah pemberontakan serta menghormati kedaulatan, integritas teritorial, serta independensi politik seluruh negara di kawasan agar dapat mewujudkan kedamaian berdasarkan batas-batas wilayah yang aman dari perilaku kekerasan.

Meski didukung oleh Amerika Serikat, tekanan negara-negara lain yang tergabung dalam PBB, ditambah dengan beberapa perhitungan lain, Israel pada akhirnya mengikuti resolusi PBB tersebut. Akan tetapi, dengan keluarnya resolusi DK PBB nomor 242 yang dijalankan oleh Israel tersebut, secara de facto dan de jure PBB mengakui negara tersebut memiliki kendali yang sah atas wilayah yang dikuasai sebelum Perang Enam Hari. Keputusan tersebut hingga saat ini masih menjadi penyebab berbagai konflik antara Israel dengan pihak Arab.

Penutup

Dari pembahasan mengenai asal mula konflik Arab-Israel serta perkembangan yang terjadi hingga Perang Enam Hari ini, dapat dilihat bahwa konflik ini memiliki karakteristik yang kompleks. Hanya saja, peranan serta dukungan dari luar kawasan, yaitu dari negara-negara great powers seperti Amerika Serikat dan Inggris terhadap Israel menyebabkan konflik ini menjadi unik dengan banyaknya kepentingan yang terlibat. Kekalahan berturut-turut negara-negara Arab dalam perang-perang melawan Israel menunjukkan ketidakmampuan konflik ini untuk diselesaikan melalui perang. Upaya komunitas internasional melalui institusi seperti PBB turut membantu upaya penyelesaian konflik ini. Namun, dibutuhkan upaya yang amat panjang untuk mengurai konflik ini, yang hingga saat ini masih belum teratasi.

Referensi

Beinin, Joel  dan Lisa Hajjar, “Palestine, Israel, and the Arab-Israeli Conflict: A Primer” dalam Middle East research and Information Project, hal. 3 diakses darihttps://www.lsa.umich.edu/UofM/Content/complit/document/Arab%20Identity%20Panel%20Readings.pdf pada 13 November 2012 pukul 13.21 WIB.

Brenner, Michael  dan Shelley Frisch, Zionism: A Brief History, (New Jersey: Markus Wiener Publishers, 2003)Fraser, T.G. The Middle East: 1914–1979 (New York: St. Martin's Press, 1980)

Dictionary of the Israeli-Palestinian Conflict Vol. 2 K-Z, (Detroit: Macmillan Reference USA, 2005), dan Jeremy Black, Introduction to Global Military History, (London: Routledge, 2005)

Kamrava, Mehran.  The Modern Middle East: A Political History since the First World War, (Berkeley: University of California Press, 2005)

Maoz,  Zeev. ‘Domestic politics of regional security: theoretical perspectives and Middle East patterns’ dalam Journal of Strategic Studies, Vol 26, Chapter 3, 2003

Pipes, Daniel . “The Real History if Israel’s Founding, and Why It Matters” dalam National Review, edisi Juni 2011 (diakses darihttp://www.nationalreview.com/articles/270064/not-stealing-palestine-purchasing-israel-daniel-pipes pada Selasa, 13 November 2012 pukul 17.50

Tessler, Mark. A History of The Israeli-Palestinian Conflict (Bloomington, IN: Indiana University Press, 1994) UN Security Council, Resolution 242, 22 November 1967 http://www.nion.ca/pdf/arab-israeli-conflict-origins.pdf pada 13 November 2012 pukul 11.19 WIB.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun