Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bernostalgia di Fakfak, Papua Barat

20 Januari 2014   08:55 Diperbarui: 4 April 2017   17:49 3943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_290904" align="aligncenter" width="600" caption="Pemandangan Kota Fakfak dari udara (Sumber: FB ACKF/Aku Cinta Kota Fakfak)"][/caption]

Liburan akhir tahun dan tahun baru 2013-2014 lalu saya mudik ke kampung halaman saya, Fakfak, Papua Barat, setelah mudik terakhir yang saya di tahun 1993. Jadi, setelah 20 tahun kemudian, baru sekarang saya mudik lagi. Waktu mudik di 1993 itu masih berstatus bujangan, mudik kali ini sudah berkeluarga. Maka itu, saya membawa serta keluarga lengkap saya. Istri dan 2 anak perempuan saya. Mereka semua “arek Suroboyo” yang belum pernah ke Indonesia bagian Timur, apalagi ke Papua. Pengalaman ke Fakfak ini merupakan suatu pengalaman yang unik dan menebarkan bagi mereka, karena selama hidupnya berada di kota besar seperti Surabaya, dan kalau liburan biasanya ke luar negeri melihat kota-kota moderen. Sedangkan Fakfak adalah sebuah kota kecil nan mungil, yang terletak di pinggir laut, di lereng gunung yang berbukit-bukit, dan masih dikelilingi dengan hutan-hutan lebatnya. Topografinya sangat mirip dengan Trawas dan Tretes di Jawa Timur.

Liburan di Fakfak ini diisi dengan acara utama piknik ke sebuah pulau kosong, yang bernama Pulai Samai, berenang di pantainya yang benar-benar masih asli natural, dan memancing di lautan lepas. Semuanya itu akan saya ceritakan di artikel lain. Sekarang hanya menulis perkenalannya saja terlebih dulu.

Untuk menempuh perjalanan udara dari Surabaya ke Fakfak yang paling efesien adalah dengan menggunakan pesawat Lion Air/Wing Air. Jadwal penerbangannya setiap hari, berangkat dari Surabaya pukul 22:25 WIB dengan menggunakan Lion Air, transit di Makassar sekitar 2 jam. Tiba di Ambon pukul 06:15 WIT. Di Ambon ganti pesawat dengan pesawat Wings Air yang menggunakan pesawat baling-baling jenis ATR 72-500. Berangkat dari Ambon pukul 07:40 WIT, tiba di Fakfak pukul 08:40 WIT. Harga tiketnya rata-rata @Rp. 2.200.000,- sekali jalan. Jadi, untuk pergi-pulang ongkos perjalanannya saja Rp. 4.400.000 per orang.

Perjalanan dari Surabaya ke Fakfak ini memang cukup melelahkan karena harus menempuh perjalanan dari tengah malam sampai pagi hari keesokan harinya, transit di Makassar, dan ganti pesawat di Ambon, otomatis tidak bisa tidur dengan normal. Berbeda dengan rute (kembali) dari Fakfak ke Surabaya.

Perjalanan dari Fakfak ke Surabaya jadwalnya pagi hari. Dari Fakfak berangkat pukul 09:10 WIT dengan Wings Air, singgah di Kaimana hanya sekitar 20 menit (untuk mengisi bahan bakar). Dari Kaimana ke Ambon, tiba pukul 12:00 WIT. Turun dari pesawat langsung menuju ganti pesawat Lion Air, tanpa menunggu lagi di ruang tunggu. Dari Ambon pukul 12:45 WIT, tiba di Surabaya pukul 13:30 WIB.

[caption id="attachment_290905" align="aligncenter" width="737" caption="Dengan pesawat inilah kami tiba di Fakfak (Foto milik penulis)"]

1390153631187197493
1390153631187197493
[/caption]

[caption id="attachment_290906" align="aligncenter" width="737" caption="Bandara Torea, Fakfak (Foto milik penulis)"]

1390153697511911616
1390153697511911616
[/caption]

Kalau dari Jakarta, dengan Lion Air/Wings Air juga, biayanya hampir sama. Bedanya pesawat tidak transit di Makassar. Dari Jakarta langsung ke Ambon. Berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng pada pukul 01:30 WIB.

Kami berangkat dari Bandara Juanda, Sidoarjo, pada 26 Desember 2013, mengalami keterlambatan sekitar 1,5 jam, dan tiba di Fakfak keesokan harinya. Kami di Fakfak dari tanggal 27 Desember 2013 sampai dengan 3 Januari 2014. Berarti mengalami pergantian tahun baru di sana, yang dilewati dengan cara yang cukup meriah dan unik. Ini juga akan saya ceritakan pada artikel yang lain.

Menginjak kaki kembali ke kota kelahiran saya itu tentu menghadirkan perasaan nostalgia dan sensasi tersendiri. Dari Torea (nama bandara di Fakfak) sampai ke rumah, menempuh jalan-jalan yang dahulu kala, puluhan tahun lalu sering sekali saya lewati melahirkan memori-memori flashback tertentu.

Bandara Torea, sebagaimana bandara sejenis di kota kecil dikelola dengan cara-cara yang masih manual. Pengambilan bagasi, misalnya, diangkut dengan mobil pick-up dari pesawat, kemudian dibawa ke ruang pengambilan bagasi, dan diserahkan secara manual kepada pemilik barang barang masing-masing.

[caption id="attachment_290908" align="aligncenter" width="624" caption="Pengambilan bagasi-bagasi secara manual (foto milik Penulis)"]

1390153832895967631
1390153832895967631
[/caption]

Karena Fakfak terletak di lereng gunung dekat laut yang berbukti-bukit, maka dari kota Fakfak dapat dinikmati pemandangan laut yang indah-indah. Kalau dari kejauhan dari laut melihat kota Fakfak itu bisa dikatakan “mirip-mirip Monaco.”  Sayangnya, faktanya tidaklah demikian. Fakfak dengan Monaco tentu saja sangat tidak bisa dibandingkan. Fakfak adalah sebuah kota yang sangat kecil dan serba tertinggal, meskipun mempunyai kekayaan alam yang sangat besar. Yang mirip dengan Monaco hanyalah lokasinya saja yang bergunung-gunung di tepi laut. Kalau Fakfak berada di sebuah negara maju, besar kemungkinan dia akan seindah Monaco.

Kalau dilihat dari laut, akan tampak seolah-olah mobil-mobil dan motor-motornya yang berlalu-lalang berjalan di antara atap-atap rumah/bangunan.

[caption id="attachment_290907" align="aligncenter" width="717" caption="Pemandangan laut dari salah satu sudut kota Fakfak (Foto milik penulis)"]

1390153776462335876
1390153776462335876
[/caption]

[caption id="attachment_290910" align="aligncenter" width="691" caption="Fakfak terletak di perbukitan, mirip dengan letak Monaco (sumber: FB ACKF/Aku Cinta Kota Fakfak)"]

13901542372134676294
13901542372134676294
[/caption] [caption id="attachment_290912" align="aligncenter" width="663" caption="Monaco. Seandainya Fakfak berada di negara maju, keindahannya mungkin seperti ini (sumber: en.wikipedia.org)"]
13901544581968827626
13901544581968827626
[/caption]

[caption id="attachment_290925" align="aligncenter" width="793" caption="Karena letaknya di lereng gunung yang berbukit-bukit, kalau dilihat dari laut, seolah-olah mobilnya berjalan di atas atap-atap rumah (foto milik Penulis)"]

1390179633907388247
1390179633907388247
[/caption]

Dahulu waktu saya masih tinggal di Fakfak, dari belakang rumahsaya saja sudah bisa melihat pemandangan lautnya yang sangat indah. Demikian juga dengan pemandangan matahari terbenamnya (sunset) yang saya berani katakan tidak kalah indah daripada di sunset Bali yang terkenal itu.

Kebanyakan jalan-jalan di kota Fakfak, salah satu sisinya adalah jurang. Oleh karena itu rumah-rumah yang dibangun di sana pun mengikuti permukaan tanahnya yang berjurang itu. Jadi, di bagian depan rumahnya hanya satu lantai saja, ke tengah sampai ke belakang terdiri dua sampai tiga lantai. Sebagian besar rumah di sana atapnya menggunakan seng-seng gelombang. Rumah-rumah lamanya sebagian besar masih terdiri dari kayu dan papan. Papan dipakai untuk lantai. Jangan salah, ini bukan kayu dan papan dari bahan kayu sembarangan, tetapi ini merupakan bahan kayu dari pohon sejenis pohon jati yang sangat kuat dan awet. Di Fakfak menyebutnya dengan nama “kayu besi.” Banyak rumah yang terbuat dari kayu besi sudah berumur puluhan tahun. Rumah keluarga kami, misalnya, paling tidak sudah berumur lebih dari 50-60 tahun, sampai sekarang kayu-kayu dan papan-papannya masih awet.

Sedangkan untuk rumah-rumah yang relatif baru dibangun kebanyakan sudah berstrukur bangunan beton moderen. Bangunan baru kantor bupati Fakfak yang masih dalam proses pembangunan, misalnya, adalah salah satu bangunan beton yang besar, moderen, dan mewah. Bahkan terlalu mewah untuk kota sekecil Fakfak.

[caption id="attachment_290926" align="aligncenter" width="717" caption="Kompleks kantor bupati Fakfak yang sedang dalam progres pembangunannya (foto milik Penulis)"]

13901798131561731859
13901798131561731859
[/caption]

Rumah keluarga kami berada di pinggir pantai. Dahulu, kalau mau berenang di laut, cukup turun jalan kaki beberapa meter dari belakang rumah, sampai di tepi pantai, terus tinggal menceburkan diri ke laut saja. Kalau malam, bisa juga mengisi waktu dengan iseng-iseng memancing ikan dan cumi-cumi di belakang rumah.

Jika hari sudah petang, dari belakang rumah juga bisa menikmati pemandangan sunset yang indah. Apalagi pada musim-musim tertentu bola mataharinya kelihatannya lebih besar daripada biasanya, menambah keindahan pemandangan sunset itu.

[caption id="attachment_290913" align="aligncenter" width="574" caption="Sunset di Fakfak, dilihat dari tengah laut (foto milik Penulis)"]

13901545542044740371
13901545542044740371
[/caption] [caption id="attachment_290958" align="aligncenter" width="800" caption="Sunset Fakfak Pemandangan persis seperti ini bisa dilihat dari belakang rumah kami. (sumber:hmstripod.com)"]
1390182584699965424
1390182584699965424
[/caption]

Tetapi, sekarang sudah tidak bisa lagi. Karena sepanjang pantai Fakfak, mulai dari pantai Pasar Tambaruni sampai di pelabuhan Fakfak sudah dilakukan reklamasi. Panjangnya sekitar 5 km, dengan lebar paling jauh dari tepi pantai asli sekitar 500 meter – 1 km. Reklamasi tersebut dikerjakan sejak awal 1990-an. Reklamasi dilakukan untuk menambah daratan di pesisir pantai dan untuk menambah luas pelabuhan Fakfak. Saat ini yang masih dikerjakan adalah pembangunan perluasan pelabuhan tahap kedua.

Kini, di atas tanah reklamasi itu, selain telah menambah luas pelabuhan Fakfak, juga telah dibangun berbagai macam bangunan, terutama ruko-ruko. Di situ pula terdapat dua bangunan yang cukup mewah bagi kota Fakfak, yakni gedung Bank Papua dan Bank Mega.

Sayang sekali tata letak (layout) bangunan-bangunan di atas tanah reklamasi ini malah merusak estetika kota. Kesan yang saya dapatkan setelah melihat langsung tanah reklamasi itu adalah pembangunan di atasnya dilakukan tanpa perencanaan yang matang berdasarkan struktur jalan dan tata letak bangunan-bangunannya. Seolah-olah asal dibangun saja, tanpa menggunakan jasa pakar tata kota agar estikanya dapat dipertahankan atau malah semakin diperindah. Beberapa bangunan kumuh dan liar dengan sampah-sampah yang dibuang sembarangan pun ikut hadir semakin merusak pemandangan pantai yang dulunya begitu indah. Hampir sepanjang jalan itu pun aspalnya telah mengelupas dan rusak. Menurut keterangan yang saya dapatkan, jalanan rusak itu sudah lama, dan dibiarkan begitu saja. Memang ada bagian yang sudah dikerjakan dengan dibetonkan, tetapi itu juga sudah lama tidak dilanjutkan pekerjaannya.

Dari belakang rumah kami, kini, pemandangan lautnya yang dulu indah kini terhalang oleh bangunan-bangunan yang seolah-olah asal dibangun tanpa memperhitungkan estetika kota, dan pantai di belakang rumah, yang dulu dipakai untuk berenang dan memancing, sudah tidak ada lagi.

Dari belakang rumah keluarga saya sangat dekat dengan pelabuhan, setiap ada kapal yang masuk dan keluar bisa dilihat dengan sangat jelas. Begitu juga dengan kegiatan bongkar-muat di pelabuhan, bisa dilihat sebagian dari situ.

[caption id="attachment_290914" align="aligncenter" width="645" caption="Pemandangan dari belakang rumah. Dahulu, di bawahnya ini langsung pantai, yang di masa kecil biasanya menjadi lokasi berenang kami. Sekarang sudah ditutupi dengan reklamasi, yang sayangnya dengan pembangunan yang malah merusak pemandangan kota (foto milik penulis)"]

1390154650256798599
1390154650256798599
[/caption]

[caption id="attachment_290943" align="aligncenter" width="819" caption="Pemandangan dari belakang rumah kami, yang dahulu begitu indah sekarang menjadi rusak oleh penataan bangunan yang buruk di tanah reklamasi. Adanya air laut pantai yang terkurung membuat pemandangan semakin jelek dan kotor (foto milik Penulis)"]

1390180922854830679
1390180922854830679
[/caption]

Di Fakfak, terdapat cukup banyak pedagang dan pengusaha warung makan. Sebagian besar yang berasal dari Makassar (pedagang barang-barang kelontong) dan Jawa Timur, seperti Lamongan, yang membuka usaha warung-warung makan ikan bakar dan Soto Ayam Lamongan, bakso, mie/nasi goreng, dan lain-lain.

Pusat kota dan pusat perdagangannya terdapat di Jalan Izak Telussa yang dinominasi oleh para pedagang dari etnis Tionghoa, yang sudah bermukim di sana secara turun-menurun. Sekarang, sudah generasi kelimanya.

Angkutan umum di Fakfak ada dua jenis, yaitu taksi dan ojek. Tetapi, yang namanya taksi di Fakfak, jangan disamakan dengan taksi sebagaimana umumnya di kota-kota besar. Yang disebut taksi di Fakkfak adalah mobil angkutan umum yang di Jawa dinamakan angkutan kota (angkot). Kebanyakan yang dipakai adalah jenis Mitsubishi L300.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun