Mohon tunggu...
Dahono Prasetyo
Dahono Prasetyo Mohon Tunggu... -

READ-WRITE-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apakah Bohong Itu Dosa?

11 Oktober 2013   16:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:40 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebenarnya belum lama aku mengenalnya, baru sebulan di Tim Kerja yang sedang berjalan ini. Tapi dia lumayan akrab, gaul banyak ngobrol, jadi sedikit banyak ada ke akraban lebih dibanding rekan kerja lain yang pendiam atau cenderung serius dengan pekerjaannya. Meskipun dia belum pernah bercerita tentang suami dan anaknya, namun kuperkirakan di sudah berkeluarga. Gaya bicaranya cenderung apa adanya saat menanggapi sesuatu meski sedikit berlebihan, yang itu berkaitan dengan tingkat intelektual seseorang tentunya. Dandanannya modis rapi dengan kerudung warna warni berganti setiap harinya.

“Mas, tau harga HP Blackberry yang layar sentuh? Harga second aja” tanya dia pagi pagi.

“Ooo BB Torch? Secondnya kalo gak salah sekitar 2 jutaan” jawabku setelah sejenak mengingat tabloid khusus HP yang kemarin sempat kubaca.

“Mahal juga ya? Emang barunya harga berapa?”
“Sekitar 3 setengah jutaan kalo baru dari toko. Emang mau beli berapa?” tanyaku sengaja pancing bercanda seperti biasa.

“Ya satu aja, kalo selusin tasku gak muat”
“Buat siapa”

“Buat aku pake sendiri lah. Ini HP lama mau aku jual dulu. Susah pake HP jadul, buat kirim kirim foto gak bisa” lanjut dia sambil mengeluarkan HP lama yang selama ini dia pakai.
HPnya China, kupastikan dari merknya yang nggak ada di kamus bahasa Inggris. Dari tampilan luar sebenarnya sudah canggih juga, bisa TV, kamera depan belakang. Dibilang jadul mungkin karena warnanya yang seperti uban. Putih ke abu abuan.

“Lhaa yang penting kan bisa trima telepon, sms dan isi pulsa??”
“Ah.. itu sih udah kuno. Ini juga buat nyimpen foto gak bisa banyak, masak ada foto baru mesti hapus foto yang lama?
“Emang gak pake memory card apa? tanyaku agak serius
“Memory card gak punya, adanya credit card. HP saya ini bayarin aja deh kalo gitu, ntar buat nambahin beli Blackberry” jawabnya mulai serius.

“Buat apa? Saya sudah ada HP 2” jawabku sambil lewat.
“Ya terserah, mau buat ulekan juga boleh, asal jangan buat korek kuping”

“Coba deh ntar aku tawarin ke Herman sopir, kali aja dia mau. Di rumahnya kan ada konter HP” kilahku menghindari kejaran dia.

“Ya udah ini bawa dulu kalo gitu”

“Trus kamu pake HP apa, ntar susah lagi kalo dihubungi”
“Tenang aja, aku ada HP lama” jawabnya sambil menaruh HP Chinanya ke telapak tanganku. Kemudian tangan kanannya menengadah.

“Sini 100 ribu dulu buat uang muka. Ntar laku berapa tinggal potong”

“Weleh weleh.. ini orang kebelet banget? Marketing blom jalan udah minta DP”

“Udah lah aku tahu kamu pegang duit, kemaren habis keluar kasbon”

“Ya tapi sudah aku kasih istriku, ini di dompet tinggal 50 ribu” kataku sambil mengeluarkan dompet, membukanya hingga selembar uang warna biru sendirian terlihat.
“Ya udah, gak papa. Buat aku dulu”

“Lhaaa....” kalimatku belum habis, dia sudah mengambil isi dompet yang dilihatnya tadi, untuk kemudian kabur ke arah lobby kantor sambil cengengesan. Akupun bengong bengong maklum sambil mengantongi HP warna uban itu.
Pagipun beranjak siang, sekarang beranjak sore.
Sepertinya HP ini ada sesuatu yang menghalangi lepas dari tanganku. Si Herman yang kutawari menolak dengan alasan di konternya masih banyak stok HP. Budi office boy maunya bayar 2 kali bulan depan. 3 orang lagi kawan cuma senyum tanpa menawar pertanda gak peduli. Dan tempat dia paling nyaman sementara ada di saku celanaku.
Kulihat jam tangan sudah hampir pukul 10 malam. Lembur dadakan hari ini cukup menyita perhatianku pada HP titipan apalagi pemiliknya. Sambil menunggu proses shut down komputer, iseng aku buka HP itu. Kali aja ada foto foto aneh, atau SMS rahasia yang bisa melahirkan senyum. HP ini sudah tidak ber SIM Card, namun masih bisa menampilkan menu. Di folder galeri foto kubuka, isinya cuma beberapa foto dia. Gak ada yang istimewa. Di folder pesan diterima juga kosong, berarti dia sudah niat menjual setelah sebelumnya menghapus semua isi pesan sms. Di penyimpanan pesan juga kosong. Di folder pesan terkirim kubuka. Dan ternyata isinya banyak pesan yang berhasil terkirim. Nah.. ini dia... naluri isengku sontak bergolak ketemu obyek. Aku buka satu persatu. Ada beberapa pesan yang cukup serius kubaca:
“Bangun nak, jangan lupa sholat subuh. Cium sayang Bunda dari jauh”

“Sabar ya nak, nanti bunda kirim uangnya. Jaga adikmu, jangan lupa jam 10 jemput dia ke sekolah”
“Bunda baru saja kirim uang lewat rekeningnya Lek Yanto. Kamu ke rumahnya saja, dia sudah nungguin”
“Iya, itu uang untuk beli beras dulu, cukup buat seminggu. Sisanya buat beli lauk. Pulsa kamu nanti bunda kirim. Bunda lagi di jalan sekarang”

Beberapa SMS sempat aku ulangi membacanya sambil membayangkan situasinya. Aku pastikan itu dialog antara Ibu dan anaknya yang berada di lain kota.

“Tidak usah tanya lagi tentang bapakmu. Yang penting Bunda masih bisa membiayai sekolahmu dan adikmu Siti. Berdo’a saja Bunda masih terus dipercaya bekerja disini.
“Di tumpukan lemari bawah ada kain batik Bunda. Coba kamu cari, kasih ke Mbok Parti, terima saja berapa uang pemberian dia. Yang penting obat buat Siti bisa terbeli. Tetap berdo’a ya nak. Jangan tinggalin sholat apapun keadaannya”
“Sabar dulu ya nak. Bunda lagi usahain uangnya. Insya Allah nanti siang dikirim. Bilang sama Pak Narto di warung, suruh itung jumlah utang ada berapa. Bunda pasti bayar”
“Jangan marah gitu dong. Bunda jadi sedih disini”
Beberapa isi pesan membuat isi kepalaku jadi merangkai sebuah kronologis. Ada beberapa air mata yang kubayangkan jatuh mengiringi potongan pesan itu. Meski cuma pesan satu arah, namun cukup membuat beberapa kali aku menahan nafas. Aku menikmatinya. Niat isengku berbuah dilema. Aku lanjutkan membaca:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun