Mohon tunggu...
Dahnial Ilmi
Dahnial Ilmi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

hanya ingin menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Toleransi Salah Kaprah dan Bagaimana Pendahulu Mencontohkan Sikap Toleransi yang Baik dan Benar

12 Desember 2013   14:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:00 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menjadi warga negara berpenduduk beragam seperti Indonesia, terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama tentulah sangat diperlukan sikap toleransi demi terciptanya kerukunan hidup bersama. Isu SARA merupakan suatu hal yang sangat riskan memicu konflik antar golongan dan amat sering terjadi di Indonesia. Salah satunya yang paling rentan terjadi pergesekan ialah perselisihan antar umat beragama.

Toleransi didefinisikan sebagai istilah yang digunakan dalam konteks sosial, budaya, dan agama berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam praktik kesehariannya toleransi haruslah dilakukan secara dua arah oleh setiap orang maupun golongan terhadap orang atau kelompok yang berada di luar golongannya. Saling menghormati, menghargai, dan tidak saling menggangu. Dalam Islam toleransi merupakan suatu perilaku yang wajib dimiliki oleh tiap-tiap pemeluknya. Sangat jelas aturan dan batasannya seperti yang Allah firmankan, “lakum diinukum waliyadiin; bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.

Namun melihat fenomena yang tengah menjadi trend saat ini, banyak orang baik itu yang Muslim maupun non-Muslim telah salah dalam mempersepsikan toleransi sehingga melanggar aturan serta batas-batas bertoleransi dalam beragama seperti yang diajarkan dalam Islam. Firman Allah dalam Al Qur’an surah Al Kafirun yang berbunyi “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” secara tegas mengatur umat Islam untuk hidup bertoleransi terhadap umat agama lain dengan tidak mencampur adukkan, menggabungkan diri dalam ibadah agama lain, hingga menggadaikan keyakinan. Rasulullah Muhammad Salallahu’alaihi wa sallam pernah mengatakan bahwa beliau tidak menyukai umatnya yang ikut-ikutan melakukan kebiasaan/ritual agama lain. Jika ada segolongan umatnya yang melakukan hal tersebut beliau menegaskan, maka ia sudah termasuk bagian dari umat itu. Tidak cukupkah hari raya dan ritual keagamaan yang sempurna dan penuh hikmah milik umat Islam sendiri? Sehingga menggadaikan aqidah dengan ikut-ikutan bercampur baur bersama umat agama lain merayakan dan melakukan ritual dalam agama mereka dengan alasan bertoleransi.

Dengan dalih menghormati pemeluk agama lain jangan sampai kita selaku umat Islam sampai menyalahi aturan yang sudah Allah berikan dan Rasulullah ajarkan. Menghormati pemeluk agama lain tidak harus dilakukan dengan cara ikut menggabungkan diri dalam ibadah mereka dan memberikan ucapan selamat dalam perayaan ibadah mereka. Jelas kita berbeda, dan sudah sepantasnya kita menyadari dengan baik dan benar perbedaan itu. Banyak cara lain yang bisa kita lakukan untuk menghormati umat agama lain. Toleransi itu sejatinya tidak bisa dilakukan hanya oleh satu pihak. Demi terciptanya kerukunan antar umat beragama toleransi harus dan mutlak diterapkan oleh tiap-tiap pihak. Teruntuk umat di luar Islam, dengan adanya aturan jelas dalam Islam yang melarang umatnya membaur dan turut serta merayakan hari raya ataupun tradisi ritual di luar dari Islam maka bertoleransilah kepada umat Islam, hormati keyakinan umat Islam dan hargai aturan dalam agama Islam. Sesungguhnya toleransi itu baru bisa dikatakan bertoleransi jika dilakukan oleh masing-masing pihak. Dengan tidak bisanya umat Islam ikut berbaur dalam perayaan tersebut, bukan berarti itu merupakan sebuah sikap tidak hormat dan menghargai agama lain. Tapi begitulah Islam mengajarkan umatnya untuk tidak terlalu ikut campur terhadap hal-hal yang bukan adat kebiasaannya. Maka hormati dan hargailah aturan yang harus dijalankan oleh umat Islam. itu yang bisa dikatakan saling bertoleransi.

Sejarah Mengajarkan Mulianya Islam dalam Bertoleransi

Sesungguhnya Islam mempelopori sikap toleransi yang indah jauh-jauh hari sebelum aliran liberalisme dan pluralisme diorbitkan. Mengingat kisah-kisah heroik para pejuang Islam terdahulu seperti Umar bin Khatab yang menaklukkan Jerusalem dengan damai, memuliakan penduduk kota Jerusalem, memuliakan tawanan perang, menghormati keyakinan penduduk kota Jerusalem dengan tidak memaksakan Islam kepada mereka dan membiarkan rumah-rumah Ibadah agama lain tetap tegak. Pada saat itu diceritakan ketika kunci kota diserahkan oleh Patriarch Sophronius kepada Khalifah Umar. Saat Khalifah Umar memasuki kota dan menginspeksi sebuah gereja, tibalah waktu sholat. Sophronius menawarkan beliau untuk sholat di gereja tersebut. Namun dengan bijak Khalifah Umar menolak, karena beliau takut nantinya hal itu akan disalah artikan di kemudian hari oleh umat Islam dan ikut-ikutan melakukan ibadah di gereja. Khalifah Umar memilih melaksanakan sholat di sebuah tanah lapang di depan gereja yang nantinya dibangun menjadi sebuah Masjid, yang diberi nama Masjid Umar (Masjid Kubah Emas). Pada masa-masa setelah itu Jerusalem sangat terkenal sebagai kota damai dalam keberagaman. Islam, Kristen, Yahudi, semua hidup berdampingan. Masjid, Gereja, Synagogue, berdiri tegak menandakan betapa rukun dan tolerannya penduduk kota tersebut di masa pemerintahan khalifah Umar. Sisa-sisa sejarah ini hingga kini masih dapat kita temui berupa Masjid Al Aqso, Masjid Umar, Gereja Holy Sepurhcre, dan Tembok Ratapan yang saling berdekatan. Hingga akhirnya Jerusalem kembali jatuh ke tangan musuh dan berada dalam kekuasaan tirani.

Begitu juga dengan Sholahuddin Al Ayubi atau yang lebih populer di Eropa dengan nama Saladin. Ksatria Islam kedua yang kembali merebut tanah Palestina dengan menjunjung tinggi sikap toleransi kepada para penduduk Palestina yang non Muslim. Sholahudin Al Ayubi memasuki Palestina dengan membawa kedamaian. Sikap Saladin yang lemah lembut terhadap penduduk Kristen dan Yahudi di Palestina sontak membantah semua anggapan mereka terhadap kabar yang beredar akan kekejaman Sholahudin Al Ayubi. Begitupula dengan penaklukkan Konstantinopel oleh Muhammad Al Fatih. Begitu masyhur namanya dipuji tak hanya oleh Muslim, tapi juga oleh pihak musuh pada masanya. Seorang Sultan yang turun langsung memimpin pasukan dalam penaklukan Konstantinopel, diakui kecerdikannya dan dikagumi kepemimpinannya.

Meskipun sebelumnya di Andalusia terjadi pembantaian dan genosida terhadap umat Islam yang dilakukan oleh pasukan salib, hal itu tidaklah serta merta membuat Al Fatih menaruh dendam dan berniat akan melakukan hal yang sama kepada rakyat Konstantinopel. Saat Konstantinopel berhasil ditaklukkan, Al Fatih memasuki kota dengan damai, ia memerintahkan pasukannya untuk memasuki setiap pelosok kota dan melindungi penduduk tanpa ada kekerasan dan permusuhan. Al Fatih memang dinubuatkan oleh Rasulullah sebagai sebaik-baiknya pemimpin, dan pasukannya adalah pasukan yang sebaik-baiknya pasukan. Bayang-bayang ketakutan penduduk Konstantinopel serta merta musnah saat Al Fatih menyatakan bahwa hidup, harta, dan nasib mereka adalah bagian dari kaum muslimin. Al Fatih memberi kebebasan, toleransi, dan hak yang sama kepada siapa saja yang hendak tinggal di kota Konstantinopel yang kemudian berubah nama menjadi Islambul, namun selanjutnya diubah lagi oleh Mustafa Kemal Attaturk menjadi Istambul.

Begitulah semestinya toleransi yang harus diterapkan oleh umat Islam. Bagaimana Umar yang menolak tawaran untuk sholat di gereja karena takut nantinya akan ditiru oleh penerusnya. Namun kini banyak penerus generasi Islam yang salah kaprah memaknai toleransi dalam beragama. Batasan dan aturan yang sudah ada dibantah oleh mereka dengan teori-teori tak berdasar yang tak jelas dari mana sumbernya. Menghormati perbedaan bukanlah dengan memaksakan untuk menyamakan perbedaan itu. Menghargai agama lain tidak harus dengan mengucapkan selamat dan ikut merayakan hari raya agama lain, kita berbeda dan seharusnyalah kita menyadari perbedaan itu dengan baik dan benar. Cukuplah bagaimana sikap kesatria Khalifah Umar, Sultan Solahudin Al Ayubi, dan Sultan Muhammad Al Fatih menjadi contoh terbaik tentang bagaimana seharusnya sikap toleransi itu diterapkan. Mereka adalah beberapa contoh pemimpin dan panutan yang patut dicontoh oleh kita semua terutama umat Islam dalam hidup bertoleransi antar umat beragama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun