Mohon tunggu...
Cucuk Espe
Cucuk Espe Mohon Tunggu... Penulis - pecinta seni yang menulis

esais, sutradara https://id.wikipedia.org/wiki/Cucuk_Espe

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memperingati Kematian Pancasila

9 Juni 2017   23:30 Diperbarui: 10 Juni 2017   22:14 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wajar, jika Pancasila lenyap dari bumi Indonesia. Selanjutnya, jika dasar negara saja telah lenyap maka logis jika Indonesia juga lenyap. Dengan demikian, kita merasa terasing di bumi yang kita diami sejak kecil. Itu hal yang wajar. Siapa yang membunuh Pancasila secara perlahan namun pasti itu? Jawabnya, kita sendiri! Bahwa seluruh komponen bangsa ini secara simultan atas nama reformasi dan modernisasi telah membunuh Pancasila tanpa sadar.

Sekarang baru heboh. Terlambat. Pancasila telah terkubur teramat dalam di belantara kultur modern. Pancasila telah menjadi belulang, berserakan diantara tulang-tulang ideologi usang. Ketuhanan telah berganti keduniaan menghasilkan koruptor-koruptor. Kemanusiaan telah menjadi kanibalisme yang menghasilkan kebengisan dan kriminalitas. Persatuan telah menjadi persengketaan dan tawuran. Keadilan telah diganti dengan kedengkiran dan ke-iri-an. Dan kerakyatan telah digeser oleh daulat kapitalis yang berwajah borjuis.

Nah! Pancasila telah mati.

Apalagi yang akan kita tegakkan? Apakah cukup hanya dengan lembaga inferior semacam unit kerja penggali nilai-nilai Pancasila? Kita patut bertanya, jika sudah digali; untuk apa? Di sekolah-sekolah kita sama sekali tidak ada Pancasila. Secara kronologis ‘pembunuhan’ Pancasila terlihat dari sajian mata pelajaran. Di masa lalu, ada Pemdidikan Moral Pancasila (PMP), dimana sila Pancasila dijabarkan secara detail dan disosialisasikan dalam aneka bentuk simulasi. Ketika era PMP selesai, diganti dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganaan (PPKn). Beruntunglah masih ada unsur Pancasila yang tersirat dalam mata pelajaran tersebut. Sekarang, Pendidikan Kewarganegaan (PKn) saja, tidak perlu lagi Pancasila.

Anak-anak kita tidak perlu lagi mengenal Pancasila yang ribet. Toh jika hafal Pancasila tidak menjamin mendapatkan pekerjaan yang layak. Memahami Pancasila tidak menjamin masa depan pribadi anak bangsa yang cerah, Untuk apa susah payah mempelajari Pancasila?

Kondisi demikian telah benar-benar terjadi di Indonesia. Dan sangat wajar jika tahun 2017 ini, terlalu banyak anak-anak bangsa yang asing dengan Pancasila. Akibatnya layaknya orang tua yang selalu lamban berpikir, banyak pihak lantas kelabakan. Hari lahir Pancasila pun ditentukan dan di-merahkan tanggalnya. Agar sekolah libur dan upacara. Apakah selesai dengan kegiatan itu? Cukup seremonial sekali keputusan itu. Libur ya..tetap libur, plesir kemana-mana. Sementara Pancasila tetaplah asing secara kultural.

Lantas Indonesia mau menjadi negeri yang bagaimana?

Jawabnya; negeri belang-bonteng yang ‘gak ngalor gak ngidul’ (Jawa: tak punya pendirian). Cermati saja, anak-anak kita mendadak menjadi sangat Korea, lantas Jepang, juga India. Hobinya nongkrong di warung-warung atau kedai kopi setiap malam. Atau konvoi ala anak urban di Amerika tahun 60an (ketinggalan sekali kita?). Secara kultural, bangsa ini telah kehilangan identitas sebagai negara yang pernah menjadi rujukan tata nilai ketimuran. Lagi-lagi wajar! Karena Indonesia yang membunuh dasar negaranya sendiri.

Jadi untuk apa heboh Pancasila. Jargon; Saya Indonesia, Saya Pancasila! Itu keliru dari banyak sisi. Bagaimana jika ‘Saya Pancasila, tetapi bukan Indonesia?”. Dari sisi bahasa saja, tentu mengundang tertawa. Mestinya, Saya Indonesia, Saya Pancasilais! Dimana pakar bahasa kita yang hebat-hebat itu? Mencermati kekeliruan nasional kok diam saja? Ini bukti jika memang kita sudah tidak peduli lagi dengan Indonesia. Orang Jawa bilang; wes sakmuni-munine (Jawa: yang penting bunnyi).

Tahun 2017, dimana untuk pertama kalinya hari lahir Pancasila diperingati dan dibuat libur nasional, secara implisit merupakan hari kematian Pancasila. Memang pantas jika memperingati kematian harus dengan rasa haru, duka mendalam, dan memberhentikan segala kegiatan alias libur nasional. Lebih sekarang, mulailah biasakan diri dengan tata kehidupan yang brutal, miskin nilai, korup di negeri tercinta ini. Biasakan diri melihat ketidakberesan dan akal-akalan antara sesama.

Siapkah kita? Harus siap!***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun