Mohon tunggu...
clara dania
clara dania Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ekologi Politik

24 Agustus 2017   01:21 Diperbarui: 24 Agustus 2017   02:13 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ranah ekologi politik, sejak permulaannya selama kurun waktu 1970an dan 1980an, telah berkembang dengan stabil sehingga mengisi tempat terkemuka dalam studi lingkungan. Secara sederhana, dua kontribusi utama dari ekologi politik dapat diringkas pertama: sebagai perhatiannya kepada 'skala', yang memungkinkan para ilmuwan untuk mengidentifikasi dan menganalisa rantai yang menghubungkan dinamika lingkungan dengan kekuatan-kekuatan sosial, politik, budaya dan ekonomi pada berbagai situs konseptual dan fisik, dan kedua: fokusnya yang konsekwen pada 'kuasa' dalam berbagai perwujudannya sebagai kunci pusat untuk memahami bagaimana gagasan tentang kesinambungan diciptakan dan disebarkan (Neumann 2005; Robbins 2003). 

Dalam catatan singkat ini, tanpa mengabaikan kontribusi penting ini, saya berpendapat bahwa politik ekologi sejauh ini belum memenuhi janjinya karena gagal memberikan 'peta jalan' -- ideologis maupun operasional - kearah pembangunan ekonomi berkelanjutan yang adil dan merata. Kegagalan ini berasal dari kelemahannya dalam bidang ekonomi politik (political economy) yang pada awalyna menjadi tonggak dasar politik ekologi tetapi selanjutnya dikalahkan kepentingannya oleh politik dan ekologi.

Bidang ekologi politik muncul ketika para ahli lingkungan mulai mengandalkan konsep-konsep ekonomi politik yang berasal dari kepedulian strukturalis dan materialis. Pendekatan yang dihasilkan membantu mengungkapkan kaitan-kaitan antara dinamika lingkungan setempat dengan proses politik dan ekonomi yang lebih luas (Peet and Watts, 1996; 2004). Terobosan analitis ini memungkinkan para ahli ekologi politik untuk menelusuri dengan teliti, misalnya, kaitan-kaitan antara masalah degradasi tanah setempat dan masalah-masalah lebih luas seperti kemiskinan, ketunakismaan (landlessness), keterbelakangan, hubungan neo-kolonial, dan marjinalisasi politik dan ekonomi (Blaikie and Brookfield, 1987). Berangkat dari ranah studi pembangunan kritis (critical development studies), studi ekologi politik menilai bahwa keputusan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa dipahami hanya dari sudut pandang teknis yang memprioritaskan efisiensi. 

Sebaliknya, seperti pendapat Adams, "kehijauan' dari perencanaan pembangunan akan ditemukan bukan dalam kepeduliannya dengan ekologi atau lingkungan di dalam dirinya, tetapi dalam keprihatinannya dengan masalah kekendalian, kekuasaan, dan kedaulatan" (1990: 253). Penemuan-penemuan utama teori ekologi politik mengutarakan bahwa pola-pola pengembangan sumber daya muncul dari interaksi antara sistem alam (misalnya kualitas, kuantitas, dan lokasi air) dan sistem sosial (misalnya penyebaran kekuasaan ekonomi, sosial, dan politikdidalam suatu masyarakat).

Banyak literatur telah dicurahkan untuk menggambarkan batas-batas ekologi politik, yang lebih baik digambarkan sebagai suatu 'pendekatan teori' daripada sebuah 'teori', untuk mengasah kategori-kategori konseptualnya yang dipinjam terutama dari geografi dan antropologi, dan untuk memperdalam analisisnya dari perubahan lingkungan kontemporer di seluruh dunia. Selama periode ini, beberapa kritik telah diarahkan pada pustaka ekologi politik.

Mengingat sifatnya yang lintasdisiplin dan integratif, sebagian besar kritik ini telah dirumuskan dalam bentuk 'terlalu banyak'nya atau 'tidak cukup'nya komponen konseptual atau disiplin tertentu. Beberapa pengamat berpendapat bahwa ekologi politik telah tersesat terlalu jauh ke arah analisis kekuasaan dengan mengorbankan pemahaman ekologi yang jelas dan rinci (Vayda and Walters, 1999; Zimmerer, 2000). Sebagai contoh, Walker (2005) menantang kemampuan 'ekologis' dari ekologi politik, dengan mengeluh bahwa para pendukungnya terlalu asyik berpikir tentang pemahaman struktur sosial dan tidak memberikan perhatian seperlunya untuk memahami dan mendokumentasikan perubahan lingkungan, yang tidak selalu merupakan akibat dari sumber-sumber ekonomi dan politik. 

Di sisi lain, para ilmuwan terutama yang berasal dari geografi mengkritisi teks-teks klasik tertentu dalam ekologi politik sebagai kurang dipolitisasi, dengan kata lain karena tidak memberikan perhatian eksplisit pada 'politik', dalam arti Marxisnya yaitu kritik terhadap kapitalisme. Peet dan Watts, misalnya, mengkritik karya kunci Piers Blaikie Land Degradation and Society ('Kerusakan Lahan dan Masyarakat') sebagai terlalu banyak berfokus pada lahan/tanah dan kurang memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan pembangunan kapitalis di daerah-daerah pinggiran. 

Penulis-penulis lain mengangkat masalah relevansi kebijakan politik ekologi, dengan menekankan kebutuhan untuk membuat wawasan yang bermanfaat tidak hanya untuk sesama akademisi, tetapi juga untuk para praktisi dan pembuat kebijakan (Neumann 2008). Penting untuk dicatat bahwa proses ini telah mengakibatkan debat paralel di kalangan ahli ekologi politik tentang apa artinya menjadi ahli ekologi politik dan apakah ranah ini kurang memiliki sistematika. Selama ini belum ada pemecahan yang jelas, sehingga uraian Robbins tentang ekologi politik sebagai (hanya) "sesuatu yang dilakukan orang" (2004:13) tampaknya mencerminkan konsensus umum.

Walaupun beberapa ekologis politik telah membahas isu ini, mereka sekali lagi hanya membatasi diri pada dimensi ekologi. Argumen Ramachandra Guha (2000) dan Martinez-Allier (2003) tentang 'environmentalismenya kaum miskin' sebagai contoh, mengakui bahwa rakyat miskin memiliki konsep dan praktek etika lingkungan yang berbeda dengan orang kaya karena naluri 'konservatif' mereka. Dengan kata lain, bahwa orang miskin adalah pemerhati lingkungan karena kehidupan dan ketahanan mereka bergantung pada pengawetan bukan hanya dari lingkungan fisik di sekitar mereka (contoh: tanah untuk pertanian) tetapi juga mata pencaharian nafkah dari lingkungan itu (contoh: cara-cara bertani tradisional). Akan tetapi, ini hanya menggambarkan sebagian saja dari kenyataan. 

Aspek yang tidak diuraikan jelas oleh Guha dan Martinez-Alier, dan yang selalu gagal dikoreksi kaum ekologis politik, adalah dimensi pembangunan dalam etik konservatif ini. Adalah sebuah kesalahan jika kita mengasumsikan bahwa orang miskin mengawetkan sumber alam sematamata untuk berjuang bertahan hidup. Perjuangan bertahan hidup dalam konteks ini bukanlah sebuah tujuan sendiri. Lebih dari itu, perjuangan bertahan hidup adalah cara untuk mempertahankan aspirasi pembangunan. Memilih konservasi sambil menolak proyek-proyek pembangunan tertentu tidak berarti penolakan pembangunan secara umum .

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun