Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menyajikan Agnes Monica Dalam Terang dan Remang

16 April 2012   01:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:34 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Menurut Saya menulis tak jauh beda dengan mengungkapkan hasil dari apa yang kita pandang lalu menceritakannya dalam bentuk tulisan. Cara pandang itu tentu saja tidak hanya melibatkan organ tubuh yang disebut mata saja, namun dari berbagai dimensi yang mampu dirangkum untuk menghasilkan laporan pengamatan.

Mengingat dalam proses memandang ini tak bisa lepas dari subyek siapa yang memandang, obyek apa yang dipandang serta segala kondisi yang mempengaruhi hasil perekaman/pemotretan dalam proses itu, maka hasil akhir yang berupa sebuah tulisan akan bergantung pada faktor-faktor tersebut.

Subyek jelas adalah siapa yang hendak menuliskan. Peranannya akan sangat signifikan terhadap hasil tulisan. Pria pasti akan berbeda dengan wanita, pejabat pasti berbeda dengan rakyat, wartawan pasti berbeda dengan relawan, oposisi pasti berbeda dengan koalisi, penggemar pasti berbeda dengan pencela, humanis pasti berbeda dengan teroris, filantropis pasti berbeda dengan pebisnis dan sebagainya.

Obyek tentu saja sangat dibutuhkan dalam penulisan. Apa yang mau ditulis kalau obyeknya tak ada? Apa yang ingin ditulis bisa jelas bentuknya baik aktif ataupun pasif. Misalnya tentang sosok orang, tempat, kegiatan dan lain-lain.

Nah, faktor selanjutnya yaitu segala kondisi yang mempengarungi proses cara pandang hingga merekam serta menuliskan ini mau tidak mau akan pula berpengaruh dan kait mengkait dengan subyek penulis dalam kepentingannya menyajikan obyek yang ditulis.

Seperti biasa, agar rekan-rekan tak kebingungan dengan apa yang saya celotehkan (meski biasanya sih, tetep bingung..hehe) akan lebih baik jika diberikan contoh yang mungkin bisa sedikit menjadi penghubung pikiran sederhana yang hendak saya sampaikan.

Contoh mudah ketika beberapa orang sama-sama menulis sosok seorang gadis (ciee..biar nggak ngantuk..) yang sebelumnya tidak kita kenal. Agar simpel katakan saja dua orang laki-laki muda yakni si Badu (penyuka puisi) dan si Budi (penyuka ilmu alam) yang  sama-sama menulis tentang sosok fisik seorang gadis selebrities yang sengaja dihadirkan pada mereka untuk ditulis. Misalnya saja, Agnes Monica yang khusus diundang untuk itu. Badu dan Budi tentu saja tidak tahu bahwa yang didatangkan untuk mereka tulis sosok fisiknya itu adalah Agnes Monica. Dan gadis ini ditampilkan untuk mereka tulis dalam sebuah ruangan yang minim pencahayaan/remang-remang. Hasil tulisan pertama mereka dalam kondisi ini adalah:

Badu : Didepanku adalah seorang wanita, aku tahu dari aroma tubuhnya. Wow, bodinya oke, terlihat dari siluetnya.Rambutnya bergerai panjang. Wajahnya lumayan cantik sepintas terlihat dari kulit wajahnya yang putih mengalahkan keremangan.

Budi : Hm. Jelas dia wanita. Dari bau badannya yang wangi. Bodynya oke, terlihat dari komposisi pantat, pinggang dan bagian atas yang ramping. Tidak gemuk dan tidak kurus, pas. Kuperkirakan seluruh kulitnya mulus, terwakili dari kulit punggungnya yang lumayan terbuka. Meski gelap, bagian itu memantulkan cahaya. Rambutnya panjang bergerai. Wajahnya aku tak bisa memastikan, tapi aku yakin dia cantik juga.

Nah, itu karena mereka sebagai subyek yang berbeda menuliskan sosok Agnes Monica meski dalam kondisi sama (remang-remang) namun posisi pandang mereka berbeda. Badu dari depan dan Budi dari belakang. Ketika posisi mereka saling menggantikan, mungkin hasil tulisan mereka akan saling melengkapi hingga  hampir menuju pada sebuah kesimpulan.

Demikian juga ketika lampu ruangan dinyalakan hingga kondisinya terang benderang, kecenderungan bagi mereka adalah lebih mudah memandang, merekam/memotret, mencatat dan menuliskan. Hasilnya bisa sama ataupun berbeda tentu saja, tergantung subyektifitas mereka dalam memandang fisik wanita. Dan tak menutup kemungkinan juga ketika kondisi ruangan itu terang benderang, mereka malah tidak mampu menuliskan apa-apa, karena lebih dulu berdebar dan pingsan dengan pemandangan didepannya. Itu tergantung obyek didepannya dalam kondisi apa tentu saja, haha.. (intermeso).

Dari contoh sederhana itu salah satu penerapannya misalkan saja saat kita membaca sebuah tulisan, katakan saja terkait opini tentang politik, kebijakan, atau tentang presiden lah. Ketika ada tulisan yang menyatakan bahwa “ SBY Payah”, “SBY Hebat”, “SBY Biasa saja”, “SBY Mendingan” dan sebagainya, kita bisa terlebih dahulu menilai dengan berangkat pada siapa yang menulis, obyek yang ditulis, kondisi lain yang mempengaruhi serta berbagai referensi hingga akhirnya berusaha menyimpulkan apa yang sebenarnya tepat dituliskan.

Mudah-mudahan dengan sedikit teori kecil subyektif saya terkait proses penulisan ini, paling tidak kita menjadi lebih komperehensif dalam membaca sebuah tulisan. Berusaha untuk memahami dalam menilai siapa yang menuliskan, apa yang ditulis serta kondisi yang mempengaruhinya. Demikian juga ketika dibalik posisinya, kita sebagai penulisnya.

Salam.

.

.

C.S.

Suka membaca & belajar menulis dalam terang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun