Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Roro Mendut (Bagian 6)

28 Agustus 2017   08:20 Diperbarui: 29 Agustus 2017   00:01 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Info Paling Cucok

Roro Mendut menggeser tubuhnya lebih rapat lagi sambil menatap tajam ke arah Krisna. Pasti ada sesuatu yang terjadi sehingga membuat Krisna begitu tertekan.

Akhirnya Krisna menceritakan semua kejadian yang dialaminya sepanjang hari itu kepada Roro Mendut. Setelah bercerita, Krisna lalu memeluk Roro Mendut dengan erat, persis sama seperti ketika Krisna memeluk ibunya ketika masih kecil. Pelukan ibu itu selalu bisa mendamaikan suasana hati. Ah, seandainya ibu masih ada....

Roro Mendut sadar kalau hari ini sangat berat bagi Krisna. Dia lalu memeluknya dengan erat, mencium keningnya dan membelai rambut Krisna.

Suasana di dalam kamar lalu menjadi hening, melebihi keheningan di luar rumah. Cicak-cicak yang terlihat merayap di langit-langit kamar seketika tertegun. Keheningan membuat mereka takut. Dengan perlahan cicak-cicak itu lalu meninggalkan kamar itu melalui celah yang terdapat pada dinding papan kamar itu. Lalu sayup-sayup terdengar suara ngorok lembut dari Krisna yang ternyata sudah tertidur dipelukan Roro Mendut. Roro Mendut tersenyum lalu mencium hidung Krisna. "Tidur nyenyaklah sayang. Aku akan selalu menjagamu..."

***

Dua minggu sudah berlalu sejak Krisna melarikan diri ke daerah pinggiran Muntilan ini. Kini Krisna merasa lega. Sepertinya Imam dan anak buahnya tidak dapat mengendus keberadaan Krisna dan Roro Mendut. Seperti rencana semula, Krisna sudah memutuskan untuk tinggal di pinggiran desa ini. Dia akan bertani dengan menanam sayuran untuk menopang kehidupan mereka, sama seperti ketika dia masih kecil dulu.

Uang hasil penjualan patung Roro Mendut yang kemarin itu juga bisa menjadi bekal hidup untuk dua tahun ini. Dengan demikian dia bisa fokus untuk mengukir dengan tenang tanpa harus memikirkan biaya hidup. Apalagi kini ada Roro Mendut bersamanya. Roro Mendut ternyata mampu memberi spirit dan energi yang tidak habis-habisnya bagi Krisna untuk bekerja dan "bekerja...."

Sore hari itu Krisna terlihat mengukir sebuah replika kisah sejarah seperti yang terdapat pada relief di candi yang dilihatnya kala itu. Entah mengapa sejak kehadiran Roro Mendut bersamanya, Krisna merasa kecepatan dan kualitas ukirannya jauh lebih bagus dari sebelumnya. Setelah menyeruput kopinya, Krisna lalu berhenti bekerja dan menatap dalam-dalam pada ukiran tersebut. Matanya terpana melihat hasil pekerjaan yang baru saja dikerjakannya sekitar sepuluh hari yang lalu itu. Biasanya dia akan membutuhkan waktu stidaknya dua bulan untuk mencapai progres pekerjaan seperti ini. Krisna lalu tersenyum sumringah, jelas ini karena faktor Roro Mendut yang selalu menginspirasinya.

Krisna lalu mengamati relief ukiran kayu tersebut. Dia lalu terkesima melihat tokoh-tokoh yang terdapat pada relief yang seperti sebuah untaian cerita yang utuh itu. Ada sosok seorang petinggi yang duduk diatas kudanya. Disebelah kudanya tersebut berdiri tegak seorang patih dengan sorot mata tajam sambil melipat tangannya. Disekeliling mereka terlihat belasan pengawal yang tampak seperti tukang pukul dengan mata garang. Di depan mereka terlihat sepasang kekasih yang duduk diatas tanah dengan wajah memelas penuh ketakutan.

Krisna kemudian melotot menatap ukiran tersebut. "Hah!" teriaknya kaget. Tokoh-tokoh yang terdapat di relief itu sangat dikenalinya! Penunggang kuda itu wajahnya mirip sekali dengan pak Raharja, pejabat tinggi dari jakarta yang memesan patung Roro Mendut. Patih yang berdiri disamping kuda itu sebelas dua belas dengan wajah pak Imam!

Orang yang duduk diatas tanah dengan wajah ketakutan itu mirip sekali dengan Roro Mendut dan dirinya sendiri! "Jiah!" teriaknya sambil melemparkan ukiran tersebut keatas bara api pembakaran sampah. Tak beberapa lama kemudian nyala api dari sampah mulai menjilati ukiran kayu tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun