Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

La Turbie dan Anomali AS Monaco

19 Mei 2017   14:33 Diperbarui: 19 Mei 2017   18:19 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesta kemenangan AS Monako/BBC.com

Monako itu ibarat sepotong surga kecil yang jatuh ke bumi. Negara kota berdaulat dengan luas wilayah tak lebih dari 202 km persegi, menjadi yang terkecil kedua setelah Vatikan. Namun di balik ukurannya yang mungil itu, berbagai berkah tergurat di sana.

Kasino dan turisme menjadi daya tarik yang menghidupkan negara yang memiliki warna bendera seperti Indonesia. Bila Indonesia punya Sang Saka Merah Putih, Monaco menyebutnya “Les Rouge et Blanc”. Mulai dari ajang balap formula satu, berbagai event reguler tahunan, hingga latar sejumlah film kondang James Bond seperti Never Say Never Again, Golden Eye dan Casino Royale mengambil tempat di sana.

Kontras dengan Indonesia yang membentang luas dengan garis pantai terpanjang di dunia, Monako mengkonsentrasikan segala sesuatu dalam ruang lingkup yang sempit itu. Tentu tak perlu heran bila disebut negara terpadat di dunia. Dibanding Indonesia, adalah sebuah kejanggalan dari negara mungil di Eropa Barat itu bisa mengguncang dunia dengan serba neka kemajuan, termasuk dari klub sepak bola kebanggaan mereka, AS Monako.

Hari-hari ini nama AS Monako ramai disebut setelah menggusur dominasi klub kaya baru Paris Saint-Germain menjadi kampiun Ligue 1. Dengan satu laga tersisa, kemenangan di kandang Saint-Etienne beberapa waktu lalu lebih dari cukup mengakhiri penantian 17 tahun sekitar 37 ribu lebih penduduk Monako (berdasarkan sensus 2015).

Meski begitu pesta kemenangan Monaco ini tidak perlu terlalu dibesar-besarkan. Ini bukan kali pertama mereka menjadi juara Prancis. Delapan kali juara Ligue 1 cukup untuk mengatakan bahwa tradisi sepak bola di sana sudah berakar.

La Turbie

Melihat bagaimana Monako membangun sepak bolanya gelar tersebut bukan sesuatu yang berlebihan. Terakhir kali Monako memenangi Ligue 1 ada sejumlah sosok yang kemudian menjadi bintang di timnas Prancis seperti Fabien Bartez, David Trezeguet dan Willy Sagnol.

Kombinasi apik pemain muda dan pemain senior kembali berbuah manis. Di balik kegemilangan Monako musim ini patut kita sebut dua nama yang tumbuh dari generasi berbeda. Ada kemilai pemain 18 tahun, Kylian Mbappe dan kembangkitan kembali Radamel Falcao yang sudah berusia nyaris dua kali lipat usia Mbappe.

Falcao, 31 tahun sempat tenggelam saat berlabuh di Inggris bersama Chelsea dan Manchester United. Hanya mampu mencetak lima gol dalam 36 penampilan, tidak berlebihan bila pemain asal Kolombia itu harus menerima nasib dibuang ke sana ke mari. Falcao kembali bertaji saat berlabuh lagi di Stade Louis 11 dengan 24 gol dan empat asis sepanjang musim ini.

Sementara Mbappe turut berkontribusi dengan 15 gol. Kehadirannya di pentas Eropa dengan enam gol yang menghantar Monaco hingga ke babak semi final Liga Champions membuat sejumlah klub top Eropa tidak bisa tidak berpaling padanya. Meski  akhirnya tersandung di kaki Juventus, Monako sudah membuat Tottenham Hotspur, Manchester City dan Borussia Dortmund bertekuk lutut.

Prestasi Monako dibentuk dengan melewati jalan yang telah digariskan. Lima tahun lalu mereka berada di posisi delapan di Ligue 2. Rentang dua tahun pada periode tersebut Monako keluar masuk zona degradasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun