Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Politik

MoU Helsinki dan Hilangnya Sebuah Kepastian Aceh

30 Juli 2017   19:01 Diperbarui: 30 Juli 2017   23:03 6960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Chaerol Riezal

Pagi itu (15 Agustus 2005), Rakyat Aceh bangun tidur dalam keadaan mewujudnya sebuah kebahagiaan yang dipadukan dengan rasa kekhawatiran dan kesedihan. Begitu mendapat kabar bahwa GAM dan RI telah berdamai, tentu sebagian Rakyat Aceh menyambut baik akan perdamaian itu. Betapa tidak, konflik bersenjata yang telah membara selama puluhan tahun itu, akhirnya dapat dipadamkan juga. Tetapi dibalik kabar perdamaian antara kedua belah pihak itu, ternyata menyisakan kekhawatiran yang tak dapat dihindarkan lagi.

Ada kesedihan, gelisah, galau, kelu dan bahkan mega musibah Aceh yang belum genap setahun kala itu, masih segar dalam ingatan Rakyat Aceh. Dari kesedihan itu juga dapat diturunkan beberapa indikatornya, seperti korban konflik, logistik perang, rehabilitas pasca konflik dan mega musibah Aceh, mendesain ulang wajah Aceh, bahkan sampai di koridor isi perjanjian GAM dan RI. Tetapi kabar tentang perdamaian itu, sebenarnya telah menurunkan sedikit tidaknya penderitaan Rakyat Aceh.

Benar bahwa tak ada letupun senjata atau moncong bedil yang menjadi tontonan sehari-hari semasa konflik itu. Memang, tetapi jangan lupa betapa stasiun radio bersama media cetak lainnya telah bertindak untuk mengabarkan berita, bahwa konflik bersenjata di Aceh telah berakhir diatas hitam dan putih. Perdamaian antara GAM dan RI itu menjadi berita utama sepanjang hari, tak hanya ditingkat lokal dan nasional saja tetapi juga dibeberapa negara internasional.

Dapatkah kita bayangkan, sekiranya era modern saat ini sudah berkembang pesat di tahun 2005 dengan berbagai alat kecanggihan teknologi informasi seperti saat ini, sungguh tak bisa kita bayangkan betapa riuhnya masyarakat dunia maya untuk membahas MoU Helsinki. Itu pasti. Hanya MoU Helsinki, GAM, RI, Hasan Tiro, dan bukan orang meninggal.

Barangkali sudah jadi kodratnya Aceh menjadi pusat perhatian ditingkat nasional dan internasional. Tetapi dibalik kodrat itu, Aceh selalu diganggu oleh negaranya sendiri dengan berbagai tipu daya dan juga percampuran tangan banga asing, utama soal Syariat Islam dan sumber daya alam di Aceh. Teruntuk Syariat Islam, saya sudah katakan berulang kali bahwa selain Aceh yang mempunyai hak istimewa khusus, rasanya sangat sulit bagi daerah lainnya untuk menjalankan Syariat Islam di Indonesia yang notabene negara republik.

Ada sejumput permakluman. Hasan Tiro suka atau tidak suka adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam tubuh GAM. Kesuksesan Hasan Tiro membangun kekuatan GAM baik di Aceh ataupun diluar negeri, percaya atau tidak sebenarnya banyak berutang budi pada DI/TII Aceh pimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh. Dan liputan yang berhasil direkam tentang keterlibatan serta peranan Hasan Tiro dalam peristiwa DI/TII Aceh itu, sedikit banyaknya sudah dibukukan oleh sejarawan.

Dari situlah sadar atau tidak Hasan Tiro telah banyak belajar dari DI/TII Aceh, mulai dari bagaimana meracik taktik perang, menyusun kekuatan pasukan, memobilisasi masa, mendeteksi kelemahan lawan, sampai lobi dunia internasional. Dan penyataan yang berlebihan ini adalah bagian dari master plan yang kemudian turut ia bangun dalam tubuh GAM. Selebihnya, Hasan Tiro dkk. juga banyak beruntang budi kepada orang-orang Aceh yang berada dibeberapa negara, tak kecuali masyakat Aceh sendiri.

Tetapi Anda tahu, Hasan Tiro bagi pasukan GAM (termasuk juga sebagian Rakyat Aceh) bukan sekadar sang deklarator GAM saja, bukan juga sekadar Wali Negara Aceh saja, dan bukan pula sekadar penggugah sekaligus tiang pancang berdirinya GAM pada 4 Desember 1976 di Gunung Halimun. Lupakan itu semua. Bukan itu yang penting bagi mereka. Lantas apa?

Tengku Muhammad Hasan di Tiro, manusia yang satu ini dipuja karena dianggap mampu membangunkan Rakyat Aceh dari tidurnya yang panjang dan nyenyak. Dialah yang mengatakan bahwa Aceh adalah dulunya negara yang berdaulat dan punya sejarah gemilang. Dia pula yang menyuarakan perihal kekayaan alam Aceh telah dikerok habis-habisan oleh Pemerintah Pusat sehingga membuat Aceh menjadi miskin. Dengan kata lain, Hasan Tiro memperjuangkan harkat, martabat dan marwah Aceh yang telah dihina dan di injak-injak itu. Inilah yang saya yakini, meskipun tentu saja ada faktor lainnya, mengapa Hasan Tiro begitu dipuja menjadi sedemikian besar hingga mendekati layaknya pahlawan Aceh tanpa harus ada surat keputusan Presiden Indonesia.

Ia mewujudkan hal itu lewat pendekatan sejarah --disamping faktor lainnya-- yang kemudian ditransformasikan dalam tubuh GAM. Orang akan selalu mengingat betapa Aceh sangat hina di mata Pemerintah Pusat masa Orde Lama dan Orde Baru. Orang juga akan selalu ingat bagaimana liciknya Pemerintah Pusat yang tega menguras sumber kekayaan alam Aceh untuk kemudian dibawa pulang ke Jakarta, sementara Aceh hanya diberikan sisa-sia sampah dan dipaksa untuk menonton di daerahnya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun